Penutupan Warung Remang-Remang di Ponorogo: Solusi Parsial atas Masalah Struktural

Aswaja News – Langkah Pemerintah Kabupaten Ponorogo menutup 14 warung kopi yang disinyalir menjadi tempat praktik prostitusi di Kecamatan Siman menuai respons yang beragam dari publik.

Aksi penutupan ini dilakukan menyusul temuan mengejutkan yakni sebanyak 13 dari 29 pekerja yang diperiksa dinyatakan positif mengidap HIV. Meski hanya ditemukan 2 orang saja yang berasal dari Ponorogo, kenyataan bahwa terdapat praktik prostitusi dan ditemukannya kasus HIV tentu menjadi sinyal.

Adanya tindakan tegas tersebut justru mengemukakan pertanyaan yang lebih mendasar, apakah penutupan tempat benar-benar menjadi solusi atau justru menyisakan persoalan yang lebih kompleks dan tak kasat mata?

Data Kasus dan Fakta Lapangan

Penutupan tersebut dilakukan setelah Dinas Kesehatan Ponorogo melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap pekerja di lokasi. Hasilnya, hampir 45% dari pekerja yang diperiksa positif HIV.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan, ditemukan adanya peningkatan secara signifikan kasus HIV/AIDS di Ponorogo. Tercatat pada tahun 2023, dari 85 kasus baru yang sebagian besar adalah kelompok usia 25 hingga 40 tahun, menjadi 110 kasus pada 2024, dan per April 2025 telah mencapai 137 kasus.

Angka ini menempatkan Ponorogo dalam situasi darurat kesehatan masyarakat utamanya perempuan. Namun, meski penutupan dianggap sebagai langkah “penyelamatan moral dan kesehatan publik”, tidak semua pihak yakin bahwa ini adalah solusi menyeluruh.

Penindakan yang Minim Pendekatan Sosial

Penutupan warung remang-remang tanpa rencana rehabilitasi sosial bisa dianggap sebagai respons yang bersifat reaktif. Hal yang terlihat bahwa praktik prostitusi di kawasan tersebut bukanlah sekadar pelanggaran norma saja, melainkan cerminan dari krisis ekonomi, rendahnya pendidikan, dan terbatasnya lapangan kerja bagi perempuan.

Terdapat 3 (tiga) alasan yang melatarbelakangi perempuan bekerja di dunia prostitusi, antara lain kemiskinan, pendidikan rendah dan merupakan korban kekerasan yang tidak punya akses terhadap layanan pemulihan (Katjasungkana, 2014).

Sehingga, hal ini dimungkinkan berdampak pada lonjakan pengangguran perempuan pasca penutupan, karena tidak adanya skema pelatihan atau pendampingan ekonomi yang berjalan secara konsisten.

Kasus prostitusi di Indonesia saat ini masih dilihat dari sudut pandang patriarki, di mana perempuan sebagai Pedila (Perempuan yang Dilacurkan) selalu menjadi obyek dan sumber permasalahan dalam praktik prostitusi. Sedangkan pengguna atau konsumen jasa prostitusi dianggap wajar melakukan pembelian jasa prostitusi.

Seperti halnya teori ekonomi, bahwa tanpa adanya permintaan otomatis tidak akan ada penawaran. Menurunkan “permintaan/demand” akan jasa prostitusi dapat dilakukan dengan mengkriminalisasi pengguna atau konsumen jasa prostitusi.

Fenomena ini tidak bisa diselesaikan dengan cara instan. Masalah ini dinilai sudah multidimensi yang tidak sesederhana persoalan moral saja, melainkan kebijakan sosial dan keadilan ekonomi.

Tindakan penutupan akan membuka peluang risiko pemindahan aktivitas prostitusi ke tempat-tempat yang lebih tersembunyi dan tidak terpantau, seperti praktik daring (online) atau rumah-rumah indekos yang sulit dijangkau pengawasan. Sehingga tidak hanya memperburuk kondisi pekerja seks, tetapi juga meningkatkan risiko penularan HIV karena minimnya edukasi dan kontrol kesehatan.

Bagaimana harusnya,

Langkah penutupan warung semestinya dibarengi dengan strategi pemulihan sosial yang konkret.

Apresiasi kepada Pemkab Ponorogo telah bergerak cepat merencanakan perluasan pemeriksaan dan pelacakan dengan menyisir sejumlah titik rawan penyebaran HIV/AIDS di daerah yang dinilai rentan seperti tempat hiburan malam, rumah kos, hingga warung remang-remang yang ada di wilayah Kabupaten Ponorogo.

Namun, Pemerintah perlu membuka akses pelatihan keterampilan kerja bagi para eks-pekerja warung ataupun Pedila, khususnya keterampilan kewirausahaan mikro, tata boga, atau kecantikan dan lainnya. Program ini harus dirancang untuk membuka peluang ekonomi baru secara nyata.

Disamping itu, diperlukan layanan konseling dan pendampingan medis secara berkala bagi individu yang terpapar HIV. Tak terkecuali penyuluhan tentang kesehatan reproduksi yang perlu digencarkan di komunitas berisiko termasuk pendidikan seks sejak dini di sekolah-sekolah.

Pemerintah juga bisa menggandeng lembaga pesantren, organisasi keagamaan, dan kelompok pemuda untuk membangun jaringan dukungan sosial yang lebih positif.

Kesimpulan

Penutupan warung remang-remang memang dapat meredam gejolak sosial dalam jangka pendek. Namun tanpa strategi pemulihan yang menyentuh akar persoalan, tindakan ini hanya menjadi solusi semu yang berisiko memunculkan krisis yang lebih dalam.

Ponorogo butuh pendekatan yang lebih manusiawi, komprehensif, dan berorientasi pada pembangunan sosial berkelanjutan. Masalah ini bukan hanya milik aparat atau dinas kesehatan, tapi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan semua elemen yang peduli pada nasib kelompok rentan.

Sumber ilustrasi : Pinterest

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *