Pendidikan di Indonesia: Antara Paradoks Neoliberalisme dan Panggilan Demokrasi

AswajaNews – Sebagaimana Robinson dan Hadiz mengatakan bahwa upaya untuk memahami dinamika sosial dan politik di suatu negara tidak bisa dilepaskan dari kerangka besar perkembangan kapitalisme di negara tersebut (Mudhofir dan Potoh eds., 2020 : 29). Dalam kerangka kapitalisme, maka universitas ditempatkan sebagai sebuah korporasi yang bergerak pada industri jasa pendidikan. Pendidikan tinggi sebagai jantung dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi direorgansiasi ulang, di satu sisi digunakan untuk menopang akumulasi kapital global dan di lain sisi sebagai perangkat menundukan gerakan anti-kapitalis maupun emansipasi pengetahuan yang lebih humanis.

Transformasi dan siklus ini setidaknya memperlihatkan dua realitas utama, yaitu:
Pertama, Transformasi universitas sebagai bagian dari konfigurasi industrial dalam kapitalisme kognitif dengan jaringan kapital global. Kedua, Pendisiplinan, penundukan dan normalisasi elemen-elemen dalam industri pendidikan. Karenanya, kapital menjadi lebih intelektual, sementara universitas semakin industrial (Kontinum, 2013).

Padahal seyogyanya, pendidikan menjadi ruang memperjuangkan kaum tertindas (Freira, 2008), memanusiakan manusia (Driyarkara, 2013) dan memerdekakan manusia (Dewantara, 1962) . Sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945 bahwa pendidikan harus berdiri di atas semangat gelora “mencerdaskan kehidupan bangsa” tepat setelah “memajukan kesejahteraan umum” sebagai salah satu kewajiban negara Indonesia. Tetapi, pendidikan tinggi di Indonesia dari masa Orde Baru hingga era reformasi masih menyisakan permasalahan seperti cengkeraman birokrasi pemerintah, membengkaknya biaya pendidikan, marginalisasi lapisan miskin, kualitas pendidikan yang rendah, mutu penelitian dan karya serta budaya akademik yang masih rendah (Nugroho, 2006 : 155).

Kini, kita telah hidup di negara yang mulai menjauh dari ‘’janji kemerdekaan’’, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jalan ekonomi tidak lagi di rel ‘ekonomi kerakyatan’ ala Bung Hatta, kebutuhan dasar tidak lagi menjadi tanggung jawab negara, tetapi sepenuhnya diserahkan ke dalam kehendak pasar – meminjam istilah dari Bung Karno sebagai imperialisme ekonomi. Ekonomi makro global menjadikan privatisasi pendidikan sebagai pasar yang menjanjikan, membuat aset publik menjadi outsource. Hubungan antara negara dan pendidikan menjadi paradox (Harvey, 2005).

Secara umum neoliberalisme adalah teori praktik ekonomi-politik yang percaya bahwa kesejahteraan manusia dapat ditingkatkan dengan hak properti yang kuat, pasar bebas, dan perdagangan bebas (Harvey,2005). Namun, para teoritikus maupun agen ekonom pro pasar umumnya tidak pernah mengulas aspek ekonomi politik dari pembangunan itu sendiri—seolah memisahkan antara pasar, negara dan pembangunan; mewacanakan keadilan dari ketidakadilan konstan yang diciptakan neoliberalisme tanpa menawarkan perubahan secara fundamental hubungan sosial yang menimbulkan ketidakadilan ini, yaitu neoliberalisme itu sendiri.

Mereka tidak pernah merekomendasikan pembangunan negara kesejahteraan, memodifikasi struktur kepemilikan modal yang mendukung sektor publik, menerapkan kebijakan redistribusi pendapatan, atau mempromosikan layanan publik—apalagi berdebat mendukung pembangunan yang direncanakan oleh negara; sebaliknya argumen yang ada selalu menyiratkan bahwa negara harus sepenuhnya tunduk kepada kekuatan dominan modal global dan membantu akumulasi kapital (Herrera, 2006).

Impian pendidikan berkualitas hanya dapat diwujudkan dalam alam demokrasi pendidikan dan demokrasi pendidikan hanya dapat diwujudkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Namun, kenyatannya kehidupan yang demokratis masih lebih merupakan keinginan daripada kenyataan.

Konsep sistem pendidikan yang demokratis terkait dengan bagaimana pendidikan tersebut disiapkan, dirancang dan dikembangkan sehingga memungkinkan terwujudnya ciri-ciri atau nilai-nilai demokrasi. Ini juga bersifat umum dalam arti mengemas sistem pendidikan dengan seluruh komponen, yaitu kurikulum, materi pendidikan, sarana prasarana, lingkungan siswa, guru dan tenaga pendidikan lainnya, proses pendidikan dan lainnya. Bisa juga bersifat khusus melalui pengemasan komponen-komponen tertentu dari sistem pendidikan tersebut, misalnya bagaimana kurikulum atau bahan pelajaran atau proses belajar mengajar dirancang sedemikian rupa sehingga mencerminkan dan memungkinkan terbentuknya nilai-nilai demokrasi.

Dalam mengembangkan sistem pendidikan yang demokratis di Indonesia, perlu memperhatikan tujuh butir yang merupakan prinsip-prinsip dalam prosedur- prosedur yang demokratis dan mencerminkan pandangan serta jalan hidup demokratis yang diinginkan. Tujuh butir tersebut: (1) mengutamakan kepentingan masyarakat, (2) tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, (3) mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, (4) musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan, (5) memiliki i’tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah, (6) musyawarah yang dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur, (7) keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung-jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Pendidikan demokrasi bertujuan mempersiapkan warga masyarakat berfikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan pada generasi baru yang menyadari akan tiga hal. Pertama, demokrasi adalah bentuk kehidupan bermasyarakat yang paling menjamin hak-hak warga negara. Kedua, demokrasi adalah suatu learning process yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Ketiga, kelangsungan demokrasi tergantung pada keberhasilan menstransformasikan nilai-nilai demokrasi (kebebasan, persamaan dan keadilan, serta loyal kepada sistem politik yang bersifat demokratis.

Ada tiga aspek dasar yang perlu diperbaharui, yaitu regulasi, profesionalitas, dan manajemen. Reformasi tiga aspek ini sangat diperlukan agar dapat menciptakan kondisi sekolah yang memungkinkan peserta didik menjadi dirinya sendiri. Peserta didik dapat menemukan jati dirinya dan bertindak sesuai dengan dirinya sendiri, memenuhi interes dan dapat mengembangkan bakatnya, mampu mengambil keputusan secara rasional untuk kepentingan dirinya sendiri, keluarganya dan masyarakat.***

Penulis: Samsul Hadi

Editor: Dani Saputra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *