Rekonstruksi Pendidikan Islam Sebagai Upaya Paradigma Pembebasan

AswajaNews – Sistem pendidikan Islam yang ada secara umum hari ini, terkesan lamban dan kurang produktif dalam membangun sosok pribadi peserta didik yang berkualitas paripurna. Di lain pihak, dinamika yang ditampilkan pendidikan saat ini telah keropos dari nilai-nilai sakral Ilahiah. Demikian pula, sebaliknya, pendidikan Islam hanya mampu melahirkan sosok manusia terdidik secara afeksi.

Pelaksanaan pendidikan Islam dalam kaitan moralitas dan sikap individual jujur harus dipahami sebagai kesuksesan besar yang tidak perlu diragukan. Akan tetapi, jika dihadapkan dengan diskursus kajian modern, sistem pendidikan Islam terkesan lesu.

Prediksi di atas merupakan persoalan yang menggejala dan telah merambah hampir seluruh dimensi kehidupan manusia, dan tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini pendidikan Islam hanya melahirkan sosok peserta didik cenderung bersifat dikotomi-parsial. Untuk keluar dari persoalan konsep pendidikan yang dikembangkan, seharusnya menjadi pemikiran dan perlu upaya kreatif analitik, untuk mengembangkan rekayasa progresif dalam menata kehidupan di muka bumi ini.

Untuk itu, perlu mereformasi pendidikan Islam dari waktu ke waktu tanpa henti. Kita tidak boleh lagi selalu membanggakan keberhasilan pendidikan pada masa lampau (bukan melupakan sejarah) tanpa mengkaji ulang relevansi keberhasilan itu dengan setting global masa kini dan masa yang akan datang.

Usaha pembaharuan dan peningkatan kualitas pendidikan Islam menurut Azyumardi Azra sering bersifat sepotong-potong atau tidak komprehensif dan menyeluruh, serta terkesan tambal sulam sehingga sebagian besar sistem pendidikan Islam, belum dikelola secara profesional. Sistem pendidikan Islam seharusnya senantiasa mengorientasikan diri bagaimana menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat sebagai konsekuensi logis dari perubahan.

Oleh karena itu, menurut Fazlur Rahman, wacana pendidikan Islam masa depan setidaknya ada tiga hal yang harus diredifiisikan. Pertama, tujuan pendidikan Islam yang bersifat defensif dan cenderung berorientasi pada kehidupan akhirat harus segera dirubah. Kedua, beban psikologi umat Islam dalam menghadapi Barat harus dihilangkan. Ketiga, sikap negatif kaum muslimin terhadap pengetahuan Barat semestinya dibuang.

Selanjutnya, dalam rangka menemukan jati diri untuk menyongsong masa depan, lembaga pendidikan Islam harus menumbuh kembangkan sikap seperti; memahami orientasi, memilah-milah yang terbenar dan terbaik, kemampuan mengelolah dan mengendalikan, kemampuan mengembangkan pelajaran, dan kemampuan berijtihad.

Berkaitan dengan itu, Muhammad Iqbal menggambarkan bahwa lembaga pendidikan Islam harus mampu melahirkan peserta didik mard-e mo’min sebagai tipe manusia ideal yang mempunyai oreintasi spritual, tetapi yang kedua kakinya berpijak di dunia kenyataan.

Mard-e mo’min adalah manusia yang punya kapasitas tangguh untuk mengarahkan jalan sejarah. Ekstensi mard-e mo’min baru punya makna bila mampu membebaskan dirinya dari statisme dan ketergantungan. Ia mengatakan bahwa kualiatas utama yang harus dimiliki oleh mard-e mo’min keluaran lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memiliki dua kualitas; Pertama, kemampuan untuk melestarikan dan memelihara kehidupan. Inilah yang diistilahkan dalam bahasa Persi dengan hefz-e zendgi. Kedua, adalah taqwim e khudi, yaitu kemampuan untuk menyatakan dan menegaskan diri dalam kehidupan ini dengan kepala tegak.

Dari alur pemikiran Iqbal di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam seharusnya mampu melahirkan sosok peserta didik mard-e mo’min yang akan membebaskan diri dari sikap defensip intelektual, sehingga dapat berlaku opensif dengan menampilkan karya-karya bermutu tinggi, orisinal dan sejati.

Dalam rangka menjembatani jarak dari kekeliruan merumuskan konsep pendidikan, al-Faruqi melalui visinya, menentukan paling tidak ada empat agenda mendasar yang disebutnya dengan rencana kerja Islamisasi pengetahuan yang harus dicermati dalam menata paradigma pendidikan. Pertama, penguasaan disiplin ilmu modern. Kedua, penguasaan khazanah Islami. Ketiga, penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang modern. Keempat, pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah.

Apa yang dilakukan al-Faruqi merupakan sebuah upaya menuju model pendidikan terpadu, di mana pembinaan keimanan dan pengetahuan harus bersanding.

Dari sisi peserta didik, yang harus dilahirkan dari pendidikan Islam yakni mempunyai paradigma yang kokoh secara spritual, unggul secara intelektual, dan anggun secara moral dengan al-Qur’an sebagai acuan yang pertama dan utama. Peserta didik harus diberi pelajaran al-Qur’an melalui metode yang memungkinkan anak untuk menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan dalam segala tindakannya.

Untuk itu, ada dua tahap yang harus dilakukan, yaitu; memahami makna dari pernyataan al-Qur’an dengan mengkaji situasi dan problem historisnya, dan selanjutnya mengeneralisasikan jawaban spesifik al-Qur’an dan menyatakan sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral dan sosial, umum yang dapat disaring dari ayat dengan latar belakang sosial historis. Sistem pendidikan yang tawarkan harus dapat harus dapat melepaskan peserta didik dari bentuk kungkungan dalam berbagai bentuk.

Sebagai pendidikan pembebasan, pendidikan Islam tidak dapat melepaskan diri dari ketiga domain pendidikan, yakni kognitif, afektif dan psikomotorik. Di samping itu, yang perlu diberdayakan dalam pendidikan Islam adalah penegasan hirarki nilai dan merumuskan kembali konsep-konsep ilmu-ilmu sosial dan alam serta kemanusiaan.

Kerangka pandang umat Islam tidak perlu lagi terjadi pemisahan antara ilmu agama dengan ilmu umum, tetapi wawasan integratif yang memandang ilmu sebagai satu kesatuan utuh dalam memahami realitas dan rahasia Tuhan adalah opini utama yang harus disosialisasikan kepada kalangan muslim.*** (Samsul Hadi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *