Oleh : Adhie Handika Restu Damara
“Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak. dan dari korma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman” (Q.S. Al-Anam : 99)
Musim kemarau telah memberikan energi panas yang dirasakan oleh umat manusia. Dikatakan oleh beberapa masyarakat atau berita bahwa dominasi alam menunjukkan panas yang lebih dibanding tahun-tahun sebelumnya. Musim kemarau tahun ini cukup membuat orang kehausan bagaikan di tengah Gurun. Dimulai dari beberapa bulan sebelumnya cuaca panas pada musim kemarau ini benar-benar panas. Bahkan titik suhu panas di daerah Surabaya mencapai 40 derajat lebih. Padahal Indonesia merupakan daerah yang masih banyak hutan belantara yang hijau.
Namun belakangan banyak dari hutan-hutan di Indonesia mengalami kebakaran, yang sampai saat ini sudah mulai dirasakan dampaknya, dari suhu udara semakin panas sampai kekeringan di beberapa daerah. Isu perubahan iklim global menjadi topik hangat bahwa dunia akan mengalami peningkatan suhu udara. Hal ini mau tidak mau harus dihadapi oleh masyarakat dunia dengan melakukan perhatian lebih ke pada alam atau lingkungan. Perhatian itu dapat dilakukan dengan misalnya melakukan penanaman pohon atau menjaga pohon-pohon besar sebagai penyimpan air agar tidak di tebang.
Kemudian perihal kekeringan tidak melulu terkait pengeboran air yang dilakukan agar dapat menghasilkan air apalagi di tengah-tengah kekeringan. Tindakan tersebut semakin mendapati jurang pemisah terhadap keseimbangan ekosistem alam, antara penanaman dengan pengeboran. Sumber air terus dikuras tetapi tidak diimbangi dengan penghijauan lingkungan atau menjaga alam. Keadaan ini memberi konsekuensi bahwa hijab tebal sedang duduk dan semakin tumbuh besar di antara manusia dengan alam.
Menanggapi musim kemarau sebagai pertanda alam, masyarakat Indonesia atau Nusantara biasanya tanggap sasmito, kemudian mengekspresikan ke dalam bentuk tradisi atau budaya seperti ritual, kearifan lokal untuk menyambut tanda-tanda alam tersebut. Salah satu tradisi dari pertanda alam ialah tradisi Labuhan, yang oleh masyarakat Jawa dimaknai sebagai terjadinya perubahan musim dari kemarau ke musim hujan. Biasanya ditandai perubahan angin dari selatan ke utara berubah arah dari utara ke selatan. Pertanda ini dapat dilihat pada permainan khas daerah yaitu layang-layang yang sebelumnya terbang ke arah utara berputar haluan ke arah selatan.
Pertanda alam ini selalu diingat oleh masyarakat Jawa dengan melakukan beberapa ritual. Seperti di daerah Ponorogo misalkan, melakukan tradisi ritual berdoa bersama untuk meminta hujan. Ritual ini dilakukan dengan bunyi-bunyian mengarak tarian Reyog menuju tempat yang dikeramatkan kemudian melakukan ‘Sedekah Bumi’ dengan menebarkan hasil bumi berupa olahan minuman khas Ponorogo yaitu Dawet.
Setelah selesai menebarkan hasil bumi kemudian seluruh masyarakat yang ikut dalam arak-arakan tersebut berdoa bersama untuk meminta keberkahan untuk alam agar diberikan hujan dengan harapan hujan yang membawa keberkahan. Selain itu ritual doa juga dilakukan di masjid-masjid, tepatnya saat musim kemarau yang semakin panjang ini seorang muazin setelah adzan selalu mengumandangkan puji-pujian kidung meminta hujan.
Islam sendiri mengajarkan untuk selau mengingat kepada Allah akan tanda-tanda kebesaran-Nya. Seperti peristiwa alam Gerhana matahari atau Gerhana bulan, Islam menganjurkan dengan men-sunah-kan sholat Gerhana, zikir dan sholawat. Sama halnya bila terjadi kemarau panjang sebagai tanda alam, Islam menganjurkan untuk sholat Istisqa, berzikir dan berdoa agar segera diberi keberkahan hujan.
Tanda alam merupakan sarana untuk mengingat bahwa perputaran siklus alam semesta sama halnya siklus alam pikiran dan perasaan (hati) manusia yang terus berputar. Kadang gelap seperti gerhana lalu cerah bagai purnama, kadang kemarau kadang hujan. Maka dianjurkan untuk melakukan amalan ritual berzikir, berdoa untuk mengingat. Dalam tradisi kearifan lokal seperti bunyi-bunyian yang diiringi doa juga dilakukan, fungsinya sama untuk pengingat atau Eling. Islam Jawa selalu meyakini kepada Gusti Ingkang Murbeng Dumadi (Pengatur Jalan, Esa, luhur), Gusti Ingkang Akaryo Jagad (Mengatur Alam), Gusti Ingkang Murbeng Gesang (Mengatur Kehidupan) agar manusia selalu diberi keberkahan dan keselamatan hidup.
Kearifan lokal inilah yang menjadikan masyarakat Indonesia atau Nusantara selalu Eling lan Waspodo, ingat kepada Sang Penjaga Alam Semesta, bahwa semesta merupakan ruang yang telah mempribadi ke dalam relung sanubari jiwa manusia. Sehingga manusia selalu ingat dan bertanggung jawab menjalankan tugasnya sebagai poros dunia (khalifatullah fil Ard) agar alam tetap berjalan sesuai “rule of the gamenya” yaitu tercapainya keseimbangan alam.
Wallahuallam bisshowab