Aswaja News – Dalam euforia pernikahan Luna Maya dengan Maxime Bouttier, Kalis Mardiasih, seorang penulis dan aktivis perempuan menghadirkan sebuah refleksi sosial yang tajam dan menyentuh.
Melalui unggahan Instagram-nya pada Rabu, (7/5), Kalis menyoroti bagaimana pernikahan Luna bukan hanya sebuah kabar bahagia, tetapi juga momen simbolik yang menelanjangi luka kolektif perempuan Indonesia. Luka yang diakibatkan oleh sistem yang tidak adil, komentar seksis, serta penghakiman atas pilihan hidup perempuan.
Kalis mengawalinya dengan kenyataan yang dihadapi Luna Maya bahwa “Bertahun-tahun lamanya, kita membacai komentar-komentar yang melecehkan dan merendahkan Luna Maya di media sosial”. Yang sebenarnya turut menciderai perempuan lainnya.
Masyarakat seringkali memakai norma yang kerap menyudutkan perempuan, seperti belum menikah di usia yang dianggap sudah “terlambat”. Kalis menyatakan bahwa
“Masyarakat seperti mewajarkan, tanpa menyadari bahwa satu komentar melecehkan dan merendahkan perempuan sesungguhnya menyakiti identitas, tubuh, fungsi reproduksi dan eksistensi semua perempuan”
Representasi Ketidakadilan Sosial
Bagi Kalis, Luna Maya adalah representasi dari ketidakadilan sistemik yang kerap menimpa tubuh perempuan Indonesia. Perempuan harus menerima kenyataan pahit bahwa dalam masyarakat terdapat standar ganda yang dinormalisasikan. Perempuan bisa dilabeli “nakal”, “murahan”, “berbahaya”, bahkan hanya karena bentuk tubuh atau keberaniannya bermimpi. Namun,
“Karena satu kesalahan dalam norma masyarakat, perempuan bisa sangat dihukum, tapi tidak laki-laki,” tulis Kalis.
Realitas lain yang disebutkan Kalis bahwa perempuan dianggap ‘rusak” ketika mereka tidak tunduk pada peran tradisional, padahal justru mereka adalah korban dari struktur yang menindas. Dalam hal ini, Luna Maya hanyalah satu dari sekian banyak perempuan yang menjadi korban stereotip dan tekanan struktural.
Luka, Ketangguhan, dan Kemenangan
Kalis turut menyoroti perjalanan Luna Maya yang penuh luka, kegagalan, patah hati, bahkan penolakan akibat label sosial yang melekat padanya. Namun, mewakili perempuan, Luna telah menbuktikan bahwa dirinya tidak menyerah pada tekanan sosial dan terus hidup, berkarya, dan mencintai dirinya sendiri.
Terakhir, dalam momentum pernikahannya, Luna menjadi simbol dari kemenangan perempuan atas sistem yang selama ini menindasnya. Ia membuktikan bahwa perempuan tetap bisa bangkit dan layak mendapatkan cinta dan kebahagiaan bukan karena akhirnya menikah, tetapi karena ia bertahan, utuh, dan merdeka.
Penutup
Narasi Kalis Mardiasih ini bukan ditujukan untuk Luna Maya, melainkan juga sebagai wujud perlawanan terhadap budaya misoginis yang diam-diam mengakar dalam kehidupan kita. Luna Maya adalah kita. Dan kisahnya adalah pengingat bahwa tak ada satu pun label sosial yang dapat mencabut hak kita sebagai manusia yang utuh.