Teladan Ulama Tempo Doeloe: Demi Ilmu Agama Rela Mengorbankan Harta

Oleh: Dr. K. Ahmad Syafi’i SJ, M.S.I.

[Wakil Rois Syuriah PCNU Ponorogo & Wakil Rektor I INSURI Ponorogo]

Di tengah-tengah ngaji rutin “Kitab Adābud Dunyā wa ad Dīn” keluarga besar MWCNU Pulung di bulan Ramadhan, aku sampaikan hasil pengamatan ku atas kondisi masyarakat yang ada, utamanya dalam kaitannya dengan masih lemahnya semangat pengorbanan harta demi ilmu agama. Demi memotivasi para jama’ah yang mengikuti kajian rutin, aku tak lupa menyampaikan juga beberapa riwayat yang menginformasikan spirit ulama yang rela mengorbankan harta mereka demi dapat mengakses ilmu agama.

Dalam kerangka ifādah dan sekaligus istifādah, apa yang penulis sampaikan di atas, penulis narasikan dalam catatan singkat berikut.

Dewasa ini, semangat untuk mengeluarkan harta demi bisa mengakses pendidikan agama tampaknya masih sangat lemah. Masih banyak di kalangan masyarakat yang terlalu sayang harta dibandingkan ilmu agama. Sebaliknya, demi keinginan selain ilmu agama, mereka sanggup mengeluarkan biaya besar tanpa berpikir panjang.

Berbeda ceritanya dengan apa yang telah dicontohkan oleh ulama dahulu kala. Karena ulama tempo dulu sadar betul, bahwa ilmu agama itu merupakan ilmu yang sangat berharga.

Imām al-Māwardī dalam karyanya “Adābud Dunyā wa ad Dīn” menegaskan:

وإذا لم يكن إلى معرفة جميع العلوم سبيل وجب صرف الإهتمام إلى معرفة أهمها، والعناية بأولها وأفضلها. وأولى العلوم، وأفضلها علم الدين. لأن الناس بمعرفته يرشدون، وبجهله يضلون.

“Manakala untuk menguasai semua ilmu itu menemui jalan buntu , maka yang terpenting adalah mengerahkan daya upaya untuk belajar mengetahui Ilmu yang paling penting, dan bersungguh-sungguh untuk mempelajari ilmu yang paling tepat dan paling utama. Ilmu yang paling tepat dan paling utama adalah ilmu agama. Karena, manusia yang mengetahui ilmu agama akan mendapatkan petunjuk, sementara manusia yang bodoh ilmu agama akan tersesat.” [Syaikh Ahmad al-Arzanjānī, Minhājul Yaqīn Syarah Adābid Dunyā wa ad Dīn li Al-Imām al-Māwardī, (1/151)].

Tentu, sesuatu yang paling utama itu mesti siap ditebus dengan pengorbanan yang besar guna bisa meraihnya.

Berikut ini adalah sebagian kecil informasi sejarah yang berhasil penulis himpun dari beberapa referensi yang mengetengahkan spirit ulama dalam menuntut ilmu dan pengorbanan harta mereka guna memenuhi biaya pendidikan.

Dinukil dalam kitab “Tahdzībul Kamāl”, karya al-Īmām Syams ad-Dīn adz-Dzahabī, bahwa selama menuntut ilmu, Muhammad bin Salām menghabiskan biaya hingga 40.000 dirham:

قال سهل ابن المتوكل: سمعت محمد بن سلام يقول: نفقت في طلب العلم أربعين ألفا

“Sahal bin Mutawakkil berkata: “”Aku mendengar Muhammad bin Salām berkata: “Aku membelanjakan harta semasa menuntut ilmu 40.000 dirham (sktr 170 juta).[Al-Īmām Syams ad-Dīn bin Abdillāh Muhammad bin Ahmad bin ‘Usmān adz-Dzahabī, Tahdzībul Kamāl fī Asmā’ ar-Rijāl [8/127]

Ibnu Al Qāsim berkata :

وقد قال ابن القاسم: أفضى بمالك طلب العلم إلى أن نقض سقف بيته فباع خشبه، ثم مالت عليه الدنيا

“Sungguh Ibn al-Qāsim berkata: “Mencari ilmu telah menyebabkan Imām Mālik membongkar atap rumahnya dan menjual kayu-kayunya. Kemudian setelah itu dunia berdatangan kepadanya (setelah beliau menjadi ulama).” [Muhammad Abū Zahrah, Mālik: Hayātuhu wa ‘Ashruhu, Ãrā-uhu al-Fiqhiyyah, hal. 36].

Dinukil oleh Ahmad Farīd dalam kitabnya “Min A’lām as-Salaf”, bahwa Imām Syu’bah menjual baskom-baskom ibunya demi biaya untuk mempelajari ilmu hadis.

عن ابن عيينةقال: سمعت شعبة يقول: بعتُ طَسْتَ أمي بسبعة دنانير

“Ibn ‘Uyainah berkata: “”Aku pernah mendengar Syu’bah berkata: “Aku pernah menjual baskom-baskom ibuku hingga mencapai 7 dinar.” [Ahmad Farīd, Min A’lām as-Salaf, (1/272)].

Artinya, demi ilmu hadis, I’mām Syu’bah sampai rela menjual bagian dari perabot dapur ibunya, yaitu baskom hingga mendapatkan terkumpul uang 7 dinar.

Imām adz-Dzahabī menuturkan bahwa demi memahami satu bab ilmu nahwu, Khalaf bin Hisyām rela mengeluarkan biaya belajar hingga mencapai 1000 dirham:

وعن خلف قال: أشكِل عليَّ بابٌ من النحو، فأنفقتُ ثمانين ألف درهم حتى حذقته.!

“Aku pernah mengalami kesulitan dalam memahami satu bab ilmu nahwu, maka aku keluarkan biaya belajar yang mencapai 1000 dirham (sekitar 80 juta) untuk bisa menguasainya.”[al-Īmām Syams ad-Dīn bin Abdillāh Muhammad bin Ahmad bin ‘Usmān adz-Dzahabī, Ma’rifah al-Qurrā’ al-Kibār ‘alā ath-Thabaqāt wa al-A’shār (1/421)].

Sementara itu, dalam kitab “Tārīkh Madīnah Dimasyqa”, karya Al-Imām Abū al-Qāsim ‘Alī bin Hasan asy-Syāfi’ī, diinformasikan bahwa demi bekal biaya menuntut ilmu hadis, Imām Yahyā bin Ma’īn rela menghabiskan harta warisan dari bapaknya senilai 1.000.000 dirham. Riwayat dimaksud adalah sebagai berikut:

فخلف ليحيى ابنه ألف ألف درهم، فأنفقه كله على الحديث حتى لم يبق له نعل يلبسه.

Yahyā bin Ma’īn mendapatkan warisan 1.000.000 dirham (sktr 80 M) dan semuanya beliau habiskan untuk biaya belajar ilmu hadits hingga ia tak punya sandal lagi untuk dipakai.” [Al-Imām Abū al-Qāsim ‘Alī bin Hasan asy-Syāfi’ī, Tārīkh Madīnah Dimasyqa, (65/11)]

Selanjutnya, termasuk yang paling mencengangkan adalah kisah pembiayaan belajarnya Imām Rabī’atur Ra’yī, yang mana orang tuanya mengeluarkan dana dengan total 30.000 dinar (kira-kira jika dikurs kan rupiah berapa ya???? Jika tidak salah sekitar 120 milyar rupiah).

Ulama terdahulu sangat sadar betul akan pentingnya ilmu agama. Untuk mendapatkannya, mereka rela mengorban harta yang tidak sedikit. Mengingat, bahwa harta merupakan salah satu dari tiga kebutuhan yang harus dimiliki dan dipersiapkan oleh para pencari ilmu. Hal ini sebagaimana dikatakan:

وكان شيخنا العلامة محمد راغب الطباخ رحمه الله تعالى يقول: العلم يحتاج إلى ثلاثة أمور: مال فرعون، وعمر نوح، وصبر أيوب. مال قارون؛ لشراء الكتب والذهاب إلى مجالس العلماء البعيدة…….ويحتاج إلى عمر نوح؛ لقراءة تلك الكتب، وكذا يحتاج إلى صبر أيوب؛ إذ قراءة الكتب ومجالس العلماء تحتاج إلى صبر وجهاد، صبر على طلب العلم، ومجاهدة النفس.
قال عبد الفتاح: وأزيد رابعا، وهي: دار السلطان، أي الدار الكبيرة لتتسع الكتب.

“Guru kami, Syekh Muhamnad Rāghib ath-Thabbākh, berkata, “ilmu memerlukan tiga hal, yakni hartanya Qārūn, usianya Nabi Nūh as, dan kesabaran Nabi Ayyūb as.” Harta Qārūn untuk membeli kitab dan menghadiri majlis-majlis ulama yang jauh…juga memerlukan umur Nabi Nūh untuk membaca kitab-kitab tersebut. Demikian juga, pencari ilmu, membutuhkan kesabaran Nabi Ayyūb. Mengingat, membaca kitab dan pergi ke majlis-majlis ulama membutuhkan kesabaran, sabar dalam menuntut ilmu dan mengendalikan hawa nafsu.”

Sementara itu, kami ingin menambahkan satu hal lagi (menjadi empat hal), yakni rumah layaknya rumah raja. Maksudnya rumah yang besar supaya dapat menampung banyak kitab.” [Abdurrahmān Husein Muhammad, Iqtināshul Farā-id wad Dikhārul Fawā-id, hal. 58].

Semoga kita bisa meneladani spirit ulama terdahulu dalam mengorbankan hartanya demi menuntut ilmu, utamanya ilmu agama. Semoga bermanfaat. Wallāhu A’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *