Aswaja News – Belakangan ini, muncul pernyataan kontroversial dari Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat yang memberikan kebijakan agar anak-anak yang dianggap “nakal” dikirim ke barak militer untuk pelatihan kedisiplinan.
Tidak lama berselang, seorang anggota komisi X DPR RI, Andi Muawiyah Ramli menyarankan agar mereka dikirim ke pondok pesantren (ponpes) agar mendapatkan pembinaan.
Meski mungkin lahir dari niat memperbaiki moral generasi muda, kedua gagasan ini patut dikritisi secara serius karena berisiko mengabaikan hak anak, mereduksi kompleksitas masalah sosial, dan mengarah pada pendekatan yang tidak manusiawi.
Reduksi Masalah Sosial Menjadi “Kenakalan Anak”
Dalam banyak kasus, perilaku menyimpang anak bukanlah masalah tunggal yang bisa diselesaikan dengan kedisiplinan keras. Anak yang dianggap “nakal” sering kali merupakan korban dari pola asuh yang buruk, kekerasan dalam rumah tangga, tekanan sosial, lingkungan miskin, hingga trauma masa kecil yang tidak tertangani.
Melabeli mereka sebagai “nakal” tanpa mengurai sebabnya adalah bentuk penyederhanaan yang berbahaya dan kontraproduktif. Sehingga ini harusnya melibatkan berbagai pihak yang kompleks dalam pendampingannya.
Barak Militer: Solusi Palsu yang Potensial Menganiaya
Mengirim anak-anak ke barak militer untuk “dihukum” atau “didisiplinkan” katanya, adalah pendekatan militeristik yang tidak sesuai dengan prinsip pendidikan dan perlindungan anak.
Barak militer dibangun atas dasar ketaatan, hierarki, dan kekerasan simbolik, bahkan fisik yang bisa sangat merusak psikologis anak.
Pendekatan seperti ini justru berisiko menciptakan luka baru, ketakutan, atau bahkan dendam sosial pada anak-anak yang seharusnya dibina dengan kasih, pemahaman, dan pendampingan.
Pengiriman ke barak militer tidak hanya bertentangan dengan hal itu, tapi juga membuka ruang pelanggaran hak anak secara sistematis.
Selain itu, alih-alih untuk menyembuhkan anak “nakal”, pendidikan militeristik akan mengajari anak soal “Takut dan Patuh” yang jangka panjangnya akan membungkam daya kritis anak.
Pondok Pesantren Bukan Tempat Pembuangan
Pernyataan anggota DPR yang menyarankan anak “nakal” dikirim ke pondok pesantren menunjukkan kegagalan memahami peran pesantren dalam dunia pendidikan Islam.
Pesantren bukan institusi koreksi sosial atau lembaga rehabilitasi, melainkan lembaga pendidikan yang mendidik jiwa dan akal secara komprehensif dalam suasana spiritual dan kekeluargaan.
Menjadikan pesantren sebagai “tempat penampungan” anak bermasalah justru dapat merusak citra pesantren di mata masyarakat.
Ini menciptakan stereotip bahwa pesantren adalah tempat perbaikan moral bagi anak-anak bermasalah, bukan pilihan pendidikan utama bagi keluarga.
Selain itu, kasus-kasus kekerasan, bullying, pelecehan yang terjadi di Ponpes harusnya menjadi pembelajaran bahwa kekerasan bisa terjadi di masa saja sekalipun berlindung atas nama agama.
“Siapapun bisa jadi korban dan semua juga bisa jadi pelaku”
Alih-alih mengambil jalan pintas yang otoriter, solusi terhadap anak-anak dengan perilaku menyimpang seharusnya berakar pada pendekatan restoratif, rehabilitatif, dan edukatif.
Pemerintah bisa mengembangkan pusat rehabilitasi sosial berbasis komunitas yang melibatkan psikolog, konselor, guru, tokoh agama, dan keluarga. Sistem ini fokus pada penyembuhan trauma, penguatan karakter, dan pemulihan relasi sosial bukan sekadar hukuman.
Anak-anak juga seharusnya dilibatkan dalam proses perbaikan diri. Melatih tanggung jawab sosial, mengembangkan keterampilan hidup, dan menumbuhkan empati lebih efektif untuk membentuk karakter ketimbang memaksa mereka tunduk pada sistem.
Selain itu, dibutuhkan sistem pendidikan yang memberikan ruang ekspresi, mendorong dialog terbuka, dan mengembangkan kecerdasan emosional. Bukan hukuman, tapi keteladanan dan dialog yang akan membentuk moral dan sikap anak dalam jangka panjang.
Kesimpulan
Gagasan mengirim anak ke barak militer atau pesantren sebagai bentuk pembinaan adalah refleksi kegagalan kita memahami dunia anak dan kompleksitas sosial yang mereka hadapi.
Sudah saatnya kita berpindah dari pendekatan otoriter menuju pendekatan yang manusiawi, mendidik, dan melindungi. Masa depan bangsa ada di tangan anak-anak dan mereka pantas tumbuh dalam lingkungan yang mendidik, bukan menghakimi.
Sumber foto : Kang Dedi Mulyadi Channel