Menilik Moderasi Beragama di Bumi Khatulistiwa

Oleh: Rosadi Jamani (Dosen UNU Kalbar)

Pada Jumat (14/7/2023), saya diundang ke Jalan Padat Karya Pontianak Barat. Pihak yang mengundang ingin memperlihatkan masjid dan gereja berdampingan. Hanya dipisahkan pagar saja. Dua tempat ibadah beda keyakinan itu sudah lama ada. Saya diajak masuk masjid. Ada jamaah dan penceramah. Pesan penceramah, tetap jaga kerukunan beragama. Setelah itu, saya diajak masuk gereja. Tak ada jamaah karena bukan hari Minggu. Hanya ada jamaah sedang latihan nyanyi religi.

Bangunan itu menggambarkan bahwa di Jalan Padat Karya warganya rukun walau beda aqidah. Saat Muslim salat Idulfitri, gereja siapkan halaman untuk lahan parkir. Bahkan, pemudanya ikut menjaga kekhusyu’an Muslim lagi salat. Begitu juga saat natalan, pemuda Muslim ikut berkontribusi menjaga kelancaran ibadah. Hidup rukun dan guyub. Kira-kira itu pesan moralnya. Beda agama, tapi dalam hal kemanusiaan, sama.

Bukan hanya di jalan itu masjid tetanggaan dengan gereja. Di Jalan Adisucipto Sungai Raya Kuburaya ada juga masjid berjiran dengan Pura Giripati Mulawarman Hindu. Itupun juga sudah lama. Ada juga taepekong konghucu bersebelahan dengan vihara Budha. Ada juga vihara Budha berdiri di tengah komunitas Kristen di Senakin Landak. Kuil Hindu berdiri gagah di kelilingi komunitas Muslim di Kayong Utara. Banyak lagi rumah ibadah berdiri di tengah komunitas agama lain.

Ditarik lagi ke belakang, zaman kesultanan Islam, para sultan mengizinkan berdirinya gereja maupun vihara atau kuil. Bahkan, vihara Tri Dharma di Kapuas Besar seusia dengan Masjid Kesultanan Kadariah Pontianak.
Kisah berdampingan rumah ibadah beda keyakinan sudah lama ada. Artinya, selama itu juga orang kita hidup dalam kerukunan. Padahal waktu itu belum ada Pancasila, atau istilah yang lagi populer sekarang, Moderasi Beragama. Nenek moyang kita sudah menanamkan itu dari dulu.

Tapi kenapa ada muncul penolakan berdirinya rumah ibadah? Yang menolak itu bukan di Kalbar, melainkan di provinsi lain. Kalau di Bumi Khatulistiwa belum ada. Itu tanda bahwa kehidupan beragama maupun bermasyarakat sangat rukun dan damai. Satu-satu persoalan yang pernah terjadi, konflik antaretnis. Dari tahun 1980-an dan puncaknya 1998, negeri ini pernah mengalami konflik antaretnis, bukan agama. Sedih dan agak trauma bila diceritakan. Cukuplah hanya jadi cerita dan untuk dijadikan pelajaran.

Artinya, belum pernah ada konflik agama di provinsi yang memiliki dua kota dan 12 kabupaten ini. Semoga tidak ada ke depannya. Aamin. Begitu juga konflik antaretnis janganlah muncul lagi. Please. Tetap ingat pesan leluhur, “Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung.”

Potensi konflik antaretnis maupun agama pasti ada. Tapi, tidak akan terjadi bila selalu hidup rukun, toleran, saling menghargai. Satu lagi bila sama-sama merasakan keadilan.#camanewak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *