Agama dan Semangat Membela Kaum Mustad’afin, ‘Menyoal’ Agama Adalah Candu Karl Marx

oleh : Dani Saputra

Berbicara mengenai superstruktur dan ideologi, pada ‘momen’ yang lain akan membawa pemahaman terhadap agama itu sendiri. Dalam persoalan ini, pendapat Karl Marx mengenai ‘agama adalah candu’ setidak-tidaknya akan memunculkan dua interpretasi.

Pertama, ‘barangkali’ agama yang dimaksud oleh Karl Marx di sini adalah agama yang justru menjadikan manusia menjauh dari nilai-nilai perjuangan kelas proletar.
Agama tidak lagi menjadi pemantik daya hidup dan semangat dalam berjuang menghancurkan kedzaliman. Bahkan jika menggunakan kalimat yang lebih ekstrim, agama justru turut andil dalam melanggengkan status quo dalam kehidupan sosial yang berlangsung.

Kedua, agama yang dimaksud Karl Marx ‘mungkin’ bukan lagi berangkat dari kekecewaannya terhadap agama, akan tetapi pada keputusasaannya sendiri, bahwa jalan sosialisme ternyata bukan satu-satunya solusi untuk menumbangkan determinisme ekonomi.

Persoalan ini ‘mungkin’ yang dibaca oleh pemikir-pemikir Marxis (Marxisme Muda) sebagai jalan baru untuk ‘merevisi’ apa yang meski dilakukan dengan jaman dan keadaan yang terus maju sebagaimana yang terjadi saat ini.

Dalam dunia filsafat modern misalnya, pemikiran Karl Marx banyak dikritik oleh mereka yang bergabung dalam Madzab Frankfurt, mulai dari Adorno, Marcuse, hingga Habermas yang hadir ‘seolah-olah’ untuk melakukan ‘dekonstruksi’ atas pemikiran-pemikiran Karl Marx.

Selain para pemikir Madzab Frankfurt, dalam teori sosiologi strukturalismenya, Emile Durkheim begitu terlihat serius memasukkan teori Marxis dalam pendekatannya.

Dalam artikel ini, penulis akan ‘menyoal’ Durkheim terlebih dahulu sebelum membahas mengenai Madzab Frankfurt. Hal ini berkaitan dengan ‘kepentingan’ untuk melihat relasi agama yang berkaitan dengan hal ‘di luar’ agama.

Meski Durkheim bukan satu-satunya pemikir yang mempermasalahkan agama dalam hal perubahan. Artinya, Feuerbach_ yang secara periodik dekat dengan Marx sudah lebih dulu membahasnya.


Apakah agama benar-benar sebuah candu? Penulis lebih sepakat dengan pengertian bahwa agama justru menjadikan manusia menjauh dari nilai-nilai perjuangan kelas proletar. Agama tidak lagi menjadikan manusia ‘hidup’, bahkan agama justru turut andil dalam melanggengkan status quo tersebut.

Pembacaan Durkheim tentang Karl Marx yang ‘kecewa’ terhadap agama bisa dipinjam dalam penjelasan ini, bahwa ada masanya Karl Marx membahas agama dengan bahasa yang sangat baik sama sekali, meski kadang pada persoalan lain ia membahas agama dengan bahasa yang cukup tegang dan ‘kejam’.

Oleh karena itu, agama yang justru tidak menjadi dasar perjuangan untuk menghancurkan sistem dominasi, maka agama seperti inilah yang dianggap sebagai candu. Jadi, pandangan yang menganggap bahwa Marx anti terhadap agama sama sekali adalah pandangan yang kurang tepat. Marx tidak sepenuhnya bicara sedemikian.

Agama adalah candu yang dimaksudkan tidak mengarah pada sikap atheistik, melainkan perlunya untuk melihat agama dalam hal-hal substansi dan harus dihidupkan kembali.

Agama dalam konteks ini, bagi Emile Durkheim adalah agama yang tidak hanya bicara persoalan religiusitas individu atau bagaimana hubungannya dengan Tuhan. Padahal agama adalah sebuah komplesitas, baik dalam teoritis (ajaran) maupun praktik (substansi).

Misalnya, kita tidak hendak menghindari relasi antara agama dan ekonomi, agama dengan politik, agama dengan budaya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini kritik Marx mungkin agak ‘provokatif’, bagaimana ia menganggap bahwa agama adalah sebuah sistem kepercayaan yang mempunyai orientasi utama mengenai sistem tatanan di dalam masyarakat agar berjalan dalam laju kepentingan penguasa.

Lebih jauh Marx mengkritik bahwa kepercayaan kepada Tuhan maupun Dewa-Dewa dengan meninggalkan substansi perjuangan tidak ubahnya sebagai bentuk pelarian atas kekalahan dan kekecewaan dalam perjuangan kelas.

Kalau hendak menelisik lebih jauh lagi, misalnya dalam bukunya Marx sendiri ‘Das Kapitas’, atau ‘Konsep Manusia menurut Marx’ yang ditulis oleh Erich Fromm, dan juga buku ‘Muhammad SAW dan Karl Marx’ yang ditulis oleh Munir Che Anam, penulis dapat menarik kesimpulan yang sederhana, bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Karl Marx adalah perjuangan membela kaum-kaum yang tertindas; kaum proletar melawan kaum borjuis. Perjuangan tersebut hendaknya juga menjadi semangat ‘kita’, terlebih Islam untuk membela kaum Mustad’afin.

Pada akhirnya, penulis bukanlah orang yang terlalu mendewakan pemikiran Marx atau menganggap Marx sebagai ‘nabi baru’. Pemikiran Marx memang perlu mendapat pembaharuan, terlebih tentang keyakinannya bahwa determinisme ekonomi sebagai sebuah awal dari sebuah permasalahan ‘mungkin’ kurang tepat dalam konteks hari ini.

Akhirnya, Marx hanyalah manusia biasa, ia hanya diberi kelebihan untuk berfikir sedemikian rupa, dan mungkin juga kepekaan hati yang cukup luas sehingga ia, dengan hati merasa perlu ‘membela’ kaum-kaum yang lemah dan tertindas.

Erick Fromm pernah menulis dalam bukunya, bahwa pada suatu waktu Karl Marx pernah merasakan bagaimana rindu yang begitu berat kepada kekasihnya. Fromm ingin menampilkan Karl Marx sebagai manusia biasa pada umumnya agar tidak terlihat ‘sangar’ bagi sebagian orang.***

One thought on “Agama dan Semangat Membela Kaum Mustad’afin, ‘Menyoal’ Agama Adalah Candu Karl Marx

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *