Oleh: Azza Fahreza Zayinnatul Ula, S.Sos
Aswaja News – Dahulu di kawasan Bungkal, ada seorang tokoh bernama Raden Martopuro yang merupakan putra Raden Martokusuma seorang Mantri Gudang Kopi di Bungkal. Raden Martokusumo merupakan putra pertama Raden Mas Sosrokusumo yakni seorang Patih Kabupaten Ponorogo Tengah. Sedangkan, Raden Mas Sosrokusumo merupakan putra ketujuh Raden Adipati Surodiningrat II yakni Bupati Ponorogo ke XIII (13), keturunan dari Batoro Katong.
Selama remaja, Raden Martopuro ikut Mas Bei Jogokaryo atau Gusti Kanjeng Jimat Bupati Pacitan. Saat perang Diponegoro melawan Belanda, Raden Martopuro dan Nurhandam yang merupakan saudara seperguruan memutuskan bergabung menjadi prajurit melawan Belanda.
Setelah Pacitan jatuh ke tangan Belanda, Pangeran Diponegoro bergeser ke Ponorogo dan melanjutkan perjalanan ke Polorejo melalui Bungkal. Raden Martopuro memilih tinggal dan menjadi Mantri Gudang Kopi Bungkal.
Antonny Willem Viensen adalah Asisten Residen Ponorogo atau pegawai negeri tertinggi pada pemerintahan kolonial Hindia Belanda setingkat Kabupaten.
Perasaan benci terhadap Belanda terus mengalir dalam darah Martopuro akibat monopoli hasil kopi yang dijual murah. Mengetahui hal tersebut, Istri Martopuro mengajari para Wanita dengan menyembunyikan kopi di depan perut yang dibungkus kain mirip orang yang meteng pitung sasi (hamil 7 bulan).
Tuan Willem mendengar gerakan tersebut dan menemui Martopuro di rumahnya. Sampai disana, Tuan Willem bertemu dengan istri Raden Martopuro. Merasa terpesona dengan kecantikannya, Tuan Willem menyentuh dahi dan pipi Raden Ayu Martopuro. Melihat kelakuan kurang ajar Tuan Willem tersebut, Martopuro marah dan bersiap menghunuskan kerisnya. Namun, berhasil dicegah oleh mandornya.
Istilah “Sadhumuk batuk, sanyari bumi, dibelani tekan pati” merupakan bebasan yang artinya segala sesuatu yang menjadi hak seseorang akan diperjuangkan walaupun harus dengan nyawa. Istilah ini selalu menjadi prinsip Raden Martopuro.
Tepatnya tanggal 31 Desember 1882 di depan pendopo Asisten Residen, diadakanlah pesta perayaan tahun baru 1883. Seluruh pegawai kabupaten diundang ke Kabupaten termasuk Raden Martopuro sebagai Mantri Gudang.
Setelah acara selesai, Raden Martopuro merayu pelayan untuk lapor kepada Asisten Residen bahwa Martopuro akan menghadap. Akhirnya, Tuan Willem dan Martipuro bertemu di pendopo sesuai rencana. Ketika Tuan Willem mengulurkan tangan untuk bersalaman, Martopuro langsung menusuk perut Tuan Willem dengan keris hingga tewas seketika.
Malam itu, seluruh wilayah Ponorogo geger akibat setingkat Wakil Gubernur dibunuh pribumi. Seluruh pasukan dan tentara dari Madiun dikerahkan Belanda untuk menangkap Raden Martopuro namun tidak membuahkan hasil. Sayembara pun dibuat dengan imbalan harta dan pangkat tinggi.
Tergiur dengan imbalan sayembara, Nurhandam (Kawan seperguruan Martopuro) berhasil menemukan Martopuro dengan ilmunya dan membujuk Martopuro untuk menyerahkan diri agar istri, anak dan ibunya dapat dibebaskan dari penjara. Alhasil, Martopuro menyerahkan diri dan dihukum mati gantung diri.
Malam sebelum hukuman mati, Nurhandam menemui Martopuro di penjara. Merasa dikhianati, seketika Martopuro mencabut keris yang dibawa Nurhandam dan menusuk perutnya sendiri hingga berlumur darah. Atas kejadian tersebut, Nurhandam ditangkap karena dugaan pembunuhan terhadap Martopuro. Jenazah Martopuro dimakamkan di belakang kantor Asisten Residen.
Hukuman mati pun akhirnya ditujukan kepada Nurhandam yang jasadnya dimakamkan disamping kuburan Martopuro. Namun, Martopuro hanya pingsan dan berhasil merangkak menuju Mangunsuman untuk menceritakan kejadian sebenarnya kepada warga. Setelah selesai bercerita, Raden Martopuro akhirnya wafat dan dikuburkan di Mangunsuman.
Sumber :
Babad Ponorogo Jilid VI A