Aswajanews – Kabupaten Ponorogo saat ini sedang disibukkan dengan event tahunan bertajuk Grebeg Suro, sebagai momentum bersejarah yang selalu diperingati setiap tahunnya. Grebeg Suro menjadi salah satu agenda yang sangat dinantikan oleh warga Ponorogo, sebab ada banyak tradisi yang digelar dan tentunya menjadi ciri khas dari Kabupaten Ponorogo sendiri.
Menjadi salah satu warga ashli—pakai shod—Kabupaten Ponorogo, saya pribadi juga tidak mau ketinggalan dengan event yang spektakuler ini. Pasalnya, event Grebeg Suro juga bersamaan dengan Hari Jadi Kabupaten Ponorogo yang diperingati pada tanggal 11 Agustus, yang kebetulan juga sama dengan tanggal lahir saya. Jadi, kurang bangga apa saya dengan Ponorogo?
Oke oke, intermezo kita cukupkan sejenak, nanti lagi ya. Sekarang kembali ke laptop.
Event Grebeg Suro sebenarnya adalah tradisi masyarakat Ponorogo dalam menyambut malam 1 Suro atau Bulan Muharram dalam kalender Hijriah. Ada banyak agenda yang biasa dilakukan masyarakat dalam menyambut malam 1 Suro ini. Sebagaimana yang sudah dirilis oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo, ada sejumlah tradisi yang dilaksanakan seperti bedhol pusaka, kirab lintas sejarah, jamasan pusaka, laku tirakatan malam 1 Suro, dan lainnya. Agenda tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Ponorogo memang masih kental dengan budaya dan tradisi dari para leluhur terdahulu.
Selain tradisi tersebut, juga ada beberapa agenda dalam event Grebeg Suro yang tidak kalah meriah, yaitu Festival Reog Remaja dan Festival Nasional Reog Ponorogo. Bahkan agenda ini menjadi ikon yang banyak diminati oleh masyarakat di Indonesia, terbukti dari peserta dalam FNRP 2023 yang terdiri dari berbagai kota. Meriah banget kan?
Sebagai warga dari ujung kulon Ponorogo sekaligus anak muda yang suka mengamati, saya kemudian ingin mengajak untuk berfikir—sebentar aja kok—hal penting apa yang seharusnya kita pahami dalam rangkaian event Grebeg Suro Ponorogo 2023 ini.
Pertama, dengan adanya event Grebeg Suro, wa bil khusus sebagai pemuda muslim, sudah seharusnya menjadi salah satu refleksi syukur atas nikmat dari Gusti Allah yakni bisa berjumpa kembali dengan Bulan Muharram. Sebab Bulan Muharram menjadi satu dari empat bulan dalam kalender Hijriah yang memiliki keistimewaan. Jangan khawatir, keistimewaan Bulan Muharram juga disebutkan dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 36:
اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ
Artinya: “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah itu ada dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa.”
Kedua, sebagai warga Ponorogo yang mencintai budaya, saya merasa event Grebeg Suro ini menjadi momentum lokal yang mendunia. Sejak saya kecil sampai sekarang, saya selalu merasakan ada privilege tersendiri dengan adanya event Grebeg Suro. Bahkan, beberapa tulisan saya tentang Grebeg Suro di media lain pun sering menduduki jajaran terpopuler karena memang se-excited itu masyarakat menantikan event ini.
Sebenarnya ada banyak tradisi dan budaya juga di daerah lain dalam menyambut Bulan Muharram atau 1 Suro ini. Namun, bagi saya Grebeg Suro Ponorogo selalu wah dan bahkan setiap tahun selalu meriah alias gak pernah sepi.
Nah, disinilah letak proses pembelajaran itu seharusnya muncul. Berbagai tradisi budaya yang digelar dalam event Grebeg Suro seharusnya bisa menjadi ibrah tersendiri khususnya bagi para pemuda. Tentang bagaimana bisa merawat dan melestarikan tradisi yang ada di Kabupaten Ponorogo. Pemuda diperlukan sebagai tonggak estafet tradisi dan budaya warisan dari nenek moyang yang bahkan rasanya sudah mendarah daging dengan lokal wisdom Ponorogo sendiri. Pemuda diharapkan bisa melek budaya, bahkan andil dalam upaya menjaga ruh dari Kabupaten Ponorogo ini.
Ketiga, event Grebeg Suro ini membutuhkan dana yang tidak sedikit, seperti keterangan dari Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Kepemudaan dan Olahraga (Kadisbudparpora), Judha Slamet Sarwo Edi, bahwa anggaran Grebeg Suro 2023 tahun ini mencapai Rp1,9 miliar yang nantinya akan diploting sesuai rencana kegiatan dari tiap komunitas. Meskipun begitu, pada faktanya pemerintah selalu bisa mengembalikan kondisi kantong agar kembali terisi. Dengan apa? Tiket masuk, retribusi parkir, pajak pedagang, dan masih banyak lagi. Ini sah sah saja, bahkan saya yakin masyarakat juga sangat antusias atas adanya event Grebeg Suro ini.
Terakhir, dengan adanya event Grebeg Suro di Ponorogo, wajar saja jika saya menyebutkan semuanya akan kebagihan untung pada waktunya. Nenek moyang untung, sebab generasi muda sampai sekarang masih menjaga tradisi budaya Ponorogo. Pemerintah untung—meskipun harus mengeluarkan 1,9 M dulu—untuk melestarikan tradisi dan budaya, yang kemudian nanti juga ada pemasukan dari agenda ini. Dan tentu, masyarakat juga untung. Apa untungnya? Untung sudah baca artikel ini. heuheuheu.
(Intan Gandhini)