AswajaNews – Pernahkah kalian mendengar peringatan Hari Oeang di Indonesia yang dilakukan setiap tanggal 30 Oktober? Atau pernahkah kalian membayangkan kalau Ponorogo terlibat dalam proses pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI)?
Pada tanggal 30 Oktober 1946 yang lalu, Oeang Republik Indonesia yang kemudian disingkat ORI mulai beredar ke masyarakat luas. Selain sebagai alat bayar untuk transaksi, ORI juga digunakan oleh bangsa Indonesia sebagai simbol kedaulatan negara. Bersumber dari laman resmi Kementerian Keuangan, sebelum ORI diterbitkan pada awal kemerdekaan RI, setidaknya ada 4 mata uang yang berlaku di Indonesia.
Dari 4 tersebut, 3 di antaranya dikeluarkan oleh Jepang dan satu adalah mata uang peninggalan Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini jelas merugikan Indonesia. Melihat kondisi ini, salah satu anggota Badan Pengurus Komite Nasional (BPKN) Indonesia, Sjafruddin Prawiranegara memberikan usulan kepada Bung Hatta mengenai kebijakan mata uang.
Ia mengusulkan agar Indonesia mengeluarkan mata uang sendiri sebagai salah satu atribut negara yang merdeka dan berdaulat. Gayung bersambut, ide tersebut segera ditindaklanjuti oleh Menteri Keuangan saat itu, yakni A.A. Maramis
Dengan begitu, A.A. Maramis memberi instruksi kepada Serikat Buruh Percetakan, G Kolff di Jakarta untuk bergerak ke beberapa tempat di Jakarta, di Malang, di Solo, dan di Yogyakarta guna mencari percetakan.
Seluruh percetakan G Kolff di Jakarta yang memiliki pengalaman dalam urusan mencetak keuangan dan beberapa percetakan lainnya kesulitan mendapatkan bahan dan alat.
Di lain hal, tim yang dibentuk oleh A.A. Maramis juga mengalami kesulitan lain dengan harus menghadapi pertempuran dengan dan sekutu. Di mana banyak akses yang berhasil dikuasai sekutu ditutup.
Tak kekurangan ide, A.A. Maramis selanjutnya membentuk Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia tanggal 7 November 1945. Panitia tersebut diketuai oleh T.R.B. Sabarudin yang saat itu menjabat sebagai Direktur Bank Rakyat Indonesia. Sedangkan anggota dari kepanitiaan tersebut terdiri dari pegawai Departemen Keuangan, Bank Rakyat Indonesia, serta Serikat Buruh Percetakan G Kolff.
Panitia bentukan baru ini bekerja cukup baik, di mana mereka berhasil mencetak ratusan rim lembaran uang 100 Rupiah yang diawali dari jam 07.00 hingga 22.00. Pelukis pertama ORI sendiri adalah Abdulsalam dan Soerono, sedangkan litografinya dibuat di Percetakan De Unie.
Namun begitu, uang yang telah dicetak tersebut belum sempat diberi nomor seri karena keamanan di Jakarta saat itu semakin memburuk. Melihat keadaan yang semakin memburuk ini akhirnya pemerintah harus berpindah ke Yogyakarta tanggal 14 Januari 1946. Selama perpindahan tersebut proses percetakan uang dihentikan sementara waktu.
Seiring berjalannya waktu, proses cetak uang kemudian diambil alih oleh percetakan NIMEF yang ada di Malang dan juga percetakan swasta lain yang ada di Solo, Yogyakarta, dan juga Ponorogo. Tempat-tempat tersebut dipilih karena relatif lebih aman.
Selama proses pencetakan ORI, Pemerintah Indonesia sangat menjaga laju inflasi dengan cara menarik mata uang Hindia Belanda dan Jepang dari wilayah Indonesia. Meski di lain sisi, tentara NICA juga berusaha menghambat penerbitan ORI dengan mengawasi distribusi bahan uang hingga menyebarkan uang NICA di tanggal 6 Maret 1946.
Meski begitu, faktanya jarang yang memakai uang NICA karena adanya seruan pemerintah untuk hanya menggunakan uang Jepang. Akhirnya NICA merosot dan ORI mulai diedarkan pada tanggal 30 Oktober 1946.*** (Dani Saputra)