AswajaNews – Fungsi pendidikan sebagai kesatuan sistem yang memproduksi rekam jejak sejarah telah memberi rangkuman rinci mengenai suatu perubahan. Baik perubahan nyata untuk benar-benar mempraktikkan pendidikan sebagai satu proses dialektis ilmiah dengan sosio-demokrasi, maupun pergeseran makna pendidikan di mana paradigma pembangunan menempatkan sektor pendidikan sebagai lahan pencetak tenaga kerja dan lahan komersialisasi.
Berawal dari General Agreement on Tariffs and Trade/GATT 1948, kapital global membuat skema-skema panjang untuk memuluskan langkahnya. Indonesia menjadi anggota GATT pada tahun 1950 yang merupakan periode awal demokrasi liberal. Saat itu Indonesia dipimpin oleh Natsir sebagai Perdana Menteri, sebelum memasuki periode-periode kacau.
Tahun 1994 ketika Indonesia meratifikasi Agreement Establising the World Trade Organization, yang kemudian dikonversi menjadi UU No. 7 tahun 1994, sekaligus legalitas Indonesia menjadi anggota WTO di tahun 1995, secara tidak langsung pemerintah harus tunduk dan menerima program WTO, General Agreement on Trade and Service (GATS). Secara implisit Indonesia telah sepakat dengan skema yang ditetapkan capital finance global, merujuk pada organisasi yang berkepentingan yaitu IMF dan WTO. Semacam okupasi halus dari perselingkuhan birokrasi dengan kapital besar, dengan tujuan memuluskan agenda demi agenda ekonomi (investasi), melalui regulasi-regulasi terkait yang disesuaikan dengan kepentingan mereka.
Pasca Soeharto demisioner, terbit Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999, tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum (PP No.61/1999) pada bulan Juni 1999. Menandai Reformasi pendidikan tinggi di Indonesia telah dimulai. UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI, dan Unair, ramai-ramai merubah jubah mereka. Kampus negeri elite tersebut merupakan institusi atau lembaga Negara, yang dipersiapkan untuk mandiri. Bertransformasi dari Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara (Nalle, 2011).
Era Megawati berhasil menghasilkan peraturan baru dalam bentuk Keputusan Dirjen Dikti Kemendiknas No. 28/DIKTI/Kep/2002 tentang program reguler dan nonreguler. Kemudian terbit Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomer 20 Tahun 2003, sebagai payung hukum peraturan pendidikan dibawahnya. Isi dalam salah satu pasalnya, jika kita teliti pada pasal 53 poin 1, menjelaskan terkait makna dari Badan Hukum Pendidikan yang sangat sarat kepentingan pemodal. Tentunya UU Sisdiknas ini, menjadi gerbang liberalisasi sektor pendidikan tinggi yang hasilnya kita nikmati sekarang.
Pada era kepemimpinan SBY, kebijakan pendidikan semakin mengarah pada konsepsi pasar bebas. Ratifikasi GATT yang bertransformasi menjadi GATS (General Agreement on Trade and Service), disepakati pada era SBY. Pada tahun 2005 di Hongkong, delegasi Indonesia menyetujui GATS sebagai sebuah program kerja bersama.
Maka tidak mengherankan jika ada 12 sektor jasa yang akan diliberalisasikan, seperti jasa komunikasi, jasa pendidikan, jasa lingkungan, jasa keuangan (perbankan, asuransi, dll), jasa wisata dan perjalanan, jasa kesehatan sosial, jasa budaya, jasa olahraga, jasa distribusi, jasa bisnis (jasa profesional dan jasa komputer), jasa transportasi dan jasa konstruksi.
Pasca diratifikasinya GATS, pemerintah mulai menyususun payung hukum baru untuk pendidikan tinggi. Pada tahun 2009, Rancangan UU-BHP dikeluarkan pihak pemerintah. Sebagai tindak lanjut atas perjanjian tersebut, hal ini juga ada implikasinya dengan penurunan anggaran di tahun 2009/2010. Munculnya UU-BHP bukan sebuah kebetulan, namun merupakan rancangan yang ada kaitannya dengan PP 61/1999 dan UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003. Celakanya pada tahun 2009 UU-BHP digugat dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pemerintah era SBY tidak terima, mereka langsung gerak cepat dengan menyusun peraturan baru. Langkah selanjutnya mereka melakukan beberapa perubahan dengan memperbaiki beberapa hal yang sangat redaksional, sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945. Inti dari revisi tersebut sebenarnya mempunyai makna sama atau tidak berbeda dengan sebelumnya. Kita sekarang mengenalnya dengan UU Perguruan Tinggi No. 12 Tahun 2012, atau yang lebih dikenal dengan UU DIKTI. Dasar hukum tersebut menjadi lahirnya beberapa aturan yang menyiksa rakyat kecil, seperti pemberlakuan UKT.
Oktober 2014, Jokowi dilantik sebagai presiden, yang senantiasa dikaitkan dengan kemenangan rakyat. Pada era Jokowi, perubahan tidak serta merta terjadi, bahkan hanya melanjutkan apa yang sudah dilakukan SBY. Melalui kebijakan-kebijakan yang tidak bersahabat, seperti semakin mengerucutkan persoalan UKT sebagai solusi pembiayaan. Mengacu pada Permen No. 22 Tahun 2015, tentang pembiayaan uang kuliah tunggal. Dalam Permen tersebut mengatur terkait teknis pembiayaan UKT, mulai dari kelas, kuota, hingga besaran maksimal beasiswa bidik misi. Diperbarui lagi dalam Permen No. 39 Tahun 2016, menjelaskan lebih detail persoalan pembiayaan dalam UKT.
Persoalan selanjutnya ialah standarisasi kampus, dalam Permen No. 32 Tahun 2015, dijelaskan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pada konteks ini aturan tersebut hanya melancarkan “marketing” pendidikan dan persaingan usaha jasa antar universitas. Hal itu diperparah lagi saat disahkanya Undang-Undang Omnibus Law pada 5 oktober 2020 lalu, dalam UU tersebut ada beberapa pasal dalam undang-undang 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan undang-undang 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT) yang akan di hilangkan atau dihapus, di antaranya, pada pasal 53 UU Sisdiknas dan pasal 60 UU PT yang berbicara tentang kewajiban institusi pendidikan bersifat nirlaba, yang kemudian diubah tidak berkewajiban berprinsip nirlaba.
Ini artinya, pendidikan akan menjadi sebuah alat bagi para pemodal untuk mencari keuntungan semata. Kemudian dalam pasal 67-69 UU Sisdiknas, mengenai hukuman pidana bagi pemalsuan ijazah, gelar dan penyelenggara pendidikan tinggi yang sudah dinyatakan tutup, akan dihapus dalam Omnibus Law. Ini sangat ironis, karena secara tidak langsung negara akan melegitimasi kejatahatan dalam dunia dunia pendidikan kita saat ini.*** (Samsul Hadi)