Nasionalisme: Nalar Islam Radikal vs Nalar Islam Moderat


Oleh: Dr. K. Ahmad Syafi’i SJ*

Salah satu pelajaran penting yang bisa kita petik dari sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia yang kemudian membuahkan kemerdekaan adalah adanya semangat nasionalisme yang tinggi. Tanpa nasionalisme atau cinta tanah air, bisa jadi Allah tidak menurunkan rahmat-Nya berupa anugerah kemerdekaan RI.

Namun, sangat disayangkan, bahwa dalam perjalannya masih ada pihak-pihak yang mempersoalan legalitas syar’i dari konsep “nalisonalisme” ini. Pihak yang mempersoalkan keabsahan konsep nasionalisme dalam Islam, sejauh penelusuran penulis, adalah mereka yang diidentifikasi sebagai penganut paham Islam radikal, Islam garis keras (radikalisme).

Tulisan ini hendak menyelami konsep nasionalisme dari dua perspektif, yaitu: perspektif nalar Islam radikal dan perspektif nalar Islam moderar serta bagaimana cara mengimplemantasikannya dalam konteks kekinian.

Nalar Islam Radikal dan Beberapa Anotasi

Penolakan kelompok Islam radikal terhadap konsep nasionalisme ini didasarkan pada persepsi mereka atas “tanah air”. Persepsi tentang tanah air di dalam nalar kaum radikalis ini, menurut Usâmah Sayyid Mahmûd al-Azharȋ dalam karyanya al-Haqq al-Mubîn fî ar-Raddi ‘alâ Man Talâ’aba bi ad-Dîn, hal., 160, 172-174], mewujud dalam beberapa rumusan nalar berikut:

الوطن حفنة تراب لاقيمة لها

“Tanah air adalah gugusan tanah yang tidak bernilai.”

حب الوطان انفعال بشري سحيف, لابد من مقاومته والبراءة منه, مثل ميل الإنسان للمعاصى.

“Cinta tanah air merupakan perasaan konyol dalam diri manusia yang harus dilawan dan dibuang sebagaimana halnya kecenderungan manusia kepada kemaksiatan.”

ليس فى الشرع آية ولا حديث تدل على حب الوطن.

“Di dalam syariat tidak ada satupun ayat dan hadis yang menganjurkan untuk mencintai tanah air.”

الحديث المتعلق بحب النبي لمكة فيه خصوصية لمكة ودها, فلا نقيس بقية الاوطان عليها

“Hadis terkait cinta Nabi saw kepada Mekah merupakan kekhususan bagi Mekah, maka kita tidak perlu menganalogikannya dengan tempat-tempat lainnya.”

Menanggapi nalar yang terbangun di kalangan kelompok radikalis tersebut, setidaknya terdapat beberapa anotasi (poin kritik) yang bisa dikemukakan. Karenanya keterbatasan ruang diskusi yang ada, maka penulis tidak bisa menanggapinya satu per satu.

Pertama, “tanah air adalah gugusan tanah yang tidak bernilai.” Nalar yang dibangun oleh kelompok radikal ini jelas merupakan persepsi yang tidak utuh tentang konsep tanah air (al-wathan). Mereka (radikalis) terlihat mengabaikan komponen-komponen pembentuk konsep tanah air. Karena pada hakekatnya tanah, tanah air tidak hanya berupa gugusan tanah, namun lebih dari itu ia adalah cerminan dari sebuah bangsa, peradaban, sejarah, posisi regional, internasional, serta menyangkut persoalan pengaruh politik dan pemikiran kawasan. Menurut Sayyid Mahmûd al-Azharȋ [hal., 160], tanah air juga berkait berkelindan dengan para ilmuwan yang telah membuat sejarah negerinya di bidang ilmu agama, sejarah kebangsaan yang penuh semangat patriotism, sejarah ekonomi, diplomasi, sastra, kesenian, dan bidang-bidang lainnya.

Kedua, “cinta tanah air adalah perasaan konyol dalam diri manusia yang harus dilawan dan dibuang sebagaimana halnya kecenderungan manusia kepada kemaksiatan.” Seperti halnya nalar yang pertama, nalar kedua ini juga mengandung kesesatan pemahaman. Karena dalam kaca mata syariat, cinta tanah air (nasionalisme) harus senantiasa dipupuk dan dibangun sehingga tertancap kuat dalam sanubari setiap warga negara. Dengan kecintaan kepada tanah air yang tertancap kuat ini, kata Sayyid Mahmûd al-Azharȋ, maka syariat tidak perlu memberikan aturan khusus baginya. Mengingat dorongan-dorongan naluri yang sehat sudah cukup untuk men-drive manusia berjalan di jalur yang benar terkait persoalan nasionalisme ini. Di antara dorongan-dorongan yang sehat itu adalah sikap loyalitas (intimâ’) dan kesetiaan kepada tanah air.
Pandangan di atas tampaknya sejalan dengan pandangan Imâm al-Ghazâlî sebagaimana termaktub dalam karyanya al-Wasîth fî al-Madhhab [hal., 170] berikut:

ولكن فى بواعث الطباع مندوحة عن الإيجاب, لأن قوام الدنيا بهذه الأسباب وقوام الدين موقوف على قوام أمر الدنيا ونظامها لا محالة.

“Akan tetapi di dalam diri manusia terdapat dorongan untuk melakukan hal-hal yang positif. Karena tegaknya dunia ini disebabkan oleh dorongan-dorongan positif yang inheren dalam diri manusia tersebut. Sementara tegaknya agama berikut sistemnya, pasti bergantung pada tegaknya persoalan-persoalan duniawi.”

Nalar sebagaimana dikembangkan oleh al-Ghazâlî rahimahullâh di atas, menurut hemat saya, adalah nalar yang sangat mencerahkan. Bagi al-Ghazâlî, dalam beberapa hal, syariat mencukupkan dan bahkan mempercayakan kepada naluri yang sehat yang tertancap kuat dalam jiwa manusia, sehingga tidak perlu memberikan aturan spesifik terkait hal itu. Dengan kata lain, syariat sangat percaya bahwa tabiat yang sehat dalam diri seseorang sudah cukup untuk menuntunnya ke arah jalan yang benar.

Di antara perkara yang dihasilkan (out put) oleh tabiat yang sehat adalah cinta tanah air (nasionalisme) dan memberikan loyalitas serta kesetiaan kepadanya. Abû Bakar Ahmad bin Marwân ad-Dînawarî (w. 333 H.) dalam kitabnya al-Mujâlasah wa Jawâhir al-‘Ilm [Juz 1, hal., 174], juga dituturkan oleh Ismâ’îl bin Muhammad al-‘Ajlûnî 9w. 1162 H.) dalam kitab Kasyful Khafâ’ wa Muzîl al-Ilbâs [Juz 1, hal., 394], meriwayatkan dari jalur al-Ashmâ’î, ia berkata:

سمعت أعرابيا يقول: إذا أردت أن تعرف الرجل فانظر كيف تحننه إلى أوطانه وتشوقه إلى إخوانه

“Aku pernah mendengar seorang Baduwi berkata: “Jika engkau ingin mengenal seseorang, maka lihatlah bagaimana kecintaannya kepada tanah airnya, dan kerinduannya kepada para sahabatnya.”

Manakala loyalitas (intimâ’) merupakan salah satu komponen penting dalam perbuatan manusia dan fitrah yang dikaruniakan oleh Allah Swt kepadanya, maka syariat memperkuatnya dan menjadikannya sebagai pijakan dan bahkan rujukan. Syariat tidak mengabaikannya, melainkan meluruskan, mengatur dan memberinya rambu-rambu sehingga sesuai dengan dorongan kuat yang muncul dari internal manusia serta menjaganya agar tidak tergelincir.

Nalar Islam Moderat

Lantas bagaimana nalar Islam moderat/Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah tentang konsep nasionalisme ini? Islam moderat berpandangan bahwa nasionalisme merupakan bagian penting dari ajaran Islam yang harus dilaksanakan. Beberapa ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi saw mengafirmasi tentang pentingnya cinta tanah air (nasionalisme). Di antaranya terdeskripsikan sebagai berikut.

Pertama, Imâm Fakhruddȋn ar-Râzȋ dalam Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib, [Juz 15, hal., 215] memberikan pandangan yang bagus dalam memberikan dalil dari Al-Qur’an terkait cinta tanah air, di mana beliau menegaskan bahwa cinta tanah air merupakan dorongan fitrah yang sangat kuat dan melekat di dalam jiwa manusia. Saat menafsirkan ayat al-Qur’an Surat An-Nisâ’ ayat 66:

وَلَوْ اَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ اَنِ اقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ اَوِ اخْرُجُوْا مِنْ دِيَارِكُمْ مَّا فَعَلُوْهُ اِلَّا قَلِيْلٌ مِّنْهُمْ ۗ

“Sekalipun telah Kami perintahkan kepada mereka, “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampung halamanmu,” ternyata mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka.”

Beliau mengatakan:

جعل مفارقة الأوطان معادلة لقتل النفس
“Allah menjadikan meninggalkan kampung halaman (tanah air) sepadan dengan bunuh diri.”

Seakan Allah Swt berfirman: “Seandainya Aku perintahkan kepada mereka salah satu dari kesulitan terbesar di alam semesta, maka mereka pasti tidak akan melaksanakannya. Dua kesulitan terbesar itu adalah bunuh diri dan meninggalkan tanah air.” Allah menjadikan kesulitan untuk melakukan bunuh diri sama persis dengan kesulitan meninggalkan tanah air. Dengan kata lain, bahwa bagi orang yang berakal, meninggalkan tanah air merupakan perkara yang sulit sekali, sama seperti sakitnya bunuh diri. Hal ini menunjukkan bahwa mencintai tanah air merupakan perkara yang sangat inheren pada diri manusia.

Adalah Imâm Mulâ ‘Alȋ al-Qârȋ dalam Mirqât al-Mafâtȋh Syarh Misykâh al-Mashâbih-Kitâb al-Jihâd/Bâb Ikhrâr al-Yahûdi min Jazîrah al-‘Arab” [Juz 7, hal., 582] mengatakan:

ومفارقة الأوطان المألوفة هي أشد البلاء
“Meninggalkan tanah air merupakan ujian yang sangat berat.”

Oleh karena itu, pembunuhan yang disebut dalam Firman Allah: “Fitnah lebih kejam dari pembunuhan” [QS. Al-Baqarah: 191], ditafsirkan “mengeluarkan seseorang dari tanah airnya (bil ikhrâj min al-wathan).” Karena turunnya ayat ini urutannya setelah firman Allah Swt:

وَاَخْرِجُوْهُمْ مِّنْ حَيْثُ اَخْرَجُوْكُمْ ….

“…..dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kamu…”

Setiap ayat yang berbicara mengenai keutamaan hijrah, oleh sebab itu, harus dikembalikan ke pokok ini; yaitu bersabar dan menahan sakitnya meninggalkan tanah air tercinta. Ini menunjukkan adanya sebuah makna yang mulia di dalam nasionalisme (cinta tanah air). Begitu mulianya makna nasionalisme sehingga seseorang dituntut untuk bersabar dalam menanggung kesulitan besar saat meninggalkannya.

Kedua, hadis riwayat Imâm al-Bukhârȋ, Ibn Hibbân, dan Imâm Tirmidzȋ dari sahabat Anas ra:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا.

“Diriwayatkan dari sahabat Anas; bahwa Nabi SAW ketika kembali dari bepergian, dan melihat dinding-dinding Madinah beliau mempercepat laju untanya. Apabila beliau menunggangi kendaraan (bighal atau kuda) maka beliau menggerakkanya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah.”

Beberapa ulama seperti al-Hâfidz ibn Hajar al-‘Asqalânȋ dalam kitabnya Fath al-Bârȋ bi Syarh Shahîh al-Bukhârî (Juz 3, hal. 727); Imâm Badruddȋn al-‘Ainȋ dalam ‘Umdah al-Qârȋ (Juz 10, hal. 135); al-Imâm al-Hâfidz Ahmad bin Ya’lâ at-Tamîmî dalam kitab Musnad Abî Ya’lâ al-Mawshîlî [Juz 6, hal., 474], saat menasirkan hadis di atas, mereka berkata:

وفى الحديث دلالة على فضل المدينة وعلى مشروعية حب الوطن والحنين إليه.
“Hadis ini menunjukkan akan keutamaan Madinah serta disyariatkannya cinta dan rindu tanah air.”

Sebagian orang bijak mengatakan:

وقال بعض الحكماء: الحنين إلى الوطن من رقة القلب, ورقة القلب من الرعاية, والرعاية من الرحمة, والرحمة من كرم الفطرة, وكرم الفطرة من طهارة الرشد. [كتاب الحنين إلى الوطن, ص., ٤٠].

“Sebagian orang bijak berkata: Bahwa mencintai tanah air termasuk dari kelembutan hati, kelembutan hati bagian dari perhatian/pemeliharaan, perhatian/pemeliharaan termasuk dari kasih sayang, kasih sayang termasuk kemuliaan fitrah, dan kemuliaan fitrah merupakan kesucian hidayah.”

Seorang penyair bersenandung:

ثلاث يعز الصبر عند حلولها
ويعزب عنها عقل كل لبيب

خرجوا اضرارا من بلاد تحبها
وفرقة أصحاب وفقد حبيب

Kesabaran terasa sulit saat tiga hal melanda,
Dan akal sehat pun tak mampu memikirkannya.

Meninggalkan tanah air tercinta secara terpaksa,
Berpisah dengan sahabat dan orang tercinta.

Demikian nalar Islam moderat dalam memersepsikan nasionalisme.

Implementasi Nasionalisme

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana upaya mengimplementasikan ajaran nasionalisme dalam konteks kekinian?

Dhiyâ’ Muhammad Mahmûd Jâsyim al-Masyhadânî dalam kitabnya al-Hubb fî Mandhûr al-Islâm [hal., 126] memberikan tips terbaik guna menumbuhkan jiwa nasionalis yang benar, yaitu dengan cara belajar dan memperluas cakrawala ilmu pengetahuan. Sebab dengan terus belajar setiap warga negara akan mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan. Tentunya, jika sudah bisa membedakan antara keduanya dan jiwa nasionalis akan tumbuh, maka tak seorang pun dari warga negara yang menginginkan keburukan terjadi pada negaranya. Mahmûd Jâsyim al-Masyhadânî mengatakan:

وأهم ما يوصل إلى خدمة الوطن هُوَ أَنْ تَجْتَهِدَ فِي تَحْصِيْلِ الْعُلُوْمِ وَالمَعَارِفِ التي بِهَا تَتَمَكَّنُ مِنْ خِدْمَةِ الوَطَنِ العَزِيْزِ عَلَى وَجْهِ الْاِكْمَالِ فَاِنَّ الجَاهِلَ تَصَرُّفَاتُهُ كُلُّهَا دَرِيْعَةٌ لَا يَعْرِفُ مَا فِيْهَا المَنْفَعَة. [

“Upaya terpenting dalam rangka mewujudkan nasionalisme itu adalah dengan berupaya mendapatkan ilmu dan pengetahuan, yang dengannya orang dapat berbakti pada negara yang mulia dengan cara yang sempurna. Sebab, semua tindakan orang bodoh adalah tindakan yang tidak diketahui manfaatnya.”

Karena itu, menurut hemat saya, sebagai upaya berbakti pada negara sekaligus rasa syukur atas perjuangan para pendahulu, memperluas cakrawala dan spectrum ilmu pengetahuan merupakan pilihan yang kongkret dan sangat nyata manfaatnya untuk kemajuan bangsa.
Mari kemerdekaan Indonesia yang sudah mencapai usia 78 tahun kita jadikan momentum untuk semakin memperluas ilmu pengetahuan. Karena dengannya, berbakti pada negara akan semakin sempurna. Wallâhu A’lam bi ash-Shawwâb.


*Penulis adalah Wakil Rois Syuriah PCNU Ponorogo Bid. Sumber Daya Manusia, Rois Syuriah MWCNU Pulung, Wakil Rektor I Bid. Akademik, dan Penasehat Genererasi Muda NU (GEMUNU) Karesidenan AE.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *