Oleh: Dr. K. Ahmad Syafi’i SJ
Diskursus kelompok elit merupakan diskursus yang selalu menarik untuk diperbincangkan dalam berbagai disiplin ilmu, tidak terkecuali disiplin ilmu Al-Qur’an, karena berkait berkelindan dengan pranta sosial, kekuasaan, kepemimpinan, keadilan dan moral [Susanne Keller, 1995: 5].
Kategori-kategori elit ini, juga diintrodusir oleh Al-Qur’an dalam matra sejarahnya. Di antaranya adalah melalui diksi mala’ (الملأ).
Kata mala’ (الملأ) yang ditulis dengan alif, dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 13 kali. Sedangkan kata mala’ (الملؤا) yang ditulis dengan waw, disebut sebanyak 4 (empat) kali di dalam Al-Qur’an (1 kali dalam kisah Nabi Nûh, (1 kali dalam kisah Nabi Sulaiman, dan 2 kali dalam kisah kerajaan Saba’). Perbedaan penulisan Al-Qur’an atas kata mala’ ini berkonsekuensi pada perbedaan konsep dan makna.
Kata mala’ ( الملأ) adalah kata yang digunakan Allah SWT di dalam Al-Qur’an untuk menunjukan kumpulan orang-orang hebat, jenius dan memiliki kapasitas yang mengelilingi seorang raja atau penguasa, dan karena itulah ia selalu diterjemahkan dengan “Para pembesar”. Ada juga yang mengatakan bahwa mala’ (الملأ) adalah orang-orang elit terkemuka, mulia, pembesar, dan pemimpin dari suatu kaum atau masyarakat yang memiliki otoritas dalam menentukan atau mempengaruhi suatu kebijakan. Dikatakan juga, bahwa al-mala’ (الملأ) digambarkan memiliki karakter dan perilaku negatif serta memiliki kekayaan yang melimpah, hidup dalam kemewahan dan kemegahan.
Kata mala’ (الملأ) berasal dari kata mala’a ( ملأ) yang secara harfiyah berarti orang yang kepalanya “dipenuhi” ide-ide, fikiran-fikiran dan cara pandang yang brilian untuk dilimpahkan kepada seorang raja agar bisa menjadi tuntunan bagi sang pemimpin untuk mengambil kebijakan yang lebih baik. Secara rasam Qur’an ( الرسم القرأني) “Penulisan Al-Qur’an” terdapat dua model penulisan dari kurang lebih 17 kali kata mala’ yang ada di dalam Al-Qur’an. Sebagiannya ditulis dengan huruf alif yaitu al-mala’ ( الملأ), dan sebagian ditulis dengan huruf waw yaitu al-mala’ ( الملؤا). Dalam sistem morfologi dan sintaksis Arab, huruf waw adalah huruf yang paling berat. Maka, Secara semantik dipahami bahwa kata mala’ ( الملؤا) yang ditulis menggunakan huruf waw adalah pembesar yang lebih berbobot, lebih kapabel, lebih otoritatif dan memiliki kemampun lebih hebat dibandingkan al-mala’ ( الملأ) yang ditulis dengan huruf alif. Wajar, Ketika al-Qur’an menyebutkan para pembesar yang menjadi penasehat ratu adil dari negeri Saba’ yang terkenal dengan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, maka kata pembesar bagi sang penguasa tersebut disebutkan dengan huruf waw. demikian seperti firman-Nya surat An-Naml [27]: 32
قَالَتْ يٰٓاَيُّهَا الْمَلَؤُا اَفْتُوْنِيْ فِيْٓ اَمْرِيْۚ مَا كُنْتُ قَاطِعَةً اَمْرًا حَتّٰى تَشْهَدُوْنِ
Dia (Balqis) berkata, “Wahai para pembesar! Berilah aku pertimbangan dalam perkaraku (ini). Aku tidak pernah memutuskan suatu perkara sebelum kamu hadir dalam majelis(ku).”
Begitu juga, ketika Allah Swt menyebutkan para pembesar Sulaiman yang diminta bantuan mereka memindahkan istana Ratu Balqis dari Yaman ke Palestina dalam waktu cepat, maka kata para pembesar itu juga dituliskan menggunakan huruf waw. Demikian seperti firman-Nya surat Al-Naml [27]: 38:
قَالَ يٰٓاَيُّهَا الْمَلَؤُا اَيُّكُمْ يَأْتِيْنِيْ بِعَرْشِهَا قَبْلَ اَنْ يَّأْتُوْنِيْ مُسْلِمِيْنَ
Dia (Sulaiman) berkata, “Wahai para pembesar! Siapakah di antara kamu yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku menyerahkan diri.”
Ayat tersebut memberi pesan bahwa para pembesar ratu Saba’ dan para pembesar Sulaiman adalah orang-orang berbobot secara keilmuan, punya kapasitas dan otoritas di bidangnya, serta ide dan fikiran mereka memiliki sumbangan sangat besar bagi negara dan rakyat sehingga wajar jika rakyat keduanya menjadi aman, damai, makmur dan sejahtera.
Hebatnya, dan ini merupakan bagian dari kemu’jizatan penulisan Al-Qur’an, ada sekian kali Allah Swt menyebutkan pembesar Fir’aun di dalam Al-Qur’an, namun tidak satupun pembesar Fir’aun yang ditulis dengan huruf waw, namun semuanya ditulis dengan huruf alif. Demikian seperti firman-Nya surat al-Qashash [28]: 38:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرِي فَأَوْقِدْ لِي يَا هَامَانُ عَلَى الطِّينِ فَاجْعَلْ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَطَّلِعُ إِلَىٰ إِلَٰهِ مُوسَىٰ وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ مِنَ الْكَاذِبِينَ
Dan berkata Fir’aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta.”
Ayat tersebut memberi isyarat bahwa semua pembesar dan pejabat yang berada di sekitar Fir’aun adalah orang-orang yang “keblinger”, tidak punya kapasitas, memiliki wawasan dan intelektul rendah, cara pandang mereka picik dan receh (Hamman, Panglima Fir’aun, kufur karena intelektualnya, Qarūn, bendahara Fir’aun kufur karena harta) . Sehingga, mereka hadir ke istana bukan untuk memberi ide, fikiran dan pandangan brilian kepada sang raja (Fir’aun), melainkan hanya untuk sekedar menjilat dan menyenangkan hati sang raja dengan segala bentuk puja puji yang palsu. Wajar, jika negara Mesir ketika itu menjadi kehilangan rasa aman, sering dilanda paceklik dan rakyatnya jauh dari kata sejahtera.
Walhasil, jika ada pemimpin yang dikelilingi para pembesar yang kredibel, berwawasan progresif dan bijak serta berorientasi pada kemaslahatan umat, maka hakakekatnya itulah Sulaiman baru (New Sulaiman) bersama mala’ (الملؤا)-nya yang siap menghantarkan kemakmuran bagi masyarakat. Sebaliknya, jika ada pemimpin yang dikelilingi para pembesar yang kurang berbobot, berwawasan picik, dan hanya bisa menjilat sang “bos” (baca: Asal Bos Senang/ABS) demi mengamankan posisi, maka anda sedang menyaksikan Fir’aun baru (New Fir’aun) bersama mala’-nya dengan pilihan huruf alif (الملأ) yang akan menjerumuskan masyarakat, bangsa dan negara dalam lubang kehancuran. Wallāhu A’lam.
*Adalah Wakil Rois Syuriah PCNU Ponorogo