Domba, Motor, dan Hoax

Oleh: Rosadi Jamani (Dosen UNU Kalbar)

Apa yang Anda ketahui dengan negara Selandia Baru dan Thailand, serta negara sendiri Indonesia?

Saya jawabkan ya. Selandia Baru terkenal dengan dombanya. Jumlah dombanya seabrek-abrek melebih jumlah warganya. Tahun 2022 lalu, jumlah dombanya mencapai 25,3 juta. Sementara warganya cuma 5,2 juta. Itupun jumlah dombanya udah turun 400 ribu dari tahun sebelumnya. Domba 25,3 juta dalam dilepas di Jakarta bisa ketutup Monas dan Istana.

Lalu, Thailand, jiran kita. Negeri yang belum pernah dijajah Barat ini ternyata memiliki sepeda motor terbanyak di dunia. Surganya motor atau scuter ada di negeri Gajah Putih ini. Pusat Penelitian Pew menyebutnya “Negeri 100 Juta Scuter”. Dari 7,1 juta penduduknya, 87 persen memiliki satu sepeda motor. Hampir setiap rumah ada memiliki motor.

Kalau Thailand no.1 raja scuter, posisi no. 2 Vietnam, no. 3 negeri kita. Tiga negara ini tak hanya bersaing di dunia sepakbola, di sepeda motor pun saling berlomba.

Lalu, bagaimana dengan negara kita sendiri? Apa yang melebihi jumlah penduduknya yang hampir mendekati 300 juta. Yang jelas bukan domba, bukan juga sepeda motor. Lalu apa? Kamu nanyaaak? Kamu bertanyak-tanyak…hehehe

Satu hal yang melebihi jumlah penduduk di negeri beribukota Nusantara ini adalah hoax. Lho kok hoax. Iya, hoax. Jumlahnya lebih banyak dari penduduk. Saking banyaknya sampai tak terhitung.

Berita hoax atau informasi tak benar, informasi yang tak jelas sumbernya, tak bisa diverifikasi atau dipertanggungjawabkan sudah menghiasi hidup warga Indonesia setiap hari. Ada saja info hoax di-share orang lewat WAG. Ada saja orang publish hoax di akun medsosnya. Lama-lama hoax akan jadi budaya, sama halnya dengan korupsi. Orang sebar hoax, biasa saja. Kadang di-share lagi. Anehnya, banyak yang percaya pula dengan caption lebih mengerikan. Ada narasi yang sangat terkenal, hoax itu “Dibuat dan disebarkan orang jahat, diterima baik orang bodoh, dan disebarkan kembali orang tolol” Ungkapan ini inginnya membendung gerak laju hoax, tapi gagal. Tetap saja hoax merajalela. Mirip dengan orang buang sampah sembarangan. Sudah ada tulisan di plang “Hanya anjing yang buang sampah di sini” Esoknya, tetap banyak sampah ngumpul di bawah plang itu.

Kengerian jelang Pemilu dan Pilpres adalah hoax. Pihak KPU mengakui hal ini. Itu sebabnya, selalu ada kampanye antihoax. Bahkan, ada komunitas antihoax. Tetap saja hoax susah dibendung. Padahal, tak sedikit yang dijebloskan ke penjara.

Siapa sebenarnya penyebar hoax? Kalau baca narasi yang terkenal itu, pembuat dan penyebarnya adalah orang jahat. Sepakat. Orang jahat, cuma susah ditangkap. Ada mengatakan pihak opisisi yang suka sebar hoax. Bisa dimaklumi sih. Tapi, bagaimana hoax juga disebar pemerintah. Menurut profesor “dungu” Rocky Gerung, pihak pemerintahlah raja hoax. Sebab, ia memiliki semua perangkatnya. Terlepas benar atau tidak, pemerintah pernah juga memberikan disinformasi alias hoax. Tak selamanya benar. Sehingga tak jarang pemerintah pun dirujak nerizen akibat sebar hoax.

Kalau sudah demikian, berarti susah membedakan siapa sebenarnya pihak yang membuat hoax. Apakah sepenuhnya opisisi, sementara pemerintah juga pernah nge-hoax. Apakah pihak ketiga? Nah, ini yang saya curigai. Pihak ketiga. Siapa pihak ketiga ini? Adalah mereka yang suka memotong video demi konten agar viral. Mereka yang membalikkan fakta. Apa yang diomongkan, lain yang diberitakan. Demi banyaknya pengunjung web. Demi konten berharap viral. Ketika sudah viral, iklan adsense banyak masuk, ujungnya cuan. Ia tak peduli efek dari video yang sudah dimanipulasi, yang penting cuan masuk. Ia tak peduli akibat dari narasi yang dibumbui opini jahat, yang penting cuan. Pihak ketiga ini sangat menikmati hoax yang dibuat. Menjadikan hoax adalah bisnis. Hoax adalah cuan.

Jangan heran negeri ini dipenuhi hoax setiap harinya. Penuh melebihi jumlah penduduknya karena menyebar ke seluruh dunia. Apa yang mesti dilakukan kalau sudah demikian? Pihak pemerintah bila menyampaikan informasi, benar-benar valid. Jangan pagi diinformasikan, sorenya diralat. Jangan menutupi kejahatan oknum dalam pemerintah, seret ke penegak hukum. Tak cukup hanya sekadar mengembalikan uang 27 miliar secara diam-diam kasus hukumnya jadi hilang. Model seperti ini menghilangkan kepercayaan publik. Belum lagi kisah 349 triliun, sampai di mana penanganannya. Banyak lagi model macam ini. Rakyat diminta jujur dan transparan, sementara yang nyuruh main di bawah meja. Artinya, pemerintah dengan seluruh perangkatnya menjaga integritas agar tak mudah buat hoax.

Pihak oposisi juga diingatkan, kritiklah pemerintah dengan data valid. Jangan pula banyakan fitnah ketimbang kritiknya. Kritik itulah yang menyehatkan demokrasi. Kritiklah dengan data dan fakta nyata, buat pemerintah tak berkutik dan menjalankan solusi yang ditawarkan. Ingat, bukan fitnah dijadikan senjata, apalagi demo besar-besaran hanya untuk mengganti pemerintah. Itu bukan solusi tapi polusi yang membuat kekacauan baru. Bukannya orang simpati, malah antipati.

Pihak ketiga yang disinggung tadi. Jangan demi konten menghalalkan segala cara. Jangan menari di atas penderitaan orang. Jagalah negeri ini agar tetap damai dan sejahtera. Oke…!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *