Ngabuburit dari Belanda 2: Komunitas Muslim Indonesia di Kota-Kota Belanda

Penulis: Dawam M. Rohmatulloh (Dosen INSURI Ponorogo)

:::

Aswaja News – Saya belum lama tinggal di Belanda. Baru genap empat tahun di awal bulan Maret yang lalu. Pengetahuan saya tentang komunitas muslim ataupun muslim Indonesia di Belanda tentu menyimpan kekurangan di sana-sini. Dalam rubrik Ngabuburit dari Belanda ini saya hendak sedikit mengulas beberapa hal yang saya ketahui, baik dari observasi langsung (yang karena saya memiliki abonemen NS Weekend Vrij jadi bisa gratis naik kereta ke mana saja tiap akhir pekan), dari obrolan (untuk tidak mengatakan wawancara, karena memang bukan wawancara), maupun dari literatur di internet (sesuatu yang tentu saja sidang pembaca juga bisa melakukannya sendiri tanpa membaca tulisan saya). Selamat membaca!

:::

Setelah dinamika pasang surut mulai dari relasi kolonial, hingga masa transisi di awal kemerdekaan, tibalah periode penting dalam khazanah muslim Indonesia di Belanda. Periode ini ditandai dengan datangnya pelajar Indonesia dari Timur Tengah (terutama Baghdad dan Kairo) yang mengisi waktu liburan kuliah dengan bekerja di Belanda. Di antara para pelajar adalah Kyai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Singkat cerita, kehadiran Gus Dur ini kemudian mendorong lahirnya organisasi Persatuan Pemuda Muslim se-Eropa (PPME).

Organisasi ini didirikan oleh Gus Dur pada 12 April 1971 bersama dengan rekan-rekannya yang kemudian menetap tinggal di Belanda, seperti Abdul Wahid Kadungga, Mochammad Chaeron, Ahmad Hambali Maksum, dan Naf’an Sulchan. Dua nama terakhir, Kyai Hambali dan Kyai Naf’an, saat ini masih sugeng dan menjadi tokoh muslim Indonesia di Belanda.

Sejak dibentuk, peran PPME ini sangat signifikan bagi orang-orang Islam di Belanda. PPME juga aktif dalam menjalankan syiar dakwah, hingga saat ini, PPME memiliki anggota yang tidak hanya muslim Indonesia namun juga Belanda totok maupun negara lain. Selain itu, secara struktural, kepengurusan PPME Wilayah terbentuk di tingkat nasional Belanda dan membawahi beberapa Cabang di tingkat kota, seperti Den Haag, Amsterdam, Rotterdam, Heemskerk, dan Breda.

Keberadaan organisasi atau komunitas memang sangat diperlukan, mengingat jumlah muslim Indonesia di Belanda lambat laun bertambah banyak. Setidaknya kita dapat  mengacu pada angka terbaru dalam DPT Pemilu 2024, yakni sekitar 13 ribu pemilih, atau informasi publik dari KBRI Den Haag tentang jumlah WNI di kisaran 16 ribu jiwa.

Dari sekian populasi orang Indonesia di Belanda, Kyai Nur Hasyim Subadi, Rais Syuriyah PCINU Belanda yang juga staf konsuler di KBRI Den Haag, menyatakan bahwa setidaknya ada 10.000 orang Islam yang berasal dari Indonesia. Angka ini dinamis dan sangat potensial untuk terus bertambah, mengingat Belanda merupakan salah satu negara tujuan favorit bagi pelajar Indonesia.

Angka tersebut memang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan jumlah muslim dari Maroko atau Turki yang gelombang kedatangannya bermula sejak akhir tahun 1960-an. Dengan kerjasama antar pemerintah sebagai gastarbeider (buruh migran), para buruh migran tersebut dimungkinkan untuk membawa keluarga dan mempertahankan budaya termasuk agamanya.

Saat ini, muslim dari Maroko dan Turki telah masuk pada generasi ketiga dan mencapai jumlah tak kurang dari 900 ribu jiwa yang tersebar di hampir seluruh kota seantero Belanda. Tak heran jika ke manapun kita bepergian di Belanda, tetap mudah mencari masjid, terutama yang dibangun oleh komunitas Maroko (bercorak mazhab Maliki atau belakangan ada juga yang Salafi) atau Turki (bermazhab Hanafi dan berafiliasi pada organisasi Diyanet atau Mili Gorus, seperti NU/Muhammadiyah ala Turki).

Namun demikian, eksistensi muslim Indonesia di Belanda terus menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Apalagi dengan mempertimbangkan orang-orang yang bukan WNI tetapi ada hubungannya dengan Indonesia, seperti dari Maluku, Suriname, ataupun eks-WNI yang berganti nationaliteit dengan mekanisme naturalisatie. Dubes RI untuk Belanda, Mayerfas, bahkan menyebut angka mencapai lebih dari 1,5 juta jiwa diaspora Indonesia ini.

Selain itu, tak hanya PPME, ada banyak komunitas atau organisasi lain. Di tingkat nasional, ada PCI Nahdlatul Ulama dan PCI Muhammadiyah yang merupakan buitengewone filiaal atau cabang istimewa dari organisasi induknya di Indonesia.

Di tingkat kota lebih banyak lagi, terutama di kota-kota yang memiliki basis pelajar atau pekerja migran/diaspora. Dari ujung utara, kota Groningen, ada De Gromiest dan “Ranting” Nahdliyin yang rutin ngaji Arba’in Nawawi tiap Ahad. Di ujung timur dan tenggara ada IMEA di Enschede, Kemuni di Nijmegen, dan Kamil di Maastricht-Limburg.

Bergeser sedikit ke tengah, di kota kecil dengan kampus jurusan pertanian terbaik di seluruh dunia, ada komunitas Pengajian Wageningen dan Pengajian Yasin-Ta’lim Wageningen dengan rutinan Ratib al-Haddad. Di kota dengan TU (Technische Universiteit), yaitu Eindhoven dan Delft, ada Musihoven di Eindhoven dan KMD di Delft. Entitas-entitas tersebut adalah komunitas yang dilahirkan oleh pelajar yang tinggal di kota tersebut. Tentu saja dengan juga merangkul diaspora atau pekerja migran yang kebetulan tinggal di kotanya.

:::

Keterangan foto: suvenir dari acara perayaan ulang tahun ke-50 PPME.

:::

Bersambung ke bagian ke-3 tentang masjid muslim Indonesia di Belanda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *