Oleh: Rosadi Jamani (Dosen UNU Kalbar)
Tulisan kali ini ditujukan ke mahasiswa yang sedang menulis skripsi. Ceritanya mau curhat sebagai pembimbing skripsi. Bukan gaya-gayaan, semata-mata untuk diperhatikan. Ada hal sepele dan terus terjadi. Dikasih tahu berkali-kali, kadang dipraktikkan di depan mata, masih tak paham. Bahasa Melayunya, bebal. Jangankan mahasiswa, ada juga dosen melakukan hal serupa. Kadang juga wartawan yang setiap hari menulis, masih juga bebal.
“Apa ceritanya ni, Bang? Pagi-pagi sudah ngomel, mana hari libur lagi. Mestinya happy, Bang!”
Agak kesal makanya sedikit emosi. Baru saja mengoreksi proposal skripsi mahasiswa. Dari awal sampai akhir dibaca. Mana yang salah, tak kasih stabilo kuning. Lembar demi lembar dikoreksi. Begitu dilihat, setiap halaman ada stabila kuning. Tandanya, banyak kesalahan. Nah, kesalahan paling menonjol, penulisan “di”. Mana di yang dipisah dan mana di yang digabung atau disatukan. Hal sepelekan.
“Benar kata abang, menulis di itu sangat sepele. Tapi, kenapa sering salah. Padahal yang namanya Bahasa Indonesia dipelajari dari SD sampai Perguruan Tinggi. Benar kata abang, bebal tu mahasiswa.”
Abang kalau kesal, keluar juga kata kasar, bebal. Apa boleh buat, demi mahasiswa itu juga dan yang lain. Penulisan “di” itu memang sepele. Apa sih susahnya. Cuma, sering salah dan terus berulang. Baiklah, terpaksa abang jelaskan lagi. Penulisan “di” itu ada yang dipisah dan digabung. Tergantung kata apa didepannya. Kalau kata menunjukkan tempat, “di” dipisah. Contoh, di sini, di sana, di mana, di sekolah, di sekolan, di gorong-gorong, dan sebagainya. Kalau didepannya kata kerja, “di” harus digabung. Contoh dimakan, disantap, ditimang, dipukul, disepak, dan sebagainya.
Ada juga “di” digabung bila ada awalan dan akhiran, walaupun didepannya kata sifat atau menunjukkan tempat. Contoh, rindu itu kata sifat. Apabila dikasih awalan di dan kan, menjadi dirindukan, dimanjakan. Contoh lagi, kata dalam. Apabila dikasih awalan di dan nya, menjadi didalamnya, diantaranya, dirumahkan, didiamkan, dan sebagainya. Itu saja sih, hal sepele tapi selalu susah diamalkan. Kebanyakan bebal.
Itu baru soal kata “di” dipisah dan digabung. Apalagi hal lain. Misalnya penggunaan huruf kapital atau huruf besar. Ini juga banyak salah. Tapi, tak perlulah soal huruf kapital ini, cukup penggunaan kata “di” saja dulu.
Apalagi membahas soal bab pendahuluan, metode penelitian, kajian teori, daftar pustaka, itu lebih kesal lagi. Memang harus sabar sih. Maklum, mahasiswa sedang belajar. Itu sebabnya, abang bilang, belajarlah dari hal kecil dulu. Cukup penulisan “di” dulu. Selanjutnya ke hal lain yang lebih besar. Bila ini diamalkan, tulisan ente dijamin bagus. Skripsi kalian ok punya.
Satu lagi ingin abang sampaikan, soal banyaknya kutipan. Tidak salah memang sepanjang mengikuti kaidah. Persoalannya, kutipan lebih banyak, berlembar-lembar ketimbang tulisan dari pikiran sendiri. Jadi teringat pesan Prof. Dr. Syarif Ibrahim Alqadirie, guru besar Fisipol Untan saat membimbing tesis abang. Beliau sangat detail bila membimbing. Dua jam lebih setiap kali dibimbingnya. Halaman per halaman ia koreksi di depan mata. “Mana tulisan dari pikiranmu sendiri. Ini yang dominan kutipan dari referensi orang. Mestinya, dalam tesismu ini, pikiran originalmu yang lebih dominan, bukan kutipan. Kutipan berlembar-lembar, sementara pikiranmu cuma selembar ini,” katanya Prof Syarif biasa saya panggil. Semenjak itulah, abang lebih menonjolkan pikiran sendiri, ketimbang mengedepankan kutipan dari berbagai referensi. Jadi ke sini ngawurnya, padahal soal kata “di” tadi.
Hal sepele tapi sering membuat kesal. Itulah penulisan kata “di”. Semoga tulisan singkat ini bisa membuat mahasiswa tak bebal lagi. #camanewak