PMII, MUSHOLLA DAN PERGERAKAN (Sebuah Catatan Kecil Tentang Dinamika PMII IAIN Ponorogo)


Oleh: Heru Salim

Aswaja News – “Kang, baru saja saya jagongan dengan Mbah Yah (pemilik rumah yang ditempati PMII Komisariat sejak era Sahabat Abidullah sebagai ketua Komisariat 1999-2000), beliau (Mbah Yah) berencana mewakafkan tanah yang ada di belakang rumah Mbah Wiji untuk pengembangan kegiatan cah-cah PMII tetapi harus ada bangunan mushola-nya”. Demikian Humam, Irsyad dan beberapa sahabat PMII yang pada saat itu aktif di komisariat mengkonfirmasi permintaan Mbah Yah. Sejenak saya terdiam dan kemudian menyampaikan, “mening, tapi kita harus berhitung tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengembangan sehingga pemintaan itu (sebagai mauquf ‘alaih-nya) bisa diwujudkan. Untuk itu kita perlu sowan-sowan ke pinisepuh dan segera mengkoordinasikannya dengan sahabat-sahabat yang lain, utamanya para alumni”. Demikian sekilas perbincangan (awal) yang membuat mimpi dan harapan tentang terwujudnya “dinamika pergerakan” yang lebih penetrative bagi proses pengembangan diri, kader dan masyarakat pada umumnya menemukan momentumnya.
Setelah mendengar pertimbangan, masukan dan saran dari berbagai pihak (poro pinisepuh, sahabat alumni, PMII aktif dan masyarakat sekitar), akhirnya tawaran dari Mbah Yah tersebut kami terima dengan beberapa catatan dan pertimbangan dasar, di antaranya yaitu: pertama, secara umum kader-kader PMII lahir, tumbuh dan berkembang di dalam locus tradisi nahdliyin dengan segala dinamikanya walaupun hanya dipandang sebelah mata dan bahkan seringkali ditepikan oleh NU sendiri. Pada titik ini para kader, alumni dan pinisepuh melihat adanya kesempatan untuk berbenah dan sekaligus “membuktikan” bahwa PMII adalah masa depan NU itu sendiri.
Kedua, perubahan kondisi sosio-politik (di) Indonesia pada umumnya yang “memaksa” para aktifis untuk lebih taktis-strategis dalam memilih model gerakan. Artinya, PMII harus lebih jeli dalam memilih dan memanfaatkan momentum sehingga mampu berkontribusi nyata dalam perkembangan peradaban. Hadirnya tanah wakaf ini pada gilirannya bisa dimanfaatkan sebagai sarana pengembangan kader baik dalam wilayah akademis, sosial maupun ideologi. Ketiga, adanya antusiasme yang luar biasa dari poro pinisepuh, sahabat-sahabat alumni PMII dan masyarakat sekitar yang tidak mau melihat PMII sebagai kader-kader bangsa “tercerabut” dari akar sosiologis-ideologisnya, yaitu bahwa kader PMII harus menjadi sosok-sosok yang bukan saja mahir secara akademis, tetapi juga kader yang memiliki mentalitas untuk mrantasi berbagai persoalan yang terjadi dan berkembang di masyaarkat.
Akhirnya tidak lebih dari 2 (dua) minggu setelah terjadinya ikrar wakaf, para alumni PMII dari berbagai angkatan berkumpul untuk berembuk di sekretariat untuk menentukan langkah-langkah pengelolaan dan pengembangan atas tanah wakaf tersebut, yaitu: pertama, sesuai dengan amanat waqif yang tertuang dalam ikrar wakaf, keluarga besar PMII IAIN Ponorogo memiliki kewajiban untuk mewujudkan adanya mushola sebelum beranjak ke pembangunan lainnya. Kedua, bahwa pembangunan mushola yang disengkuyung bareng ini merupakan perwujudan kecil dari loyalitas, dedikasi dan integritas yang selama ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses kaderisasi di lingkungan PMII IAIN Ponorogo. Ketiga, mushola yang akan dibangun ini diberi nama “Darul Harokah” sesuai saran, masukan dan kesepakatan bersama.
Demikian, sehingga hadirnya mushola ini bisa dimaknai sebagai pembangunan (kembali) gerakan yang sesungguhnya, yaitu bahwa apapun yang dilakukan terkait pengelolaan, pemanfaatan dan pengembangan PMII IAIN Ponorogo harus berpijak dan berdasar pada nilai-nilai Islam yang disimbolkan dengan kehadiran mushola. Sementara keberadaan sekretariat adalah simbol kebersamaan, sebagai tempat berkumpul dan bergumulnya semua kegelisahan baik itu intelektual maupun terhadap situasi dan kondisi sosial, pendidikan, ekonomi, politik dan juga kebudayaan. Semua kader, alumni dan siapa saja bisa duduk dan berbincang sebagai bagian dari keluarga besar, sebagai teman dan sebagai seorang sahabat.
Kembalinya Ghirah Pergerakan, Menguatnya (Kembali) Pilar-Pilar Kebersamaan dan Upaya Mewujudkan Cita-Cita
Saya melihat adanya antuasiasme yang luar biasa dari para alumni dan kader dalam menyambut keberadaan tanah wakaf untuk sekretariat permanen PMII IAIN Ponorogo. Antusiasme ini salah satunya diwujudkan dengan kesediaan dan kesanggupan dari para alumni untuk bersama-sama membangun dan mewujudkan sekretariat pergerakan yang dimulai dengan (harus) dibangunnya mushola. Sebagai (mungkin) satu-satunya komisariat PMII yang mendapat kepercayaan mengelola asset wakaf, tentu saja hal ini menjadi semacam energy untuk semakin berkembang dan memberdayakan diri sebagai bagaian dari khidmat kepada masyarakat, bangsa dan negara. Dengan mengusung tema besar sebagai “Rumah Pergerakan”, perlahan namun pasti PMII IAIN Ponorogo terus berbenah dan menegaskan posisinya sebagai masa depan masyarakat, bangsa dan negara.
Setelah terwujudnya mushola “Darul Harokah” ini, proses konsolidasi gagasan tentang pergerakan terus dikumandangkan (formal maupun non-formal), sehingga baik itu dalam tataran strategis maupun taktis, semua kader dan alumni berkesempatan untuk memberikan pemikiran dan pendapatnya tentang upaya pengembangan yang dilakukan. Dengan cara ini, di satu sisi antusiasme tetap terus terjaga dan pada sisi yang lain, perlahan namun pasti, gambaran tentang masa depan PMII IAIN Ponorogo akan terus terkomunikasi dan terkonsolidasi dengan baik. Hal ini tidak lebih karena berangkat dari berbagai perbincangan, obrolan dan diskusi yang saya lakukan, PMII IAIN Ponorogo memiliki kesempatan besar sebagai pusat pergerakan bukan hanya di Ponorogo pada khususnya.
Untuk itu, sekurang-kurangnya ada 3 (Tiga) hal yang harus dipahami, dicermati sekaligus bisa dimaksimalkan potensinya, yaitu: kohesifitas kultural, kualitas kepemimpinan dan rumusan program. Pertama, di IAIN Ponorogo khususnya, dibanding organisasi kemahasiswaan yang lain, jelas terlihat bahwa PMII lebih memiliki keunggulan, yaitu (utamanya) adanya kedekatan pada aspek sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang melekat secara kuat sebagai sebuah kultur turun-temurun. Kekuatan kultural yang built-in ini menjadi identitas khusus yang hanya dimiliki oleh PMII sebagai organisasi kemasiswaan dan yang selama ini pula (baik itu disadari atau tidak) telah menjadi keistimewaan tersendiri karena memiliki akar kuat baik secara historis, kultural dan ideologis dengan nilai-nilai yang ada di Indonesia pada umumnya sehingga kesadaran terhadap situasi ini harus mampu menghilangkan segala bentuk keraguan dan kekerdilan dalam mengambil peran ataupun menentukan sebuah keputusan (kebijakan, red).
Kedua, soal kualitas kepemimpinan. Diakui atau tidak, kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang menentukan kebergunaan dan kebermanfaatan organisasi baik secara internal maupun eksternal. Artinya, dalam konteks masih lemahnya daya tawar (bargaining posisions) kader, aspek kepemimpinan harus diarahkan pada upaya kaderisasi untuk meningkatkan kapasitas individu (kader), bukan pada aspek lainnya yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan posisi PMII sebagai organisasi kader. Dalam hal ini saya teringat salah satu wejangan luhur bahwa PMII adalah rumah bersama untuk saling menguatkan, bukan untuk ajang sok-sokan (gagah-gagahan) baik itu antar kader, antara senior dan junior dan ataupun antar senior dengan senior yang lain. Kepemimpinan dalam PMII adalah upaya bersama untuk membuat “ruang kedap” di mana semua kader bisa berbincang, bercengkerama dan bercerita tanpa menonjolkan status diri atas lainnya dan apalagi sebagai ajang untuk “saling menghabisi”.
Ruang khusus ini (kepemimpinan) adalah seperangkat system dan nilai untuk meningkatkan kemampuan kader dalam peran, fungsi dan tanggung jawabnya sebagai insan pergerakan. Dalam catatan saya, di antara hal-hal yang harus menjadi konsentrasi kita bersama dalam aspek kepemimpinan itu adalah:
Liberasi
Seorang pemimpin yang memiliki nilai (sifat) liberatif adalah sosok pemimpin yang memiliki semangat dalam mencegah terjadinya pembodohan, pemiskinan dan marginalisasi di lingkungan masyarakat yang dipimpinnya. Dalam konteks PMII, seorang pemimpin harus bisa masuk dalam situasi kader, bisa memahami keadaan dan kondisi yang dihadapi kader dan berdiri tegak dalam dan untuk kepentingan (proses) kaderisasi.
Humanisasi
Seorang pemimpin adalah sosok pelopor dalam upaya memanusiakan manusia (kader), membimbing dan mengarahkan pada tujuannya. Seorang pemimpin yang humanis adalah yang memandang posisi, jabatan dan status hanya sekedar “label” sehingga tidak perlu dibanggakan dan ditonjolkan. Yang lebih penting dari sosok pemimpin adalah kemampuannya dalam: pertana, mengkreasi sebuah gagasan (terobosan) hingga menjadi (semacam) gerakan untuk membangkitkan dan meningkatkan ghiroh pergerakan; kedua, menemukan jalan penyelesaikan terhadap berbagai macam masalah yang timbul secara manusiawi: kekeluargaan, persahabatan dan pertemanan sehingga tidak ada yang merasa dipersalahkan; ketriga, merajut (kembali) kerenggangan, keretakan dan segala bentuk disharmonisasi yang timbul antar sesame kader, alumni dan lain sebagainya.
Transendensi
Kepemimpinan dalam tubuh PMII harus dilihat dan dipandang sebagai bagian dari amanat yang harus dijalani dengan segala konsekuensinya, karena juga akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT., bukan sekedar dokumentasi kegiatan dengan segala pernak-perniknya.
Ketiga, rumusan program kegiatan. Untuk mendukung proses sebagaimana tersebut, dibutuhkan program kegiatan yang relevan dan berkualitas sehingga faktor pertama (kohesifitas kultur) benar-benar bisa dimaksimalkan keberadaannya. Tanpa adanya program kegiatan dan kinerja yang optimal, potensi-potensi yang ada hanya akan menjadi obrolan indah dalam diskusi. Dengan rumusan program, strategi pencapaian, taktik yang tepat dan teknis pelaksanaan yang mengedepankan aspek liberatif dan humanis, maka apa yang menjadi target (harapan) bersama akan benar-benar bisa terealisir dengan baik. Secara lebih detail, misalnya, program kegiatan harus mengacu bukan pada apa yang menjadi keinginan dan kehendak pengurus an sich. Lebih dari itu, tetapi lebih pada aspek yang lebih dibutuhkan dan diperlukan oleh para kader dan anggota (strart from the people start) dengan (tentu saja) harus melalui proses analisa dan sesuai dengan nilai-nilai dasar organisasi.
Dengan keberadaan ketiga hal tersebut di atas, yang dikelola dan diperkembangkan sedemikian rupa, saya memiliki keyakinan bahwa pada saatnya, PMII (bukan sekedar di lingkungan IAIN Ponorogo) akan menjadi satu-satunya organisasi kemahasiswaan yang bisa tegak berdiri di hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat karena memiliki kehadiran, keberfungsian dan peran yang nyata, bukan sekedar wacana, wacana dan wacana. Cekak kenthes-nya, dengan atribusi kultural yang bisa dikelola secara benar, ketersediaan jejaring dan dengan program yang kontrubutif dan benar-benar nyata, tidak lama lagi PMII akan benar-benar memimpin gerbong perubahan (besar) sebagaimana diharapkan. Selanjutnya, terserah kepada diri kita masing-masing: terus meratapi nasib dan menyalahkan keadaan atau segera bangkit dan berbenah, karena (sesungguhnya) esok masih ada harapan dan banyak hal baik yang masih terus bisa dilakukan.
Wallahu a’lamu bi al-shawab
Wengining wengi, 31 Des. 2022

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *