Faktor Anak Menjadi Pelaku
Dalam teori psikoseksual, pada usia 3-6 tahun, seorang anak berada pada fase phallic. Fase phallic adalah masa seorang anak mulai merasakan sensasi seksual di kelamin untuk pertama kali. Anak mulai bisa membedakan laki-laki dan perempuan dan menunjukkan ketertarikan terhadap alat kelaminnya dan lawan jenisnya.
Faktor pertama yakni mininya edukasi tentang fungsi organ reproduksi kepada anak dan tentang otoritas tubuhnya misalkan bagian vital yang tidak boleh disentuh orang lain. Mirisnya, anak tersebut mendapatkan pengetahuan dari tontonan orang dewasa melalui handphone yang tidak diawasi, sehingga anak mendapatkan pengetahuan seksualitas yang keliru.
Faktor kedua tentu berada pada lingkungan anak berkembang. Lingkungan tersebut diantaranya lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan rumah. Perilaku yang didapatkan anak adalah hal yang akan diyakini sebagai kebenaran yang akan anak tiru.
Baca juga :
Berikut 5 Pilar Membangun Rumah Tangga Yang Setara
Faktor ketiga yakni pelaku anak dimungkinkan pernah menjadi korban kasus serupa, beberapa penelitian menyebut kasus ini seperti siklus antara pelaku dan korban.
Maka, sejatinya pelaku anak dan korban anak adalah sama-sama berstatus korban. Regulasi penanganan dan perlindungan anak memang sudah seharusnya digalakkan. Mirisnya, sex education pada ranah pendidikan ternyata masih harus diperjuangkan.
Terlebih arus informasi terutama konten-konten pornografi sangat mudah diakses. Seringkali anak dibiarkan begitu saja memainkan gadget tanpa pengawasan atau bahkan mendapatkan konten tersebut dari HP orang tuanya. Kondisi ini memicu kejahatan seksual yang dilakukan anak.
Baca juga :
Penyuluh Agama KUA Mlarak Berikan Edukasi Fiqh Kewanitaan Kepada Siswi MI Ma’arif Gandu
Maka, ketika kasus kekerasan seksual meningkat, keberadaan konseling anak dan pelayanan terhadap anak sebagai pelaku maupun korban harus ditingkatkan. Salah satunya aktivasi dan peningkatan Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Peran keluarga dan peran lingkungan sekitar harus supportif menghadapi kasus demikian. Sementara itu, ranah pendidikan juga harus mulai berbenah dalam mengadaan layanan pengaduan dan kurikulum sex education. Organisasi pelajar juga perlu dilibatkan dalam merespon kasus yang semakin meningkat ini. Sehingga, kesadaran dan sinergitas seluruh elemen mampu mencegah, menangani dan melindungi anak dari kekerasan seksual.
2 thoughts on “Darurat Kekerasan Seksual Meningkat, Anak Menjadi Korban Sekaligus Pelaku”