Menyongsong Islam Emansipatoris: Tafsir Kritis dan Aksi Pembebasan Kemanusiaan


AswajaNews – Islam Emansipatoris merupakan terobosan baru dalam ranah pemikiran dan gerakan sosial di Indonesia. Gagasan ini melakukan konsensus makna baru terhadap pemahaman agama (teks) sebagai sistem makna dan nilai yang memihak kepada kaum lemah dan terpinggirkan. Isu-isu yang diangkat adalah isu-isu tentang ketidakadilan, keterbelakangan dan kemiskinan yang dihadapi masyarakat bawah.

Islam emansipatoris mendekati teks dengan kerangka realitas sosial dengan refleksi kritis atas problem sosial yang dihadapi masyarakat, baik yang bersifat makro maupun mikro, kemudian membangun strategi-strategi perubahan yang dipraksiskan dalam bentuk aksi perubahan (teoritis-praksis). Posisi teks agama dinaikkan sebagai spirit pembebasan dan moral kemanusiaan. Tekanannya adalah upaya mengubah hubungan dominasi sosial dalam kebudayaan, khususnya dalam nalar dan etika sosial.

Paradigma Islam Emansipatoris yang diimplementasikan dalam program Islam emansipatoris mempunyai concern terhadap agama atau teks kitab suci. Maka dari itu, dari titik ini diperlukan adanya pemikiran tafsir baru itu sendiri, karena kitab suci menjadi sumber inspirasi sebagai pijakan moral untuk melihat realitas sosial. Oleh karena itu, dalam pendekatan Islam Emansipatoris, memahami teks suci tidak cukup sebatas pendekatan klasik yang hanya mampu memahami makna literal teks. Lebih jauh, yang diperlukan adalah memahami struktur sosial masyarakat sehingga diperlukan pendekatan interdisipliner agar lebih kaya dalam pemahaman agama serta mampu melihat problem sosial sebagai upaya untuk melakukan sinkronisasi teks dan konteks yang memberikan implikasi terhadap perubahan sosial.

Secara historis, pemilihan istilah emansipatoris pada dasarnya tidak lepas dari pembacaan teori kritis yang berkembang di era kontemporer yang dikaitkan dengan penafsiran agama secara kritis. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan penafsiran agama secara kritis mencakup dua dimensi: Pertama, realitas material, yaitu model penafsiran agama yang mempertanyakan ideologi hegemonik yang bertolak pada kehidupan riil dan materiil atau mempertanyakan hegemoni yang bertolak pada realitas empirik. Kedua, visi transformatif, yaitu model penafsiran agama yang memiliki komitmen pada perubahan struktur, maupun relasi hegemonik dalam hubungan pemberi dan penerima narasi (ulama-umat) maupun relasi politik (penguasa-rakyat).

Islam Emansipatoris hadir dengan paradigma dan pendekatan yang lebih membebaskan dan berinteraksi langsung dengan problem kemanusiaan. Setidaknya ada tiga hal yang hendak disampaikan dalam Islam Emansipatoris. Pertama, memberikan perspektif baru terhadap teks dan mencoba melihat teks dari kacamata konteks dan problem kemanusiaan, karena sebenarnya teks lahir dari konteks dan sosio-kultur masyarakat pada zamannya.
Kedua, menempatkan manusia sebagai subyek penafsiran keagamaan. Hal ini dalam rangka memperpendek jarak yang selama ini terlalu jauh antara teks dan realitas. Pemahaman keagamaan yang dihadirkan di tengah-tengah masyarakat selama ini hampir semuanya berangkat dari teks yang kemudian diturunkan menjadi produk hukum dalam rangka memberi status hukum terhadap realitas. Akibatnya, bukan saja teks kehilangan semangat transformatifnya, bahkan lebih buruk lagi teks berjarak dengan realitas.
Ketiga, memberikan perhatian yang besar persoalan-persoalan kemanusiaan dari pada kepada persoalan-persoalan teologis. Islam Emansipatoris ingin mengalihkan perhatian agama dari persoalan langit (teosentrisme) menuju persoalan riil yang dihadapi manusia (antroposentrisme).

Penekanannya ada pada aspek praksis sehingga agama tidak hanya dipahami sebagai ritualisme melainkan pembebasan masyarakat dari segala penindasan.
Islam Emansipatoris diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk memahami historisitas teks dan sejauh mana teks itu dapat mewujudkan perubahan pada tataran praksis. Ini sejalan dengan pandangan bahwa keistimewaan wahyu tidak dikarenakan ia berasal dari Tuhan belaka, melainkan ia dapat membawa misi keadilan, pluralisme, pembebasan, kemanusiaan dan keadaban.

Tafsir keagamaan yang memihak kepada kepentingan publik dan kemaslahatan umum merupakan tawaran hermeneutik bahwa tafsir tidak hanya menjadikan teks sebagai subyek yang dianggap satu-satunya pemegang kebenaran absolut, melainkan sebagai obyek yang dituntut mempunyai visi pembelaan atas kaum lemah.

Dengan demikian paradigma tafsir emansipatoris adalah komitmen pada problerm kemanusiaan, bukan pada teks suci sebagaimana tafsir teosentris atau ideologis. Teks-teks suci di sini subordinat terhadap pesan moral, sehingga ia tidak dipahami sebagai undang-undang melainkan sebagai agen pembebasan dan pencerahan. Pada teoritisasi perubahan watak transformatif tafsir emansipatoris akan didefinisikan sebagai landasan bagi misi tafsir emansipatoris yang berupa aksi pembebasan. Secara integral, tafsir model ini tidak berhenti pada pembongkaran teks, dengan menjadikan teks sebagai wahana pembebasan, karena realitas dominasi tidak haya wacana melainkan juga dominasi yang bersifat riil dan materil.*** (Samsul Hadi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *