AswajaNews – Penghujung parade Serenade Langit Tembaga ditandai dengan menanam pohon kalpataru yang terdiri dari 21 tanah di kecamatan Ponorogo.
Beragam kesenian yang ada di Ponorogo memang tidak bisa dipungkiri.
Kabupaten yang mendapat julukan “Kota Reog” ini memang kaya akan budaya, baik budaya asli maupun hasil elaborasi.
Hal ini terbukti saat parade Serenade Langit Tembaga yang menampilkan beragam kesenian, dan bukan hanya reog saja.
Parade yang dimulai dari kawasan Pasar Lanang dan finish di Paseban Alun-alun Ponorogo, Sabtu (31/08/24) ini, seniman banteng-bantengan, unta-untaan, gajah-gajahan, serta penari tayub, gambyong, dan penari keling turut memeriahkan acara tersebut.
Setidaknya ada 27 kelompok seniman yang mengikuti parade yang masuk dalam rangkaian peringatan Hari Jadi ke-528 Kabupaten Ponorogo.
Pada acara penghujung ini, Wakil Bupati (Wabup) Ponorogo Lisdyarita meyakini bahwa Parade Serenade Langit Tembaga memiliki daya tarik kuat.
Terbukti, beragam kesenian turut tampil di sepanjang rute parade membentuk pertunjukan kolosal dengan durasi panjang.
“Reog Ponorogo sebentar lagi tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di UNESCO, kita masih memiliki kesenian khas lain yang juga menarik,” ungkapnya mengutip dari laman ponorogo.go.id.
Di pengujung parade, tak lupa ia menanam pohon kalpataru yang sarat akan simbol.
“Tanah diambil dari 21 wilayah kecamatan di Ponorogo, demikian pula air untuk menyiram sebagai simbol menyatukan. Pohon kalpataru juga memiliki simbol kehidupan dan kemakmuran,” imbuhnya.
Kegiatan ini tak lepas dari peran para camat yang rela membawa tanah dan air dari wilayah masing-masing untuk menanam kalpataru di Alun-Alun Ponorogo tersebut.***
Bagaimana kesan Anda terhadap keberagaman seni yang ditampilkan selama parade, termasuk seniman banteng-bantengan, unta-untaan, dan penari tradisional? Apakah Anda merasa parade ini merepresentasikan kekayaan budaya Ponorogo dengan baik? regard Teknologi Komputer