Aswaja News – Menjadi Ibu menyusui adalah bagian dari kodrat perempuan yang tidak bisa digantikan oleh lelaki. Fase dimana perempuan sebisa mungkin dapat menghasilkan ASI yang berkualitas untuk tumbuh kembang bayi yang usai dilahirkannya. Tidak mudah melalui fase ini, tidak jarang Ibu menyusui banyak mengalami kesulitan atau permasalahan-permasalahan ketika menyusui. Seperti halnya ASI yang tidak lancar keluar, puting Ibu yang lecet, atau kondisi Ibu yang harus bekerja menyulitkan Ibu menyusui untuk memberikan ASI-nya secara langsung.
Permasalahan-permasalahan perempuan sebagi Ibu menyusui, membenturkan perempuan pada berbagai pilihan sulit, terutama bagi Ibu menyusui yang bekerja. Tidak jarang, mereka harus resign dari pekerjaan karena kondisi mereka yang masih harus memberikan ASI pada bayinya. Ataupun menggantikan konsumsi ASI dengan susu formula.
Hal inipun menjadi problematika dimana perempuan kehilangan hak-nya untuk berpartisipasi dalam ranah publik karena faktor kodrati yang tidak bisa dipertukarkan.
Permasalahan tersebut mencuri perhatian bagi aktivis perempuan untuk menyuarakan pemenuhan hak bagi Ibu menyusui yang bekerja untuk tetap bisa memberikan ASI pada bayinya dengan baik. Melalui peraturan pemerintah ataupun undang-undang menjadi tonggak untuk terciptanya kesetaraan bagi perempuan untuk dapat berpartisipasi dalam ranah publik dengan status sebagai Ibu menyusui.
SDGs : Pembangunan Berkelanjutan dalam Kesetaraan Gender
Pada tahun 2015 melalui tujuan pembangunan berkelanjutan atau lebih dikenal dengan SDGs (Sustainable Development Goals) yang diprakarsai oleh PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) menjadi harapan baru bagi seluruh warga negara anggota PBB termasuk Indonesia. Ditargetkan hingga 2030 SDGs mampu untuk mengatasi permasalahan global yang terjadi dimasyarakat. Terdapat 17 tujuan yang digagas dalam SDGs, salah satu tujuan dari SDGs yang berkaitan dengan kesetaraan bagi seluruh masyarakat termaktub pada tujuan yang ke 5 yaitu kesetaraan gender atau gender equality.
Salah satu target nasional pada gender equality adalah adanya peningkatan implementasi PUG atau pengarustamaan gender dan pemberdayaan diseluruh sektor dengan melalui penyediaan kebijakan yang responsif gender. Pengarustamaan gender mendukung keterlibatan perempuan dalam pembangunan diberbagai sektor, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, ataupun pendidikan.
Melalui PUG sebagai strategi dalam mencapai kesetaraan gender yang melibatkan aspirasi, perencanaan, pelaksanaan, pengawalan, dan evaluasi, dapat mewujudkan tujuan dari SDGs untuk terwujudnya gender equality. Peran serta perempuan nyatanya menjadi hal penting dalam pembangunan berkelanjutan suatu bangsa. Mengingat bahwa keberlanjutan kehidupan tidak terlepas dari peran penting perempuan baik dalam keluarga ataupun sosial masyarakat.
Ruang Laktasi Wujudkan Gender Equality
Upaya dalam mewujudkan gender equality terus dilakukan oleh pemerintah, terutama bagi Ibu menyusui yang bekerja. Sebelum adanya program SDGs, pemerintah telah mengelurakan UndangUndang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam Pasal 128, disebutkan bahwa: (1) Setiap bayi berhak mendapatkan ASI eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis; (2) Selama pemberian ASI, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus; (3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan di tempat sarana umum.
Namun faktanya, tidak banyak fasilitas umum ataupun tempat kerja yang menyediakan ruang yang aman dan ramah bagi Ibu menyusui untuk melakukan aktivitas pumping ataupun menyusui bayi secara langsung ketika berada di luar rumah.
Realitanya, ruang laktasi adalah ruangan yang penting bagi Ibu menyusui untuk menjalankan perannya ketika berada di luar rumah. Melalui tujuan kelima dari SDGs yaitu gender equality, ketersediaan fasilitas berupa ruang laktasi bagi Ibu menyusui perlu untuk dikampanyekan kembali. Kehadiran ruang laktasi bagi Ibu menyusui pada beberapa tempat umum seperti rumah sakit, kantor, atau tempat umum lainnya menjadi jawaban atas kegundahan perempuan sebagai Ibu menyusui yang harus memberikan ASI pada bayinya ketika berada di luar rumah.
Ketersediaan ruang laktasi dapat membantu Ibu menyusui untuk melakukan pumping ataupun memberikan ASI secara langsung pada bayinya. Keberadaan ruang laktasi ini, juga memberikan perlindungan bagi Ibu menyusui yang melakukan pumping atau memberikan ASI pada bayinya dengan aman dan nyaman ketika berada di luar rumah. Adanya ruang laktasi, memberikan akses fasilitas bagi perempuan untuk bekerja sekaligus menjalankan perannya sebagai Ibu menyusui.
Penyediaan ruang laktasi pada tempat umum ataupun tempat kerja telah diatur oleh peraturan pemerintah, yaitu PP No 33 tahun 2012 tentang ASI Eksklusif Pasal 30 ayat 3, yang menyatakan bahwa “pengurus tempat kerja wajib menyiapkan fasilitas khusus untuk menyusui dan / atau memerah ASI sesuai kemampuan Perusahaan”. Selanjutnya, pada pasal 34 juga disampaikan bahwa “pengurus tempat kerja wajib memberikan kesempatan bagi karyawan untuk memerah ASI di tempat kerja selama waktu kerja”. Melalui peraturan pemerintah tersebut, sudah seharusnya perusahaan memberikan fasilitas ruang laktasi dengan standar yang telah ditetapkan bagi pegawainya yang berstatus sebagi Ibu menyusui.
Bentuk ruang laktasi yang ideal telah diatur dalam Permenkes Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu. Ibu menyusui tidak lagi risau untuk pumping ketika bekerja. Perempuan tidak lagi terhalang untuk berkiprah diranah publik dengan statusnya sebagai Ibu menyusui. Bayi yang ditinggal bekerja juga tidak akan kekurangan nutrisi, yang dapat memengaruhi tumbuh kembangnya.
Pentingnya ruang laktasi yang sesuai dengan standar, tentu dapat mendukung dan menjaga kualitas ASI yang dihasilkan oleh Ibu menyusui. Selain kualitas ASI yang dihasilkan, ruang laktasi yang sesuai dengan standar dapat menjaga privasi dan keamanan Ibu menyusui ketika melakukan aktivitas menyusui atau pumping di luar rumah. Sehingga, seorang perempuan yang berstatus sebagai Ibu menyusui tidak lagi gundah untuk menjalankan perannya sebagai Ibu menyusui. Perempuan dengan berbagai macam kodrat yang melekat pada dirinya tidak akan “terbatas” lagi untuk berdampak, berdaya, dan berkontribusi disegala sektor untuk keberlanjutan kehidupan yang lebih baik.
Penulis : Elsa Monica, S.Pd.
Sumber foto : mhomecare.co.id