Oleh: Rosadi Jamani (Dosen UNU Kalbar)
Bagi yang ngikuti akun facebook saya, Rosadi Jamani, pasti tidak asing dengan kalimat “Risiko datang awal” Kalimat itu pasti disertai foto ruangan rapat yang kosong. Maksudnya, datang jelang rapat, tapi belum ada peserta lain datang. Kalaupun ada, hanya segelintir. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Again and again.
Biar saya perjelas. Undangan rapat biasanya pukul 08.00 pagi. Saya selalu berusaha datang tepat waktu. Minimal 15 menit sebelum pukul 08.00 saya sudah datang. Ini kebiasaan yang sudah lama saya amalkan. Begitu datang di ruangan, biasa saya paling duluan. Kadang panitia pun lambat. Saya sih enjoy dan senang. Karena masih sepi, cari meja dan kursi paling pojok, hidupkan laptop, dan nulis. Suasana sepi paling asyik nulis sendirian. Lumayan.
Suasana sepi itu saya foto. Lalu, saya upload di FB dengan caption “Risiko datang awal” Itu saja, tanpa nyebut nama tempat dan rapat tentang apa. Itu saja sih. Karena sering saya upload begitu, ada kawan mengatakan, “Risiko datang awal” itu status legend. Mungkin karena sering begitu, jadilah ia status yang melegenda.
Sebenarnya, kenapa saya sering membuat status “Risiko datang awal” Itu sebuah fenomena sekaligus sindiran. Betapa susahnya masyarakat kita datang tepat waktu. Betapa beratnya, orang kita memulai rapat sesuai undangan. Dari dulu hampir tidak berubah. Again and again. Kalau tak percaya, test saja. Datang sesuai undangan. Rapat baru akan dimulai paling cepat 30 menit. Itu sudah cukup baik. Biasanya, satu jam molor. Kadang lebih dari itu. Anehnya, fenomena ini dianggap biasa saja. Tidak ada yang protes. Saya pun tak berani protes saat itu. Salah satu bentuk protes saya, status “Risiko datang awal” yang legend itu.
Apakah tidak pernah terlambat? Pasti pernah lah. Cuma jarang. Kalaupun terlambat, saya infokan ke panitia atau di grup, saya agak terlambat karena macet atau ada sesuatu yang harus dikerjakan dulu. Bahkan, tidak hadir pun pernah. Kenapa tidak hadir, pasti ada kegiatan yang lebih penting. Itu diinfokan ke panitia. “Mohon maaf tidak bisa hadir, karena ada kegiatan di Hotel Ibis.” Bukan sengaja, tapi jadwalnya bentrok. Dengan informasi ini, panitia maklum.
Inspirasi datang tepat waktu ini dari mantan Wakapolri, Nanan Soekarna. Saat itu ia menjadi Kapolda Kalbar. Ada kunjungan ke Polres Landak. Saya masih tugas di Landak. Pas acara, saya sudah di lokasi. Ternyata Pak Nanan baru juga sampai. Masih sepi. Para undangan belum datang. Pihak Polres yang kelabakan, Kapolda udah datang, undangan belum. Pak Nanan santai, duduk sebentar lalu berjalan melihat suasana kantor Polres. Satu jam kemudian, barulah acara dimulai. Apa yang disampaikan beliau saat pidato. “Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudari sekalian. Saya terbiasa datang setengah jam sebelum acara. Dengan datang sebelum acara, banyak hal baru didapatkan.” Ungkapan ini selalu saya ingat dan praktikkan.
Satu lagi inspirasi dari kawan orang Jepang. Namanya Pak Kusakabe. Saat tugas di Kalbar, ia akrab dengan saya. Biasa diajak makan pecel lele Wongsolo. Suatu hari ada rapat di kantor (tak disebutkan nama kantornya ya). Rapat pukul 08.00. Saya datang duluan. Pak Kusakabe belum datang. Sekitar lima menit jelang jam rapat, ia berlari naiki tangga ke lantai tiga. Begitu sampai, napasnya turun naik. “Maaf, terlambat,” katanya. Padahal, masih lima menit. Ia tidak mau terlambat. Berarti benar, orang Jepang memang tak mau terlambat dalam hal apapun.
Satu lagi cerita, ini paling mengenaskan. Saya diundang jadi narsum pelatihan menulis. Yang ngundang organisasi wartawan. Pesertanya seluruh Kades se-kabupaten. Dari Pontianak ke tempat pelatihan sekitar tiga jam. Subuh hari saya sudah berangkat mengejar jangan sampai terlambat. Pukul 09.00 acaranya. Begitu di lokasi, peserta belum ramai. Pukul 09.00 acara mestinya dimulai. Tapi, wakil bupati yang mau buka, belum tiba. Saya dan peserta pun menunggu. Panitia terus mengontak sang wabup, tak ada jawaban. Mau dimulai panitia sepertinya takut melangkahi. Waktu terus berjalan. Saya dan peserta gelisah. Tak terasa pukul 11.00 wabup terlihat baru bangun tidur, tiba di lokasi. Acara seremoni pun dimulai. Lalu, ia pun memberikan sambutan. Dalam sambutannya malah mengajak seluruh Kades tingkatkan disiplin dan kinerja. Saya dengar, hanya bisa senyum. Setengah jam waktu pembukaan, giliran saya ngasih materi. Karena waktu molor cukup lama, hanya setengah jam presentasi. Selesai. Untungnya, isi amplopnya lumayan, tak sia-sia datang jauh-jauh, hehehe. Tapi, itulah pengalaman terburuk soal waktu.
Ada juga istilah “datang paling akhir, pulang paling awal” Ungkapan ini sering bila ada acara tahlilan. Ayo, ngaku yang suka ginian. Udah datang akhir, makan paling banyak, pulang duluan. Lengkap sudah hehehe.
Soal tepat waktu, memang masih berat untuk diamalkan. Mirip layanan maskapai yang ono tu. Sangat berbahaya bila soal waktu dianggap remeh atau sepele. Pada akhirnya nanti, orang ngundang pakai “bangsi” (istilah orang Sambas). Karena peserta biasa telat, undangan dimajukan pukul 07.30. Nanti acara pas nya pukul 08.00. Dimundurkan setengah jam. Kadang peserta juga berpikir, “Ah, paling acara dimulai pukul 09.00. Datang tepat waktu pun masih sepi. Jadi santai, main games dulu.”
Saya tak perlulah bentangkan dalil harus menghargai waktu. Sering diucapkan, susah diamalkan. Kadang yang suka bawa-bawa dalil kelakuannya juga begitu. Mestinya dari pemimpin dulu memberi teladan tepat waktu. Kalaupun pemimpin rata-rata suka ngaret, biarlah saya saja tidak ngaret. Tak apa-apa sendirian di ruangan. Yang penting sudah ada kopi dan kue.