Oleh: Rosadi Jamani (Dosen UNU Kalbar)
Habis ujian pasti lihat hasilnya. Antara lulus dan tidak lulus. Ini bagi siswa akhir. Bagi siswa kelas satu dan dua, ada ujiannya juga. Hasilnya, naik kelas atau tetap di kelas. Hal paling indah ketika dinyatakan lulus dan naik kelas. Sebaliknya, akan merana dan sedih ketika dinyatakan tidak lulus atau tidak naik kelas. Duh, malunya. Seakan menjadi orang terbodoh di dunia. Dunia terasa gelap. Di saat yang lain kegirangan, malah sedih menangis di pojok kelas. Kalau tak kuat iman, bisa saja mengakhiri hidup. Ini dunia sekolah, ada ujiannya. Bertahun-tahun belajar harus diuji kemampuan dan penguasaan keilmuan.
Ternyata, dalam hal bernegara, juga ada ujiannya. Tidak asal main urus seenak e dewe. Ada Bank Dunia yang akan menguji negara setiap tahunnya. Apakah negara itu benar mengelola negara atau tidak.
Bagaimana hasil ujian Indonesia tahun 2022 lalu? Bank Dunia sebagai otoritas tertinggi untuk menilai sebuah negara menyatakan Indonesia naik kelas. Tepuk tangan dong. Harus senang negara sendiri naik kelas. Sekali-kali pujilah. Berhenti sejenak mikirkan atau nge-ghibah-in soal stadion JIS, Kaesang mau jadi Walikota Depok, soal TKA China, soal hutang, ijazah palsu, mobil Esemka. Semua itu sudah ada yang mikirkannya. Oke…! Senyum dong, lagi naik kelas ni wak.
Tak lihatin datanya ya. Tahun 2021 lalu, saat pandemi covid, Gross National Income (GNI) Indonesia $4.170. Tahun 2022 naik menjadi $4.580. Dengan angka GNI inilah negeri saya, negeri ente, negeri kita naik dari lower menjadi upper middle income atau negara berpendapatan menengah ke atas. Dari negara miskin (lower) naik kelas jadi negara berdompet tebal (upper). Cuma, Indonesia masih kalah dengan Thailand dan Malaysia. Kalah dikit saja. Tapi, Singapore dan Brunei belum bisa dilawan. Posisinya masih sebagai negara high income, crazy rich ni bos. Berat mau lawan dua negara dengan berpendapat tinggi. Namun, dalam hal sepakbola, dua negara itu jadi ayam sayur Marcelino Ferdinand cs.
Singapore income-nya $67.200 dan Brunei $31.410. Sementara kita baru $4.580. Jauh kali lae. Iya, sangat jauh soal dompet. Tetap harus disyukuri, Indonesia sudah naik kelas. Tak lagi negara miskin ala anak durhaka Timor Leste. Ngenes lihat negara Xanana Gusmao ini. Isi bensin saja masih antre berjam-jam. Kalau di kita kan tak ada antre macam dulu.
Nah, bagaimana wak. Senang ndak negara kita naik kelas. Saya sih senang. Senang bangat dah. Bahasa Alquran, nikmat mana lagi yang ente dustakan. Kecuali, yang belum move on sejak 2019 lalu. Orang yang masih bicara PKI, komunis, hutang, TKA China, Yahudi Israel, Syiah, dll. Di mata mereka, negeri ini tak ada bagusnya lagi. Narasinya selalu, negara tidak peduli kemiskinan, negeri para koruptor, negeri bedebah, zalim, rezim antek aseng dan asing. Kalau sudah marah, berat mau dilawan, kecuali diam sambil ngopi. Negara naik kelas pasti dicibir. Sekali-kali puji dong rezim Jokowi. Sekali saja seumur hidup, oke.
Setiap negara pasti punya problem. Korupsi merajalela, ia benar, saya setuju. Di sini pentingnya kita kritik habis para penegak hukum dan para pejabat agar amanah. Kemiskinan masih banyak, setuju. Di sini kita selalu kritik pemegang kebijakan agar lebih banyak mengalokasikan anggaran untuk kepentingan rakyat. Bukan tiap tahun belanja mobil dinas saja. Anggaran perjalanan dinas lebih besar ketimbang kebutuhan gizi rakyat. Hutang negara tinggi, ia benar. Sepanjang masih bisa dibayar, is ok wak. Banyak lagi problem di negeri ini. Namun, bukan berarti tidak ada kemajuan. Apresiasi juga dong bila faktanya Indonesia naik kelas. Oke, ayolah senyum kawan.