Ngabuburit dari Belanda 3: Masjid Muslim Indonesia di Belanda

Penulis: Dawam M. Rohmatulloh (Dosen INSURI Ponorogo)
:::
Saya belum lama tinggal di Belanda. Baru genap empat tahun di awal bulan Maret yang lalu. Pengetahuan saya tentang komunitas muslim ataupun muslim Indonesia di Belanda tentu menyimpan kekurangan di sana-sini. Dalam rubrik Ngabuburit dari Belanda ini saya hendak sedikit mengulas beberapa hal yang saya ketahui, baik dari observasi langsung (yang karena saya memiliki abonemen NS Weekend Vrij jadi bisa gratis naik kereta ke mana saja tiap akhir pekan), dari obrolan (untuk tidak mengatakan wawancara, karena memang bukan wawancara), maupun dari literatur di internet (sesuatu yang tentu saja sidang pembaca juga bisa melakukannya sendiri tanpa membaca tulisan saya). Selamat membaca!
:::
Sambungan dari bagian ke-2: Komunitas Muslim Indonesia di Belanda.

Di sisi barat Belanda ada kota-kota besar atau randstad. Berada di Provinsi Zuid Holland, Noord Holland, Utrecht, dan Flevoland, tentu saja jumlah pekerja migran/diasporanya lebih banyak daripada pelajar yang datang dari Indonesia untuk tujuan belajar saja. Oleh karena itu, komunitas muslim Indonesia yang ada di randstad ini relatif lebih makmur dibandingkan di kota-kota lain. Salah satunya tampak dengan adanya masjid yang dimiliki sebagai ”markas”.

Di Den Haag, misalnya, ada PPME Al-Hikmah dan Komunitas Tombo Ati yang merangkul diaspora serta pekerja migran dan sama-sama berbasis di masjid Al-Hikmah. Di sini, PCINU Belanda juga bermarkas. Kebetulan Rais Syuriyah PCINU, Kyai Nur Hasyim Subadi, juga mengemban amanat sebagai Ketua Pengurus Masjid.

Masjid yang memanfaatkan gedung bekas Gereja Immanuel ini merupakan wakaf dari Probosutedjo, adik Presiden Soeharto, oleh karena itu secara resmi dinamakan Masjid Al-Hikmah PS Indonesia. Di sini, PPME, Tombo Ati, dan PCINU bergantian memakmurkan masjid dan menyiarkan dakwah Islam yang ramah. Jama’ah yang rutin memadati masjid berkapasitas kurang lebih 3000 orang ini tidak hanya orang-orang Indonesia, atau non WNI tetapi tergabung dalam PPME, melainkan juga muslim dari negara-negara lain.

Selanjutnya, di Amsterdam ada PPME Al-Ikhlash yang juga memiliki masjid di gedung bekas sekolah yang dialihfungsikan. Hampir sama dengan Masjid Al-Hikmah yang merupakan wakaf dari tokoh di Indonesia, Masjid Al-Ikhlash ini juga demikian adanya. Selain dengan dana yang dihimpun dari anggota PPME dan simpatisan, gedung ini dibeli dengan donasi wakaf dari seorang pengusaha Indonesia bernama Haji Anif.

Sama-sama PPME, sama-sama merekognisi warisan Gus Dur, maka tak heran jika yang di Den Haag maupun yang di Amsterdam pun sama-sama mempraktikkan amaliyah khas NU. Meski tidak semua anggota atau jama’ahnya bergabung dengan PCINU, namun dari sisi tradisi keagamaan dapat dikatakan bahwa mereka adalah praktisi Aswaja an-Nahdliyyah, amaliyyan.

Apalagi dinamika PPME Al-Ikhlash Amsterdam pun tak lepas dari friksi internal di PPME Amsterdam (nama pra Al-Ikhlash) antara kelompok praktisi tradisi Aswaja dengan kelompok yang menganggap itu bid’ah. Belakangan, kelompok tradisional ini terusir dari masjid yang sebelumnya mereka turut rintis dan kemudian membentuk PPME Al-Ikhlash ini, hingga akhirnya berhasil memiliki masjid sendiri lagi. Adapun kelompok anti-tradisi tetap bertahan di masjid lama dan memisahkan diri dari PPME.

Selain itu, di Utrecht juga terdapat komunitas bernama Stichting Generasi Baru (SGB). Jika PPME Al-Hikmah dan PPME Al-Ikhlash secara stuktural berkoordinasi dengan PPME Belanda, tidak demikian dengan SGB Utrecht ini. Jika PPME dibentuk oleh diaspora yang sudah tinggal di Belanda sejak periode jauh sebelum 2000-an, kemudian komunitas kota yang umumnya dibentuk oleh pelajar, maka SGB Utrecht ini mula-mula dimotori oleh komunitas perawat Indonesia yang mulai bekerja di Belanda sejak awal milenium baru.

Meski pada mulanya mereka tersebar di beberapa kota di Belanda, ada yang di Amsterdam, Den Haag, Rotterdam, maupun kota-kota lainnya, bukan kebetulan jika akhirnya banyak dari para perawat ini yang kemudian memilih untuk menetap di Utrecht. Letaknya yang ada di tengah-tengah Belanda menjadikan kota ini sebagai hub yang memiliki akses mudah dari dan ke mana saja. Hampir sama juga dengan yang ada di Den Haag dan Amsterdam, SGB Utrecht juga memiliki markas dengan menyewa sebuah ruangan bekas toko kelontong yang dialihfungsikan menjadi masjid.

Keberadaan masjid komunitas di tiga kota tersebut memang menunjukkan eksistensi dan peran muslim Indonesia di Belanda. Belum lagi jika ditambahkan dengan keberadaan masjid komunitas muslim Jawa dari Suriname seperti Moskee Wicaksana yang ada di Almere. Juga masjid Maluku sebagaimana sudah saya singgung dalam bagian tulisan pertama. Ada Moskee Bait al-Rahman di Ridderkerk dan Moskee an-Nur di Walwijk.

Uniknya, masjid Maluku ini dibangun from the scratch (bukan alih guna gereja atau gedung lainnya) hingga dapat berarsitektur sebagaimana masjid yang kita kenal pada umumnya. Ada kubahnya, juga ada menaranya. Mirip juga dengan kondisi masjid-masjid Turki atau Maroko yang sebagian besar memiliki facade seperti itu. Saya menduga hal ini memang salah satu privilege yang dimiliki oleh komunitas Maluku, Turki, dan Maroko yang tinggal di Belanda.

Dengan kuatnya sumber daya dan pendanaan yang dimiliki, pembangunan masjid bercorak khas, berikut izinnya, tentu menjadi hal yang mudah. Sesuatu yang tentunya diharapkan juga oleh Masjid Al-Hikmah dan Al-Ikhlash jika suatu saat melakukan renovasi, atau SGB jika berhasil mengumpulkan dana untuk membeli atau membangun masjid sendiri. Semoga!
:::
Keterangan foto: Masjid Al-Hikmah Den Haag, SGB Utrecht, dan Bait al-Rahman Ridderkerk.
:::
Bersambung ke bagian ke-4 tentang masjid sebagai wadah silaturahim Muslim Indonesia di Belanda. (****)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *