Pertamina Foundation muda 2025 Apresiasi Budaya Lokal dari Desa: Komunitas Literasi Ruang Desa Ponorogo Bawa Pulang Pengakuan

Aswaja News – Angin sore menyapu lembut halaman rumah baca kecil di Desa Sampung. Seperti biasa, suara pemuda pemudi yang bermusyawarah untuk desanya. Tapi hari itu, ada sesuatu yang berbeda. Sebuah pesan masuk di ponsel ketua komunitas. Singkat, tapi menghentak hati:

Proposal “Aksara Jawa Ngrembaka” lolos tahap kurasi PFmuda 2025 dari Pertamina Foundation.

Desa sunyi itu mendadak menjadi tempat lahirnya kabar besar. Kabar yang lahir bukan dari pusat kota atau ruang ber-AC di kampus ternama, melainkan dari tempat yang sering luput dari peta: dusun, jalan bebatuan, dan ruang baca pinggiran.

“Banyak orang mengira budaya itu soal masa lalu. Padahal, ia juga cara kita bertahan hari ini,”
ujar **Samsul Hadi**, penggerak utama Komunitas Literasi dan TBM Ruang Desa.

Samsul bukan tokoh elite. Ia adalah anak kampung yang belajar di kampus agama, aktif dalam gerakan mahasiswa, dan kembali ke desanya bukan untuk menyerah, tapi untuk menanamkan harapan baru. Bersama teman-temannya, ia menghidupkan kembali aksara Jawa, sebuah warisan yang nyaris hilang dari percakapan sehari-hari.

Melalui program *“Aksara Jawa Ngrembaka”*, mereka ingin mengenalkan kembali tulisan leluhur kepada generasi muda. Bukan hanya sebagai simbol masa lampau, tapi sebagai cara mencintai identitas sendiri.

Kegiatan komunitas ini tak mewah. Buku-buku dipinjamkan dari rak kayu sederhana. Pelatihan menulis dilakukan di warung, balai dusun, bahkan di rumah anggota. Tapi justru dari kesederhanaan itu, lahir gagasan yang membumi.

Dengan bimbingan **Reza Andik Setiawan**, pengasuh Serambi Bedoyo dan Direktur Universitas Terbuka Ponpes Uyun Al-Hikam, komunitas ini melangkah lebih jauh. Serambi Bedoyo, yang dulunya hanya tempat diskusi dan ngopi, kini dipilih menjadi pusat Festival Literasi Budaya yang akan digelar Oktober mendatang.

“Saya tak mengajari mereka. Saya hanya menemani mereka tumbuh, kata Reza, yang juga dikenal sebagai pendidik dan aktivis budaya.

Lolosnya proposal Ruang Desa bukan sekadar keberhasilan administratif. Ini adalah simbol bahwa suara dari desa, jika konsisten dan jujur, bisa didengar hingga ke Jakarta.

Dari lebih 3.800 proposal, hanya segelintir yang diterima untuk tahap kurasi nasional. Proposal dari Sampung ini membedakan dirinya lewat pendekatan: berbasis komunitas hidup, membela bahasa, dan merayakan desa sebagai pusat pengetahuan.

“Kami tidak membawa jargon besar. Kami hanya membawa apa yang kami jalani sehari-hari,” ucap Samsul.

Program “Aksara Jawa Ngrembaka” akan berjalan selama enam bulan. Isinya padat: pelatihan membaca dan menulis aksara Jawa, kelas geguritan, pelatihan MC adat (pranata adicara), hingga pengembangan platform digital berbasis konten budaya lokal.

Semua akan bermuara pada satu perayaan besar: Festival Literasi Budaya di Serambi Bedoyo, bertepatan dengan Hari Kebudayaan Nasional.

Yang datang bukan selebritas, tapi para pemuda desa, petani, santri, guru, pegiat budaya dan masyarakat umum. Sebuah festival yang tak menjual kemewahan, tapi mengajak untuk pulang—pulang pada akar.

“Di era teknologi canggih, kita lupa bahwa budaya adalah teknologi pertama manusia,”ujar Reza.

Bagi Ruang Desa, budaya adalah teknologi adaptif—yang membentuk kecerdasan sosial, spiritual, dan emosional manusia sejak zaman dahulu. Budaya bukan barang museum, tapi alat untuk memahami dan merawat hidup.

Dalam festival nanti, mereka ingin membuktikan: bahwa bahasa  bukan sekadar bahan pelajaran, tapi napas kehidupan. Bahwa aksara bukan milik masa lalu, tapi juga alat membangun masa depan.

Komunitas Ruang Desa memang kecil. Tapi mereka telah mengajarkan kita satu hal penting: bahwa perubahan besar bisa dimulai dari tempat yang dianggap sepi.

Mereka tidak bicara soal revolusi. Mereka hanya menyalakan satu demi satu lampu kecil di desa, agar generasi baru tak buta akan asal-usulnya.

“Kami percaya, kalau desa bersuara, Indonesia bisa mendengar,” kata Samsul, dengan suara pelan dan menyakinkan.

Kini, dari desa yang jauh dari pusat kekuasaan, lahir satu gerakan yang tak bisa diabaikan. Bukan karena teriakannya paling keras, tapi karena suaranya tulus dan datang dari tempat yang paling jujur.

“Aksara Jawa Ngrembaka” bukan sekadar project. Ini adalah kesaksian bahwa budaya belum mati. Bahwa ada generasi yang memilih pulang, bukan karena menyerah, tapi karena ingin menjaga.

Dan ketika mereka menulis aksara leluhur di atas kertas hari ini, sesungguhnya mereka sedang menulis ulang harapan dari desa, untuk Indonesia.

Jumat, 13 Juni 2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *