Ngabuburit dari Belanda 1: Kehadiran Muslim Indonesia di Belanda

Penulis: Dawam M. Rohmatulloh (Dosen INSURI Ponorogo)
:::
Aswaja News – Saya belum lama tinggal di Belanda. Baru genap empat tahun di awal bulan Maret yang lalu. Pengetahuan saya tentang komunitas muslim ataupun muslim Indonesia di Belanda tentu menyimpan kekurangan di sana-sini. Tapi dalam rubrik Ngabuburit dari Belanda ini saya hendak sedikit mengulas beberapa hal yang saya ketahui, baik dari observasi langsung (yang karena saya memiliki abonemen NS Weekend Vrij jadi bisa gratis naik kereta ke mana saja tiap akhir pekan), dari obrolan (untuk tidak mengatakan wawancara, karena memang bukan wawancara), maupun dari literatur di internet (sesuatu yang tentu saja sidang pembaca juga bisa melakukannya sendiri tanpa membaca tulisan saya). Selamat membaca!
:::

Umat Islam yang saat ini tinggal di Belanda – yang tentu saja merupakan minoritas di tengah penduduk Atheis, Katolik, dan Protestan, berasal dari latar belakang bangsa atau negara yang beragam.

Ada yang dari Maroko dan Turki, yang menjadi wajah Islam di Belanda karena merupakan mayoritas. Ada yang dari Suriname, yang riwayat hubungannya dengan Belanda beririsan juga dengan Indonesia. Ada yang dari Pakistan, terutama dari kelompok Ahmadiyah. Ada juga yang dari negara-negara seperti Eritrea, Sudan, Suriah, Uyghur, dan sebagainya, yang lebih belakangan datang ke Belanda sebagai pengungsi.

Khusus terkait Indonesia, relasi kolonial tak ayal membuat kelompok ini menjadi bagian penting dari sebuah khazanah. Dalam catatan tentang sejarah datangnya Islam di Belanda, diketahui bahwa sudah sangat lama ada beberapa pedagang dari Turki Utsmani yang singgah berdagang, juga diplomat Kesultanan Aceh yang berkunjung. Namun kehadiran pedagang dan diplomat itu bukan dalam rangka dakwah atau verblijf/mukim, sehingga tidak berdampak banyak pada dinamika sejarahnya.

Baru pada awal abad ke-20, ketika kepulauan Nusantara menjadi koloni Belanda, orang-orang Islam baru benar-benar mukim di Belanda dan membentuk komunitas. Diawali oleh anak-anak, terutama dari kalangan priyayi, yang belajar di Leiden dan Delft sebagai gelombang pertama.

Mereka membentuk antara lain Indische Vereeniging yang pro politik etis ala Belanda dan Perhimpoenan Indonesia yang antikolonial. Namun, meski dikenal beragama Islam, seperti Hatta dan Sjahrir, tidak banyak catatan yang menunjukkan peran keislaman mereka selama tinggal di Belanda. Kelompok pelajar ini memang lebih banyak terlibat dalam isu-isu sosial politik, apalagi yang berkaitan dengan pemerintahan kolonial.

Berbeda dengan kelompok lain yang datang di Den Haag. Bukan sebagai pelajar, kebanyakan mereka adalah pedagang toko/warung atau pembantu rumah tangga (baboe). Bermula dari tahun 1932 dengan anggota sekitar 60 orang, didirikanlah organisasi Perkoempoelan Islam. Di antara mereka ada tokoh Saiman dan Oesim yang memimpin organisasi ini bersama seorang politisi mualaf asli Belanda, Mohammed Ali van Beetem.

Meski mayoritas anggotanya adalah orang-orang dari Indonesia, namun mereka tidak menunjukkan sikap terkait kolonialisme. Bahkan Van Beetem, selaku pimpinannya, pernah terlibat konflik dengan Perhimpoenan Indonesia karena berpandangan anti-kemerdekaan. Namun demikian, hal ini perlu dipahami dari sisi kebanyakan anggotanya yang merupakan kaum pekerja domestik dan tidak memiliki akses terhadap wawasan pergerakan dan nasionalisme.

Dari sisi lain, Van Beetem diakui serius dalam mengelola Perkoempoelan Islam ini menjadi wadah umat Islam untuk berkumpul sebagai saudara. Ia membuka rumahnya sebagai “taman persaudaraan” yang dapat digunakan untuk berkumpul, bergantian dengan warung dan rumah Saiman. Seiring dengan perannya bagi masyarakat muslim, organisasi yang dapat dikatakan sebagai organisasi komunitas muslim resmi satu-satunya yang ada di Belanda saat itu, sempat berhasil mendirikan langgar di Den Haag pada tahun 1935.

Seiring berjalannya waktu, eksistensi komunitas ini terpengaruh juga dengan perkembangan sosial politik yang ada di antara pemerintah kolonial dan koloninya. Sempat terjadi pula kebijakan pemerintah Belanda untuk mendeportasi pekerja migran, tentunya berdampak juga pada orang-orang yang memakmurkan Perkoempoelan Islam ini.

Meski pada tahun 1940 Perkoempoelan Islam tercatat memiliki anggota mencapai 300 orang, secara umum keberadaan muslim Indonesia di Belanda mengalami pasang-surut hingga di masa awal pasca-Kemerdekaan. Pada periode ini, kebanyakan muslim (Indonesia) generasi pertama hijrah ke Belanda karena mereka terdesak untuk keluar dari Indonesia. Baik langsung setelah pengakuan kemerdekaan di kurun tahun 1949-1952 maupun setelah peristiwa Sinterklas Hitam, 5 Desember 1957, ketika Presiden Sukarno mengusir orang-orang Belanda dari Tanah Air.

Dalam beberapa rombongan lebih dari 60 ribu orang-orang terusir itu, bukan hanya terdiri dari orang Belanda atau keturunan Belanda saja. Di antara mereka, tak sedikit juga orang-orang asli Indonesia yang kebetulan bekerja pada Pemerintah Kolonial Belanda, baik sebagai tentara KNIL, karyawan perusahaan Belanda, maupun di sektor domestik seperti nyai atau baboe, atau iboe yang mengasuh anak-anak keluarga Indo-Belanda.

Nah, di antara sekian banyak pengungsi dari Indonesia ke Belanda tersebut, ada dua ratusan muslim dari Maluku yang mendirikan masjid temporer di Kamp Wyldemerk, Desa Balk, Provinsi Friesland. Masjid yang diklaim sebagai masjid pertama di Belanda dan bernama Moskee An-Nur ini dibangun pada tahun 1956, dan kemudian berpindah ke Waalwijk di Provinsi North Brabant hingga kini.

Sebagai koreksi singkat, sebenarnya An-Nur ini bukan masjid pertama. Sebelumnya telah ada langgar Perkoempoelan Islam di Den Haag (1935) dan Masjid Mubarak, juga di Den Haag, yang dibangun oleh komunitas Ahmadiyah dari Pakistan pada tahun 1955.

Seiring berjalannya waktu, hubungan Indonesia-Belanda pun dinormalisasi oleh Presiden Soeharto yang berkuasa pasca-1965. Ada periode pula di mana banyak pelajar dari Indonesia yang dicabut kewarganegaraannya karena dikaitkan dengan PKI atau gerakan komunis dan menjadi eksil. Para eksil yang tidak bisa pulang kembali ke Tanah Air ini kemudian menetap di beberapa negara Eropa, termasuk Belanda.

Namun sayangnya, saya belum menemukan peran tokoh-tokoh eksil ini dalam sejarah Muslim Indonesia di Belanda, kecuali yang berkaitan dengan isu-isu kebangsaan. Hal yang saya pahami sebagai dampak dari sebuah insiden politik dan konflik ideologi di masa lalu.

:::

Keterangan foto: salah satu poster dalam pameran The Traversing of Islam Nusantara in The Netherlands yang diselenggarakan oleh PCINU Belanda di Vrije University, Amsterdam, Juni 2022.
:::

Bersambung ke bagian ke-2 tentang komunitas muslim Indonesia di kota-kota Belanda.****

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *