Tugas Berat Pemuka Agama

Oleh: Rosadi Jamani (Akademisi UNU Kalbar)

Mengumbar kejelekan suatu agama rasanya tabu. Kalau pun dibicarakan hanya di ruang private saja. Tak berani bicara di ruang publik. Sepertinya itu dulu. Sekarang, orang bicara kejelekan agama mirip rakyat mengkritik presiden. Agama seperti “ditelanjangi” dikoreksi sampai ke tulang sumsum. Kalau tak kuat iman, bisa murtad.

Ente pasti sering nonton video dengan judul “Satu gereja memilih muallaf” Debat pendeta vs ustaz dan si pendeta kalah. Bagi orang Islam pasti senang. Apalagi kitab suci orang Kristen dibeberkan letak kejanggalannya. Dipertanyakan keasliannya. Nabinya sering diolok-olok. Sudah diolok diketawain lagi.

Dikira orang Kristen diam. Mereka juga melakukan hal serupa. Membuat judul video, “Ribuan orang Islam menjadi murtad.” Isi Alquran pun dikoreksi. Apalagi hadis dipertentangkan satu dengan yang lain. Bagi orang Kristen pasti senang.

Tak percaya? Coba tonton canelnya Zuma Zulkifli dan Jonatan Nadar. Dua canel ini sering mengulik isi kitab suci Kristen. Ia seperti melawan argumentasi orang Kristen dengan Injil. Zuma dan Nandar seperti pendekar untuk meruntuhkan segala argumentasi kaum kristiani. Pengikut Kristus kalau tak menguasai kitab sucinya, berat untuk melawannya. Titik koma Injil pun mereka hafal. Orang Islam banyak mengidolakannya di medsos dalam debat Islam vs Kristen. Padahal keduanya bukan ustaz. Namun, mereka piawai dalam berdebat dan menguasai kekristenan.

Lalu di pihak Kristen apa tidak ada seperti Zuma dan Nandar. Ada dong. Ada canel Religioloy dengan tokoh fiktifnya Scott Orang Indonesia. Ada juga Alhayat Apologetics Channel. Di luar negeri ada tokoh Sam Shamsoun, Chistian Prince. Mirip Zakir Naik juga. Canel dan tokoh itu selalu mengkoreksi isi quran dan hadis. Macam canel Religiology, ini cocok berhadapan dengan cendekiawan Muslim. Sebab, setiap pemaparannya disertai bukti arkelogi, manuskrif kuno, referensi mutahir. Berat untuk disanggah setiap argumentasinya. Semua dipaparkan secara ilmiah, bukan asumsi. Kalau tak kuat iman, janganlah ditonton, bisa murtad, hehehe. Kalau mau membantah argumentasi, go ahead, silakan kunjungan canel. Mereka juga siap menerima tantangan debat.

Dulu perdebatan itu hanya kita baca di buku. Itu pun bahasanya sudah diedit sebaik mungkin. Yang baca juga kalangan intelektual, bukan awam. Sekarang, bisa ditonton secara vulgar kapan saja. Kadang disampaikan dengan gaya mengolok-olok, sindir-menyindir, kadang banyak yang emosi. Tak lagi mengenal usia, anak kecil pun bisa menyaksikan debat mempertahankan kebenaran agamanya. Debat antar agama ini akan semakin marak ke depan. Akan mengisi ruang-ruang publik. Mulai ada dibuatkan panggung debat terbuka secara offline. Selalu seru untuk ditonton.

Ketika perdebatan itu semakin tinggi eskalasinya, kasihan pemuka agama. Mereka harus siap menjawab segala kritikan terhadap agamanya oleh umat sendiri dan pihak luar. Kritikan itu yang dulu tabu, sekarang bak peluru. Harus siap menjawab dengan ilmiah dan masuk akal. Sebab, ketika jawaban itu tak masuk akal, si penanya akan mencocokkannya dengan dalil, sejarah, arkeologi, manuskrif, dan kondisi kekinian. Bisa mati kutu dibuatnya kalau tak siap. Kadang anak TK saja kritis, “Bu..guru..bu guru…mana lebih kuat Superman dengan Tuhan?” Bingungkan jawabnya, hehehe.

Dunia semakin maju, dan orang semakin ilmiah. Menjelaskan sesuatu yang ghaib sangat berat di zaman ini. Orang selalu menuntut bukti. Pemuka agama mau tidak mau harus lebih siap menghadapi segala kritik terhadap kitab suci, nabi, Tuhan, malaikat, surga, neraka, pahal, dosa, dsb. Debat soal nasab saja tiada habisnya. Padahal, sama-sama menggunakan kitab. Begitu juga debat agama, dari dulu sampai sekarang tak pernah berhenti.

Apa yang mesti diperbuat? Debat agama bisa menguji kebenaran agama itu sendiri. Efeknya, bila tak kuat orang bisa menjadi murtad atau muallaf. Bisa juga menimbullan apatisme, orang menjadi malas beragama. Lahir kelompok yang lagi naik daun sekarang, agnostik. Mereka percaya Tuhan, tapi tak mau melaksanakan syariat agamanya. Kalau tak agnostik, ya atheis. Perilaku memilih agnostik dan atheis lebih banyak dipengaruhi banyaknya pemuka agama justru tak memperlihatkan akhlak dari agamanya sendiri. Pemuka agama kok menghamili santri, pendeta kok mesum, ustaz kok korupsi, pendeta kok begini begitu. Perilaku seperti ini membuat banyak kaum agamawan memilih apatis. Ente cek data saja bagaimana pertumbuhan atheis di google, bukannya turun selalu naik setiap tahunnya.

Apakah debat agama itu harus dihentikan? Sepertinya tidak bisa, justru akan lebih kencang lagi. Zaman medsos siapapun boleh mempertanyakan kebenaran agama. Bebas. Debat apapun bebas, sulit dihentikan.

Sarannya, Bang? Perkuat masing-masing keimanan. Perlihatkan kita orang beragama layak dicontoh dan diteladani. Jangan korupsi, buang sampah pada tempatnya, hidup bersih dan sehat, dan datang tepat waktu. Kita ditakdirkan berbeda, namun tetap bersama dalam hal kemanusiaan.
Itu saja wak, ada waktu kita kopi ya…!

camanewak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *