Oleh: Suwadi, M.Pd.I
Momentum Peringatan hari santri dan hari pahlawan itu saling berkaitan
Belum lama ini, tepatnya 22 Oktober 2023, kita memperingati Hari Santri Nasional (HSN). Dan pada hari ini 10 November 2023, kita semua bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan Nasional.
Waktu yang sangat berdekatan antara akhir Oktober dan awal November. Seperti semuanya telah diatur dan ada benang merahnya.
Memang keduanya memiliki historisasi yang saling berkesinambungan. Bukan hanya sebuah kebetulan atau rekaan belaka. Akan tetapi bukti keterkaitan antara 22 Oktober dan 10 November bisa dilacak dengan sejarah yang terdokumentasikan.
Sejarah pertempuran 10 November 1945 di kota Surabaya, tidak terlepas dari resolusi jihad yang dicetuskan oleh Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945 di kampung Bubutan, Surabaya.
Peristiwa itu bermula ketika tentara Inggris datang kembali ke Indonesia membonceng pihak Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Dan resolusi Jihad sendiri bermula saat Presiden RI Pertama, Soekarno mengirim utusan kepada KH Hasyim Asyari, menanyakan bagaimana hukumnya dalam agama Islam membela tanah air dari ancaman penjajah.
Kemudian pada tanggal 21-22 Oktober 1945, KH Hasyim Asyari mengumpulkan wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura di Surabaya untuk membahas bagaimana hukumnya membela tanah air.
Dari pertemuan tersebut melahirkan Resolusi Jihad yang berisikan keputusan penting, yakni hukum melawan penjajah NICA adalah fardlu ain (kewajiban individu) dan mati dalam perlawanan adalah syahid.
Maka sejak itulah kiai dan kaum santri mulai melawan penjajah, hingga puncaknya pada 10 November di Surabaya.
Ratusan santri di Pulau Jawa dan Madura bertemu dan bertempur di Surabaya. Mulai dari Cirebon pimpinan Kiai Abas Buntet sampai para santri Kediri pimpinan Kiai Mahrus Ali Lirboyo.
Dengan berbekal bambu runcing dan benda tajam lainnya, para santri memenuhi Kota Surabaya untuk membela bangsa dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Selain dibantu para santri dan kiai, tentara Indonesia yang dipimpin Bung Tomo juga dengan gigih bertempur sampai titik darah penghabisan.
Bung Tomo memiliki andil besar dalam mengobarkan semangat arek-arek Suroboyo, memompa jiwa nasionalisme lewat pidato-pidatonya yang menggugah dan memompa semangat.
Sebelum membacakan pidato yang melegenda itu, Bung Tomo terlebih dahulu sowan kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama pada saat itu. Bung Tomo izin untuk membacakan pidatonya yang merupakan manifestasi dari resolusi jihad yang sebelumnya telah disepakati oleh para ulama NU.
Para kiai dan santri merupakan pahlawan bagi bangsa ini. Mereka merupakan pondasi dasar dari terwujudnya kemerdekaan bangsa Indonesia. Dengan semangat cinta tanah air, kiai dan santri tetap membangun peradaban dan mengisi kemerdekaan Indonesia.
Oleh karena itu hari santri dan hari pahlawan merupakan satu paket dalam pencatatan sejarah. Karena di dalamnya ada peran yang besar dari kaum muslimin, khususnya para santri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945.
Kita sebagai kaum santri jangan sampai melupakan jas merah (sejarah) tersebut. Tetapi hendaknya kita harus selalu mengenang serta menceritakan, serta yang tak kalah pentingnya harus menulis secara istiqamah dan berkesinambungan kisah dari peran santri terhadap perang besar dan heroik di Surabaya pada tanggal 10 November tersebut.
Dalam realita kehidupan era saat ini, para santri tetap berkewajiban untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan dengan cara terus mengkaji kitab-kitab para ulama terdahulu (ulama salaf) di berbagai pondok pesantren, TPA/TPQ dan Madrasah Diniyah.
Maka kita harus sanggup berjihad intelektual dan yang dilawan oleh para santri di zaman modern ini adalah penjajah yang bernama “kebodohan”. Imam Syafi’i pernah berkata bahwa “Jika kamu tak sanggup menahan lelahnya belajar, menahan pahit dan perihnya kebodohan.”
Santri dengan segala kemampuannya, harus bisa menjadi apa saja yang manfaat dan maslahah. Santri tidak hanya ahli ilmu agama, tetapi juga menguasai ilmu pengetahuan dan melek teknologi. Meski bisa menjadi apa saja, santri tentunya tidak boleh melupakan tugas utamanya menjaga agama. Menjaga martabat kemanusiaan adalah salah satu tujuan diturunkannya agama.
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) harus berjalan seimbang dengan penjagaan kita terhadap hal-hal lama yang baik. Prinsipnya ialah al-muhafadhotu ‘ala qodimi al sholih wal akhdzu bil jadidi al ashlah, yakni ‘Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik’.