Ironi Negeri Ini: Ketika Bawang Lebih Mahal Daripada Harga Nyawa

Aswaja News – Keadilan di negeri ini kerap terasa timpang, seperti timbangan yang tak lagi seimbang.

Beberapa hari lalu, publik dikejutkan oleh peristiwa memilukan: seorang nenek berusia 67 tahun dari Polanharjo, Klaten, yang menjadi korban penganiayaan oleh petugas keamanan pasar setelah ketahuan mencuri lima kilogram bawang putih di Pasar Mangu, Kecamatan Ngemplak, Boyolali (7/5).

Tindakan itu bukan dilakukan karena niat jahat, melainkan karena terdesak kebutuhan ekonomi dan terjerat utang, sebagaimana disampaikan oleh Kapolres Boyolali, AKBP Rosyid Hartanto, setelah penyelidikan berlangsung.

Kasus ini bukan yang pertama, dan sayangnya, mungkin bukan yang terakhir.

Pada 2015, masyarakat juga sempat diguncang oleh kasus nenek Asiani (63 tahun) di Situbondo, yang harus menjalani hukuman penjara selama satu tahun dengan 15 bulan masa percobaan karena mencuri tujuh batang kayu jati milik Perhutani.

Nilai barangnya tak seberapa, namun hukum seolah tak memberi ruang untuk memahami motif motifnya.

Di negeri ini, mereka yang mencuri karena kelaparan kerap langsung dicap bersalah, diadili tanpa sempat menjelaskan keadaan. Sementara yang mengeruk uang rakyat dalam jumlah besar atas nama kekuasaan, justru tetap bisa berjalan bebas, menyusun argumen, bahkan diberi panggung untuk membela diri.

Perbedaannya bukan semata pada perbuatan, tapi pada siapa pelakunya dan bagaimana negara menyikapinya.

Potret Ketimpangan Hukum dan Nurani

Akibat pemukulan, kepala nenek tersebut harus dijahit sebanyak tiga jahitan, dengan memar tampak jelas di bawah mata dan dagunya.

Meski dua pelaku penganiayaan, ZA dan KA, kini telah diamankan pihak berwajib dan tengah menjalani proses pemeriksaan, namun peristiwa ini kembali mengingatkan kita pada luka lama tentang rapuhnya keadilan dan kemanusiaan di negeri ini.

Kekerasan bisa begitu mudah menimpa warga kecil, apalagi jika mereka dianggap mengganggu “ketertiban umum” hanya karena mencoba bertahan hidup.

Ironisnya, para elite yang menilep uang negara hingga ratusan miliar rupiah justru tetap dihormati, duduk di kursi sidang dengan tenang, dilayani pengacara mahal, dan diperlakukan sangat hati-hati.

Masyarakat miskin yang terpaksa mencuri karena lapar dianggap kriminal, sementara mereka yang mencuri karena serakah justru dilindungi oleh sistem.

Kita tak sedang hanya membahas seorang nenek, ini tentang wajah negara yang gagal. Gagal memastikan seluruh rakyatnya bisa hidup layak. Gagal menjamin bahwa hukum berdiri untuk semua.

Jika seorang lansia harus mencuri bawang demi bertahan hidup, maka ini bukan semata kasus pidana, tapi bukti bahwa negara belum mampu menjawab persoalan paling dasar: memberi makan rakyatnya.

Dari balik gedung-gedung rapat megah, jeritan perut kosong mungkin tak terdengar. Tapi di pasar-pasar rakyat, suara itu nyata dan dibalas dengan kekerasan.

Negara seperti apa yang membiarkan warganya dipukul karena lapar, jika bukan negara yang perlahan  kehilangan nuraninya ?

Sumber ilustrasi : Pinterest

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *