Gerakan Feminisme Islam untuk Menyongsong “Yang Lain”; Refleksi atas Pemikiran Fatima Mernisi

Penulis: Dani Saputra, M.Sos.

Siapa yang hendak mengelak bahwa sejak penciptaan manusia pertama sudah banyak tafsir-tafsir yang mengarah bahwa perempuan itu hanya untuk melengkapi Adam? Kesadaran semacam ini secara senyap telah membuat pondasi hierarkis sehingga kita memposisikan perempuan berada di bawah atau di pinggir.

Melihat hal ini Fatima Mernisi melakukan pembacaan yang sedikit berbeda. Ia mengakui bahwa Hawa memang diciptakan setelah Adam, tetapi maksud “setelah” bukan berarti harus serta merta diartikan “untuk melengkapi”. Menurutnya, kalimat pelengkap itu sendiri tidak ada dalam Al-Quran, sehingga ia berpendapat bahwa Hawa diciptakan bukan sebagai pelengkap.

Lebih jauh, Fatima Mernisi banyak melihat problem-problem peminggiran perempuan ini berdasarkan pada nash. Ayat poligami misalnya, ayat tersebut tidak serta merta menyuruh laki-laki untuk melakukanya, karena bagi mereka yang memiliki kepekaan perasaan akan memahami bahwa ayat tersebut bukan sebagai keharusan, melainkan melihat situasi-kondisi jika memungkinkan, itupun kalau bisa adil. Garis besar yang ingin ditekankan adalah persoalan keadilan, sementara keadilan adalah sesuatu yang menegangkan. Tidak ada yang benar-benar menemuhi porsi adil tersebut.

Gerakan Feminisme Islam, termasuk salah satu pemikirannya mencoba “menggalakkan kesadaran” bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama. Gerakan ini bukanlah ajaran yang hendak mengajak untuk memberontak terhadap Islam, melainkan berusaha melihat bahwa Al- Quran dan Al-Hadist tidak pernah memposisikan peremuan sebagai manusia nomer dua.

Feminisme Islam bukan anti terhadap keduanya, melainkan sebuah upaya untuk melihat “Yang Lain” dalam memahaminya atau menafsirkannya. Feminisme Islam juga berusaha melacak kembali dasar-dasar ajaran Islam bagi upaya kesetaraan gender. Kenapa perempuan saja yang harus menjaga aurat? Atau kenapa perempuan terbatasi kebebasannya dengan alasan keamanan? Kenapa tidak laki-laki yang harus dibatasi sehingga kejadian yang tidak diinginkan tersebut bisa dihindari?

Dalam upaya pengentasan peminggiran terhadap perempuan, maka perjuangan gerakan ini termasuk dalam kerangka kebaikan, karena tujuannya tak lain adalah membebaskan dari kedzaliman. Perjuangan kesetaraan tidak harus dilakukan dengan mengangkat derajat perempuan tetapi justru malah merendahkan derajat laki-laki. Tidak boleh mencaci-maki dan saling menjatuhkan karena tujuan gender bukan merubah yang awalnya penguasanya laki-laki menjadi perempuan.

Hasilnya harus kesetaraan, susah senang bersama dan menjadi khalifah dibumi bersama-sama. Jika dalam hidup ada suatu fungsi, itu adalah sebuah kewajaran, karena hidup ini multi-fungsi dan dimensi, kadang-kadang memang harus membagi tugas.

Fatima Mermissi melakukan pendekatannya menggunakan hermeneutika. Melakukan tafsir ulang dan mengecek kembali tafsir yang selama ini ada pengaruh dari mufasirnya. Asumsinya tersebut sebagai berikut: Manusia dibentuk oleh sejarah dan bahasa, serta manusia yang bersifat dialogis. Dunia tempat tinggal kita adalah satu konstruksi mental yang kita bentuk sendiri dengan perspektif subjektif dan intersubjektif masing-masing.

Pemahaman kita tentang dunia, penerimaan kita terhadap makna yang ada dibaliknya ditentukan oleh pengalaman hidup yang dimiliki. Di sini tugas hermeneutik ialah berusaha membongkar atau menembus asumsi-asumsi tersembunyi dalam pemahaman terhadap “Yang Lain” (perempuan).

Kalau hak-hak dari perempuan menjadi masalah bagi beberapa laki-laki muslim modern, itu pasti bukan karena Al- Quran, Nabi atau karena Sunnah, melainkan karena hak-hak tersebut berhadapan dengan kepentingan elit tertentu yang kadang-kadang mempunyai kepentingan, terlebih untuk mengatur.

Bias politik sering menyingkirkan peran aktif perempuan dalam ruang publik. Kekuatan-kekuatan tertentu yang menghilangkan peran aktif perempuan dalam sejarah telah mendiskriminasi perempuan melalui pembentukan citra-citra negatif dan pasif tentang perempuan. Banyak peran aktif perempuan karena struktur politik dan sosial yang akhirnya membuat perempuan terpinggirkan.

Misalnya, skema peran ataupun pembagian kerja, seakan-akan perempuan hanya sebagai faktor pendukung laki-laki. Contoh yang par excellent dalam konteks ini menurut Fatima Mermisi adalah Aisyah. Menurut sebagian orang atau kelompok fundamentalis atau bahkan yang mengaku reformis, keterlibatan Aisyah dalam persoalan politik kekuasaan dianggap mewakili citra buruk feminitas yang tidak puas pada status ibu atau istri yang baik.

Beberapa bukti peran dan partisipasi perempuan dalam sejarah Islam yang membuat Fatima Mermisi memperjuangkan hak perempuan adalah, ia melihat keadaan ketika Rasul masih hidup, di mana kaum perempuan telah diakui sebagai sahabat.

Menurut Ibnu Hajar, tercatat ada 1.500 sahabat perempuan. Meski secara kuantitas memang lebih banyak laki-laki, itu bukan berati perempuan tidak mempunyai peran besar.

Kedua, kaum perempuan juga mengambil peran dalam sumpah setia langsung kepada Nabi untuk memperjuangkan Islam, bahkan ada yang terlibat dalam perang.

Ketiga, banyak sumbangan perempuan dalam proses penulisan hadist. Oleh karena itu, kepasifan perempuan, peminggiran perempuan dan kedudukannya yang marjinal adalah suatu konstruksi dan rekayasa yang dibudayakan, tidak ada hubungannya dengan tradisi apalagi ajaran Islam.

Banyak perempuan-perempuan hebat disekeliling Nabi, di antaranya adalah Khadijah, seorang perempuan sukses, bussiner dan konsultan kenabian pertama. Aisyah yang terkenal dengan kecerdasan dan kiprahnya di panggung politik Arab, salah satu rujukan utama terkait Hadist Nabi, sehingga eksistensinya berpengaruh terhadap konstruksi hukum Islam.

Ada juga Ummu Salamah yang terkenal dengan keintelektualannya dan menjadi sumber referensi dalam persoalan-persoalan penting dalam masyarakat. Bahkan, pada suatu ketika ia pernah memprotes Rasulullah terkait dengan ayat-ayat Al-Quran yang hanya mengakomodir kepentingan laki-laki dan tidak ada ayat yang konsen tentang persoalan perempuan.

Baginya, hak perempuan yang harus dihidupkan, yaitu hak untuk berpastisipasi aktif dalam membentuk budaya. Jangan membiarkan laki-laki menciptakan segalanya dan perempuan jangan hanya menjadi follower. Hak untuk menjadi seorang mufasir atau ahli agama. Hak dalam mengambil keputusan politik dan pembentukan hukum karena itu yang menentukan nasib sosial dan nasib budaya.

Fatima Mermissi dikenal sebagai orang yang kritis terhadap hadist misoginis, yaitu hadist yang konotasinya meminggirkan perempuan. Ayat tentang hijab misalnya, baginya ayat tersebut tidak ada hubungannya dengan memisahkan laki-laki dan perempuan.

Untuk menghadapi hadist misoginis semacam itu, Fatima Mermissi mengajak untuk meninjau kembali dari tiga penjuru. Pertama, analisis-historis, ada banyak contoh peran serta partisipasi perempuan muslimah di bidang pemerintahan dalam sejarah, langsung atau tidak langsung. Kedua, analisis gender, adanya budaya patrialkal yang menimbulkan subordinasi perempuan. Subordinasi perempuan bukan karena kelemahan biologis perempuan atau karena ajaran agama, namun lebih banyak disebabkan oleh konstruksi sosial tentang peran perempuan yang sering menimbulkan ketimpangan. Ketiga, kritik hadist, perhatikan aspek asbab-al wurud, matannya, yaitu sebab timbulnya hadist tersebut, pada waktu apa, kapan dan kenapa.

Akhirnya, kita patut merenung, apakah mungkin Islam mengajarkan perlakuan yang tidak adil kepada perempuan? Apakah mungkin Nabi Muhammad SAW sebagai seorang Rasul yang diketahui demikian baik akhlaqnya sampai hati bersabda merendahkan harkat dan martabat perempuan? Apakah benar adat-istiadat yang mengarah kepada perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan berasal dari ajaran Islam?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *