Pendidikan Islam Menuju Kemanusiaan: Tantangan Multikulturalisme dan Wacana Pembaharuan

AswajaNews – Dewasa ini, persoalan tentang rasa kemanusiaan menjadi semakin beragam dan semakin kompleks. Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi zaman sekarang yang semestinya bertujuan untuk memberi solusi dan mengatasi masalah hidup manusia, justru malah memberikan kontribusi bagi munculnya berbagai persoalan tentang kemanusiaan. Persoalan ini selalu ada, dikarenakan seseorang yang mahir dalam berbagai ilmu tetapi tidak dibarengi dengan pemahaman dan sikap yang humanis.

Indonesia adalah Negara multikultural. Hal ini dapat dilihat dari keadaan sosio kulturalnya, maupun keadaan geografisnya yang sangat beragam. Indonesia memiliki 13.000 pulau, memiliki lebih dari 300 suku bangsa, serta menggunakan 200 bahasa yang berbeda. Terlebih dari itu, Indonesia juga mempunyai adat dan kebudayaan yang berbeda-beda. Warga Negara di Indonesia juga menganut beragam kepercayaan seperti, Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghuchu dan banyak macam aliran kepercayaan lain seperti kepercayaan kejawen, Sapta Darma, dan sebagainya.

Pendidikan adalah suatu rangkaian dalam membentuk perubahan baik dalam diri sendiri maupun di dalam kelompok. Oleh karena itu, rangkaian dalam suatu pendidikan yang benar adalah melepaskan manusia dari berbagai belenggu, intimidasi dan eksploitasi. Di sinilah letak menariknya dari pedagogic, yaitu dengan melepaskan manusia secara lahiriyah dari ikatan-ikatan yang di luar dirinya atau dapat dikatakan sesuatu hal yang mengikat kebebasan seseorang. Maka dalam hal ini, pendidikan tentunya akan mempunyai peran yang krusial dalam membentuk sikap manusia yang humanis.

Pendidikan islam sebagai suatu lembaga pendidikan yang mentransfer nilai dan ajaran keislaman sebagai pedoman keyakinan umat Islam. Dewasa ini, pendidikan islam diharapkan tidak hanya membentuk peserta didik dalam hal keyakinan agama saja, tetapi dapat membentuk peserta didik yang mampu menyeimbangkan pengetahuan keislaman dengan pengetahuan umum. Hal ini untuk menciptakan pendidikan Islam yang mampu menyesuaikan dengan zaman.

Maka pendidikan islam harus melakukan pembaharuan atau modernisasi selektif yaitu mempertahankan tradisi terdahulu dan mengambil referensi ilmu dari barat yang tidak bertentangan dengan kaidah kaidah Islam. Sehingga pendidikan islam tidak tergerus oleh perkembangan zaman.

Wacana tentang pendidikan tidak akan pernah sepi dari kritikan-kritikan tajam yang dilontarkan oleh para intelektual, hal ini disebabkan karena model-model pendidikan yang diharap sebagai sebuah sarana memanusiakan manusia dan membebaskannya dari distorsi kemanusiaan yang hakiki tidak lagi terjadi, justru sebaliknya pendidikan tidak lagi membebaskan manusia atau peserta didik, serta seluruh komponen pendidikan.

Kenyataan tersebut, menyebabkan lahirnya pemikiran tentang wacana pembubaran lembaga sekolah, Ivan Illic misalnya mengatakan bahwa lembaga-lembaga sekolah yang sudah ada ini harus digusur alias dibubarkan semua. Menurutnya, sekolah bukanlah lembaga pendidikan akan tetapi lembaga penindasan rakyat kecil, lembaga yang melestarikan feodalisme, lembaga yang melanggengkan kolonialisme, lembaga yang menjujung tinggi status quo, bahkan lembaga yang mengabdikan sistem persaingan model hukum rimba. Atau memakai istilah Ainurrafi “Emoh Sekolah “ karena sekolah dianggap sebagai biang keladi munculnya dikotomisasi antara pendidikan dan pengajaran atau penyekolahan.

Wacana di atas, merupakan bentuk dari kritik kepada dunia pendidikan yang tidak lagi mempunyai filsafat pendidikan yang membebaskan peserta didik dan seluruh komponen pendidikan. Hal ini akan menjadi sangat relevan manakala kita menyadari kondisi dan praktek pendidikan di Indonesia, oleh karena itu, pemikiran tersebut merupakan wujud dari kegelisahan seseorang yang masih punya hati nurani kemanusiaan. Dengan kata lain merupakan wujud dari kegelisahan sosial intelektual manusia Indonesia yang tidak menginginkan manusia Indonesia tega memakan teman, saudara, rekan, bahkan orang tua sendiri hanya untuk mendapatkan kekayaan dan kesenangan yang bersifat materi.

Dengan demikian, pendidikan yang berorientasi kepada human empowering, dialogue oriented dan simpatik minoritas sudah saatnya mendapat tempat bagi semua elemen akademisi. Atau fisafat pendidikan yang membebaskan, kalau tidak, jangan salahkan Paulo Freire yang mengatakan lembaga sekolah adalah candu. Karena itupun beliau menggagas pendidikan yang membebaskan.*** (Samsul Hadi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *