Aswaja News – Sebagaimana dimaklumi, sudah lama terjadi gesekan antara kelompok Islam lokal dengan Islam Arab. Sekurang-kurangnya hal ini dapat dilihat sejak era Perang Paderi yang awalnya dipicu ketegangan antara orang Islam yang pro-Arabis (Tuanku Imam Bonjol) dengan kelompok Islam Adat.
Pada era setelahnya, kalangan anggota jamaah tabligh bisa dikatakan sebagai representasi baru sebagai kelompok yang membawa semangat Islam pro-Arabis, meski ideologi dan latar belakang mereka mungkin saja bisa berbeda.
Kelompok ini menganggap bahwa cara mereka menggunakan pakaian ‘ala’ Arab merupakan interpretasi dalam mengejawantahkan sunnah Nabi. Bahkan lebih fatalnya, orang atau kelompok yang tidak mengikutinya, maka dianggap tidak mengikuti sunnah.
Lebih jauh, kelompok Islam pro-Arabis ini ‘sengaja’ membuat pembeda dengan komunitas Islam ‘tradisional’ yang sudah ada di Indonesia lebih dulu. Bahkan lebih ekstrimnya lagi, tradisi keagamaan yang bersifat lokal tersebut dianggap ‘tidak’ Islam bagi mereka.
Padahal, tadisi keagamaan ‘lokal’ seperti sekaten, tahlilan, mauludan, ruwahan, nyadran, peringatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari hingga haul, dan lain-lain sudah lama tumbuh dan berkembang bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam.
Tradisi lokal ini sudah secara damai berdampingan dengan ‘ajaran’ Islam, bahkan jauh sebelum adanya kelompok Islam pro-Arabis ini, masyarakat tidak pernah mempermasalahkannya.
Berbicara mengenai Islam dan tradisi sendiri, hal ini sekurang-kurangnya bisa dilihat dari beberapa karakteristik yang cukup menonjol, yaitu:
- Memegang teguh pada prinsip.
Karena keteguhannya ini, tidak sedikit orang luar terkadang salah paham dengan menilainya eksklusif (tertutup) atau fanatik sempit, tidak mau menerima pendapat, pemikiran dan saran dari kelompok lain (terutama dalam bidang agama). Hal ini dikarenakan mereka mengganggap bahwa kelompoknya yang paling benar.
- Bersifat toleran dan fleksibel.
Karena sifat tolerannya terhadap tradisi, maka orang luar terkadang salah paham dengan menilai bahwa ‘kelompok’ ini tidak dapat membedakan antara hal-hal yang bersifat ajaran dengan yang non-ajaran.
Padahal, Islam ‘tradisionalis’ punya ‘keyakinan’ bahwa segala hal harus dipertahankan selama itu berkaitan dengan nilai agama. Misalnya saja mengenai anjuran menutup aurat dan alat menutup aurat berupa pakaian.
Yang merupakan ajaran agama adalah menutup aurat, sedangkan alat menutup aurat berupa pakaian dengan berbagai bentuk atau bahannya adalah bukan ajaran. Jika ajaran tidak dapat diubah, maka yang bersifat non-ajaran semestinya tidak perlu dipermasalahkan.
Karena kelompok Islam ‘tradisionalis’ mempertahankan hal ini, maka orang pro-Arabis menganggap bahwa mereka tidak dapat membedakan antara keduanya, sehingga alat menutup aurat berupa pakaian pun dianggap ajaran yang tidak dapat dirubah.
- Berpijak masa lalu untuk masa depan.
Keputusan hukum yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu adalah contoh atau produk ideal yang akan diikuti oleh kelompok Islam ‘tradisionalis’ ini.
Hal ini ‘sekurang-kurangnya’ bisa dilihat bagaimana kelompok ini lebih mempercayai segala produk ulama terdahulu yang tidak mungkin bisa dikalahkan oleh para ulama atau sarjana yang muncul belakangan.
Meski ini terkesan kaku, konsep pemahaman mengenai manhaj al-fikr membuka kemungkinan untuk diadakannya ijtihad baru untuk menanggapi permasalahan yang muncul di era sekarang.
- Hati-hati dalam melakukan penafsiran teks agama.
Keteguhan pada pada teks sering kali memunculkan tuduhan bahwa mereka terlalu tekstulis. Tuduhan itu akan batal ketika (penuduh) dihadapkan pada keyakinan, bahwa sikap ini diambil oleh kaum sunni sebagai bentuk kehati-hatiannya mereka dalam mengambil hukum.
- Cenderung tidak mempersalahkan tradisi yang terdapat dalam agama.
Pada waktu Islam datang ke Indonesia, di Indonesia sudah terdapat berbagai macam agama dan tradisi yang berkembang dan selanjutnya ikut mewarnai tradisi serta paham keagamaan yang ada.
Tradisi yang demikian itu selama baik tidak akan dipermasalahkan dan yang penting dapat menentramkan hati serta perasaan mereka. Sedangkan tradisi yang bertentangan dengan Islam harus dihilangkan atau diganti dengan yang substansinya sesuai dengan ajaran Islam.* (Dani Saputra)
One thought on “Islam dan Tradisi, Karakteristik Akar Kultur Islam di Indonesia”