Kodifikasi Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah

Aswaja News – Kodifikasi al-Qur’an atau biasa dikenal dengan jam’ul Qur’an yang berasal dari bahasa arab yakni kata jama’a yang memiliki arti mengumpulkan, menghimpun, atau mempersatukan. Dalam hal ini ada dua pengertian jam’ul Qur’an menurut para ulama.

Pertama, pengumpulan dalam arti hafazhahu (menghafalnya), Rasulullah sallallau ‘alaihi wasallam adalah penghafal al-Qur’an pertama sebelum para sahabat, beliau amat sangat menyukai wahyu, bahkan selalu merindukan turunnya wahyu, sehingga jika wahyu turun beliau tergesa-gesa menghafalkanya dan memahaminya dan kemudian disampaikan kepada para sahabat dan dihafalkan oleh para sahabat.

Kedua, pengumpulan dalam arti kitabuhu kullihi (penulisan al-Qur’an seluruhnya), baik dalam memisah-misahkan ayat dan surat-suratnya atau menertibkan ayat dan surat-suatnya dari lembaran-lembaran dan menghimpun semuanya menjadi satu.

Pada masa Rasulullah kodifikasi al-Qur’an dilakukan dengan dua metode, yaitu metode bil hifdzi dan metode bil kitabah.

Pertama, metode bil hifdzi (dengan hafalan), Rasulullah adalah penerima wahyu dan penghafal pertama al-Qur’an sebelum disebarkan kepada para sahabat. Jika wahyu turun beliau akan langsung menghafalnya dan memahaminya kemudian mengabarkan kepada para sahabat dan mengajarkannya, maka beliaulah teladan paling baik dalam menghafal al-Qur’an. Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur selama dua puluh tahun lebih, proses turunnya terkadang hanya satu ayat dan terkadang turun sampai sepuluh ayat. Setiap turun ayat mereka menghafalnya dan disimpan dalam hati, sebab bangsa arab secara kodrati mereka memiliki daya hafal yang kuat, karena pada umumnya mereka buta huruf sehingga berita-berita, syair-syair dan silsilah dihafalkan dan disimpan dalam hati.

Di samping itu Rasulullah juga meminta para sahabat yang baik hafalannya untuk mengajarkannya kepada orang yang baru masuk islam. Ubadah bin As-Shammit berkata, “Apabila ada seseorang yang hijrah (masuk islam), Rasulullah menyerahkan kepada salah seorang dari kami untuk mengajarinya al-Qur’an. Di masjid Rasulullah sering mendengar suara orang membaca al-Qur’an, sehingga Rasulullah meminta mereka untuk merendahkan suara supaya tidak saling mengganggu.” Dari pemaparan ini dapat diketahui bahwasanya berpegang pada hafalan adalah salah satu ciri khas umat ini.

Kedua, metode bil kitabah (dengan penulisan), Rasulullah adalah seorang yang ‘ummiy (buta huruf) sehingga beliau meminta kepada beberapa sahabat yang pandai membaca dan menulis untuk menuliskan wahyu. Sahabat-sahabat yang diminta menjadi penulis al-Qur’an diantaranya adalah Ali, Muawiyah, Ubay bin Kaab dan Zaid bin Tsabit. Bila ayat turun, Rasulullah memerintahkan mereka untuk menuliskannya dan menunjukkan letak ayat tersebut dalam surat, maka penulisan ini mempermudah para sahabat yang menulis dalam menghafal al-Qur’an. Pada saat itu para sahabat menuliskannya di pelepah kurma, lempengan batu, kulit kayu, pelana dan potongan tulang belulang binatang, ini menunjukkan betapa sulitnya penulisan al-Qur’an pada masa itu. Alat-alat yang digunakan sangat terbatas, tetapi dengan inilah hafalan para sahabat semakin kuat.

Tulisan-tulisan al-Qur’an pada masa Rasulullah tidak terkumpul menjadi satu mushaf tetapi sudah disusun letak ayat-ayat dan surat-suratnya, karena pada masa itu belum ada tuntutan kondisi untuk membukukannya. (DAF)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *