Oleh: Dani Saputra
Menghadirkan nama tokoh ‘besar’ terkadang membuat sebuah pembicaraan atau pembahasan menjadi terkesan lebih berbobot. Atau dalam sebuah tulisan, mengutip pendapat atau teori orang yang mempunyai pengaruh dalam bidangnya, sering kali digunakan untuk mendukung analisis dan memperkuat muatan sebuah tulisan.
Barangkali, tulisan ini juga dapat dikatakan untuk bermaskud demikian, ataupun justru tidak. Keperluan penulis menghadirkan Jacques Derrida dan dekonstruksi adalah untuk menjelaskan mengenai kompleksnya sebuah ‘makna atas teks’.
(Teks yang dimaksud di sini bukan melulu persoalan tulisan, melainkan bahasa simbolis yang secara tidak sadar justru malah memperkuat struktur dominasi. Jalan ini bisa melalui tulisan itu sendiri atau teks lain, misalnya berupa sikap-sikap atau perilaku yang mengarah pada status quo. Dalam pembacaan sejarah misalnya, dekonstruksi termasuk langkah untuk memberikan minat yang lebih besar, bukan hanya dalam wilayah etnografi saja. Sejarah yang selama ini hanya menafsirkan tindakan-tindakan orang-orang besar, dekonstruksi adalah strategi yang digunakan untuk melihat dari hal yang selama ini terpinggirkan. Bagaimana melihat dari pespektif petani, pedagang, dll. Biarkan yang selama ini terpinggirkan berbicara, dan kaitkan bahwa sebenarnya yang terpinggirkan ini juga berelasi dengan hal-hal besar tersebut)
Berangkat dari itu, kemudian penulis menganggap bahwa kasus-kasus yang terjadi akhir-akhir ini, seperti pada agama, soal keadilan, hingga diskrimniasi dan masalah lain belum juga usai_ dan ini menjadi kenyataan mengilukan yang sampai hari ini dan tidak luput dari kompleksnya pemahaman mengenai teks.
Teks yang mula-mula hanya digunakan untuk menyampaikan sebuah transformasi, kini telah beralih fungsi sebagai sebuah legitimasi sosial, berupa penghakiman; antara baik dan buruk, benar dan salah, serta indah dan tidak indah. Manusia telah kehilangan daya untuk melihat ‘Yang Lain’ sebagai yang lain.
Teks memang tidak pernah berubah, hanya cara kita saja yang berlainan dalam melakukan sebuah tafsir. Oleh karena itu untuk ‘mengurangi’ subjektifitas dalam memahami sebuah teks, pendapat Jurgen Habermas perlu dihadirkan di sini.
Ia mengatakan demikian; tindakan ‘rasional-bertujuan’ adalah tindakan dasar manusia dalam kehidupan. Pertama, tindakan dasar dalam hubungan manusia dengan alamnya sebagai objek manipulasi. Kedua, tindakan dasar manusia dengan sesamannya sebagai subjek. Dengan arti, manusia mempunyai dorongan untuk melihat dirinya secara tidak sadar, namun sekaligus ia mampu untuk mengontrol sikapnya ketika berhubungan dengan manusia lain.
Hal tersebut berupa respon yang sifatnya hitam-putih, misalnya persoalan baik dan buruk akan tergantung pengetahuan dan pada posisi apa keputusan tersebut diambil. Hal terpenting adalah melihat bahwa dalam daya kekuatan refleksi-diri, pengetahuan dan kepentingan akhirnya menjadi satu kesatuan yang tumbuh dengan mesra dalam ruang dan waktu yang sama.
Maksud penulis perlu menghadirkan dekonstruksi di sini adalah untuk menjelaskan suatu proses pembacaan yang meminati hal-hal pinggir atau dipinggirkan. Dalam konteks opisisi binner misalnya, konteks yang selama ini termarjinalisasikan justru itu yang diminati.
Hal-hal yang selama ini diam, bungkam, dan tidak pernah diberi kesempatan bersuara, akan diupayakan untuk bersuara melalui ‘jalan’ dekonstruksi.
Lalu bagaimana cara ‘kerja’ dekonstruksi untuk ‘menyongsong” mereka yang dalam masyarakat, bahkan institusi atau lembaga dianggap ‘lain’?
Tahap pertama adalah, alih-alih membiarkan dominasi dari salah satu kutub, maka mencoba menekankan kutub lawannya. Kita perlu memunculkan makna lain atas sesuatu yang terdominasi.
Makna-makna yang belum sempat dilihat sebagai sebuah kelebihan harus diangkat kepermukaan. Berarti kita juga sekaligus mengupayakan bagaimana agar mereka dapat setara dalam peranannya di wilayah sosial.
Jika meminjam istilah yang cukup terkenal dalam filsafat, bahwa objek material sebuah benda bisa saja sama, tetapi sekaligus kita harus menerima keberagaman objek formal yang muncul.
Tahap kedua, menghapus opisisi binner itu sendiri, karena menekankan kutub lawan tidak selamanya bisa konsisten, ini hanya sebagai strategi untuk menjelaskan bahwa ada sesuatu yang lain. Artinya kita juga perlu mengakui, bahwa manusia yang lahir dengan fisik normal maupun tidak normal juga mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing.
Di sinilah dekonstruksi ‘bermain’, bagaimana ia akan ‘mengacaukan’ struktur pengetahuan-dominasi atas segala bentuk. Ia berusaha (paling tidak) untuk melihat segala keberagaman tidak sebatas pengakuan, karena pengakuan hanyalah bentuk lain dari sebuah dominasi.
Kita bisa saja mengakui si A sebagai penjahat yang harus diterima sebagai kenyataan, namun bersamaan dengan itu kita merasa lebih unggul dari pada A karena kita tidak melakukan kejahatan seperti yang dilakukan si A.
Dekonstruksi melampaui itu, ‘dia’ bekerja dalam wilayah-wilayah sadar dan tidak sadar agar kemudian sisi yang terdominasi bisa terangkat, sehingga strutur tersebut hilang. Maka, ‘ketidakstabilan’ sebuah makna dapat dikatakan sebagai salah satu tujuan akhir dari dekonstuksi.
Mengapa demikian? Pengakuan bahwa manusia itu terbatas adalah sesuatu yang perlu. Manusia harus dimaknai sebagai makhluk yang dinamis, oleh karenanya tidak ada struktur antara yang baik dan kurang baik yang bersifat tetap.
Kestabilan terjadi hanya karena kurangnya kita melihat keberagaman makna yang ada. Dengan upaya melihat jaring-jaring makna yang kompleks, misalnya tentang perempuan, disabilitas, kaum minoritas, dan hal lainnya, maka kita akan memperoleh ‘kesetaraan’ dalam makna-makna yang ada dan selama ini tidak hadir atau dihadirkan.
Sejalan dengan itu, mereka yang selama ini melanggengkan dominasi tersebut, sekaligus mengakui bahwa mereka hanya kuat dalam sisi tertentu, dan lemah dalam sisi lainnya.***