Tantan Hermansah (Pegiat P2MI, Dosen UIN Syahid Jakarta)
Kampung adalah ruang rindu, khususnya bagi orang kota. Sebab pada istilah itu, terlebih bagi anak-anak yang lahir belakangan, bisa jadi mereka hanya menemukan “kampung” pada kata, bukan pada realitas. Sebuah kampung yang melambangkan jalinan kerinduan dan nuansa primordial. Sehingga Kampung menjadi frasa terbuka yang kemudian bisa diisi dengan beragam makna dan asa.
Kadang-kadang, telinga kita tertangkap oleh sebutan “kampung”, sebuah kata yang mengundang asosiasi mendalam dalam benak kita. Istilah ini menggambarkan sebuah wilayah yang sering ditemukan di pinggiran, mungkin dengan tampilan peradaban yang lebih sederhana, tetapi memiliki pesona dan kehidupan yang tak ternilai.
Kampung, suatu kata yang tak lekang oleh waktu, kadang disuarakan dengan nada peyoratif: “kampungan”. Meskipun “kampung” dan “kampungan” merupakan dua entitas berbeda, namun benang merah dari tekanan peyoratif ini dapat terlihat.
Akan tetapi kali ini, kita akan membahas lebih jauh tentang kerinduan kultural yang tertanam dalam jiwa penduduk kota terhadap suatu tempat bernama “Kampung”. Kerinduan ini mengalir dalam tindakan-tindakan penuh makna, yang pada akhirnya memberdayakan masyarakat.
Di suatu sudut kota Surabaya, terdapat gerakan yang melekatkan istilah “kampung”, yakni: “Kampung Mandiri Bergerak”. Di tengah hiruk-pikuk kota Surabaya, Kampung Mandiri, sebuah perwujudan nyata dari kerinduan tersebut. Nama ini bukan sembarangan, melainkan sebuah titian yang menghubungkan masa lalu primordial dengan semangat kreatif masa kini.
Kampung Mandiri bergerak dengan tekun, menggugah harapan akan semangat budaya yang membara, bahkan di tengah gemerlap kota. Kampung, dalam konteks ini, bukan sekadar gagasan mengapung, melainkan citraan dari kerinduan yang telah lama terpendam, kemudian diangkat dan dibangun kembali oleh orang-orang kota.
Seiring dengan momentum ini, masyarakat dan aktivis Kampung Mandiri Bergerak dengan sungguh-sungguh berkolaborasi dalam harmoni. Mereka membentuk beragam program yang tak hanya membenahi masalah-masalah sosial, ekonomi, dan budaya, tetapi juga merawat dimensi psikologis individu dan komunitas.
Dalam kerja sama ini, tak hanya masyarakat setempat yang berperan, tetapi juga akademisi dan para pemangku kepentingan. Dalam setiap program yang diciptakan, tergambar kerinduan mendalam pada kehidupan yang bermakna, mencerminkan dinamika serta kehidupan yang penuh warna.
Namun, apa yang terlihat di tengah kota Surabaya hanyalah sebagian kecil dari perjalanan panjang ini. Begitu banyak upaya dan gerak-gerik masyarakat yang tertuang dalam upaya memahami esensi sejati Kampung.
Seperti gelombang di lautan, mereka berusaha menggali pertanyaan-pertanyaan yang menghantarkan pada makna sejati Kampung: bagaimana denyut nadi dan jiwa sebuah kampung?
Sebuah harapan muncul dari Kampung ini, yakni kebudayaan yang berakar pada warga kota akan terus tumbuh dan memberi inspirasi bagi semua, mencetuskan gagasan-gagasan pencerahan.
Jadi, di balik jargon dan konsep, Kampung Mandiri Bergerak menggambarkan sebuah kisah tentang kerinduan yang mencapai titik puncaknya, tentang semangat yang terus bergelora, dan tentang upaya untuk mengangkat kehidupan dalam semua dimensinya.
Seperti halnya tari tradisional yang terus bertahan dan terus dilanjutkan dari generasi ke generasi, kerinduan pada akar budaya yang tulus meneruskan tradisi berjalan dalam setiap tindakan, mengingatkan kita bahwa kampung sejati bukan hanya tempat, melainkan kumpulan kenangan dan semangat yang tak
pernah pudar. [ ]