AswajaNews – Tradisi adalah bagian penting dari keberagaman budaya di Indonesia, dan salah satu tradisi yang kaya akan makna dan filosofi adalah perayaan Bodo Kupat di Ponorogo.
Rangkaian ibadah umat Islam selama bulan Ramadhan dimulai dengan puasa, diakhiri dengan perayaan Idul Fitri pada 1 Syawal, dan dilanjutkan dengan puasa Syawal.
Setelah selesainya puasa Syawal, masyarakat Ponorogo merayakan Bodo Kupat, di mana tradisi ini menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya dan adat istiadat mereka.
Bodo Kupat biasanya dirayakan dengan membuat kupat atau lepet yang dimakan bersama.
Adapun makna kupat (ngaku lepat), lepet (lepat) mengandung arti mengakui kelepatan atau mengakui kesalahan.
Sementara itu, kupat dan lepet adalah jenis makanan yang menjadi simbol dalam perayaan ini.
Kupat dan lepet, meskipun serupa dalam pembungkusannya yang terbuat dari janur atau daun kelapa muda, memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Kupat dibuat dari beras yang dianyam sedangkan lepet terbuat dari campuran ketan dan parutan kelapa.
Proses memasaknya pun berbeda, di mana kupat membutuhkan waktu sekitar 4-5 jam sedangkan lepet hanya memerlukan waktu 2 jam.
Janur, sebagai pembungkus kupat dan lepet, memiliki makna yang dalam dalam tradisi ini. Kata “janur” berasal dari “sejating nur” atau cahaya sejati, yang melambangkan harapan.
Dengan menggunakan janur sebagai pembungkus, masyarakat Ponorogo mengungkapkan harapan agar mereka dapat bersih dan bersinar seperti cahaya sejati.
Lebih dari sekadar perayaan kuliner, Bodo Kupat merupakan momen refleksi dan introspeksi bagi masyarakat Ponorogo.
Mereka tidak hanya merayakan kebaikan dan kesuksesan yang telah mereka capai, tetapi juga secara terbuka mengakui kesalahan dan kekurangan yang mereka miliki.
Dengan demikian, Bodo Kupat tidak hanya menjadi perayaan budaya, tetapi juga sebuah prosesi spiritual yang mengikatkan masyarakat dalam kesadaran akan kebaikan dan kejujuran.***
Penulis: Dani Saputra
Apa makna dari janur dalam tradisi Bodo Kupat? regard Sistem Informasi