Ini Kesalahan Penyajian Visual Sejarah: Foto Kyai Ageng Ngali Muntoha Sebagai Kyai Muhammad Besari

Aswaja News – Dalam lanskap sejarah yang kaya akan tokoh dan peristiwa, kesalahan kecil dalam penyajian informasi dapat menimbulkan dampak yang signifikan terhadap pemahaman kolektif.

Dalam tradisi Jawa, ada kebiasaan untuk menamai anak, keturunan, atau murid dengan nama tokoh atau leluhur sebagai bentuk penghormatan. Namun, praktik ini seringkali menimbulkan kebingungan di masa depan, terutama ketika tidak ada dokumentasi yang cukup untuk membedakan individu-individu tersebut.

Baru-baru ini, sebuah kesalahan informasi grafis telah mengungkap sebuah fenomena sosial dan historis yang menarik perhatian para peneliti sejarah dan masyarakat luas.

Ditemukan adanya kesalahan penggunaan foto yang diilustrasikan sebagai sosok Kyai Muhammad Besari dari Tegalsari, Ponorogo.

Diketahui foto tersebut sebenarnya adalah foto dari Kyai Ageng Ngali Muntoha dari Nglames, Madiun.

Kyai Ageng Muhammad Besari, yang meninggal dunia pada tahun 1773, hidup jauh sebelum penemuan kamera pada tahun 1816 oleh Joseph Nicephore Niepce.

Oleh karena itu, sangat tidak mungkin foto yang diklaim sebagai Kyai Muhammad Besari itu adalah dirinya, mengingat kamera pada masa hidupnya masih dalam bentuk yang primitif dan membutuhkan waktu yang lama untuk menangkap gambar.

“sangat tidak masuk akal masa hidup Eyang Muhammad Besari sudah ada kamera yang begitu mudah digunakan oleh banyak orang,” kata Gus Nur (keturunan Kyai Muhammad Besari).

Beliau menambahkan bahwa kamera pada masa itu masih berukuran besar dan membutuhkan proses yang panjang untuk mengambil gambar.

Berdasarkan penelusuran dalam blog mung-pujanarko.blogspot.com, artikel berjudul “Wisata Ziarah Ke Makam Kyai Ngali muntoha Muhammad Besari, Nglames-madiun” mengungkapkan bahwa nama asli Kyai Ageng Muhammad Besari dari Nglames, Madiun adalah Kyai Ngali muntoha.

Artikel tersebut juga menampilkan foto yang sering digunakan sebagai ilustrasi Kyai Ageng Muhammad Besari dari Tegalsari, Ponorogo, yang sebenarnya adalah foto Kyai Ngali yang kemudian mendapat gelar Kyai Ageng Muhammad Besari dari gurunya.

Informasi yang sama diperkuat oleh artikel di blog wingit99.blogspot.com dengan judul “Kyai Ngali Muntoha Nglames Madiun.”

Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa Kyai Ageng Muhammad Besari dari Nglames, Madiun, memiliki ayah bernama Kyai Burhan dan foto yang beredar diambil oleh seorang administratur Pabrik Gula yang berlokasi tidak jauh dari Nglames, Madiun.

Kesalahan penggunaan foto ini bukan hanya menyebabkan kebingungan mengenai identitas tokoh sejarah, tetapi juga menggambarkan betapa pentingnya verifikasi informasi dalam penyajian sejarah.

Hal ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, khususnya bagi generasi muda, untuk selalu kritis dan teliti dalam menerima informasi, terutama yang berkaitan dengan warisan budaya dan sejarah.

Kasus ini juga menunjukkan pentingnya dokumentasi dan arsip sejarah yang akurat untuk memastikan bahwa ingatan kolektif kita tidak terdistorsi oleh kesalahan-kesalahan yang dapat dihindari.

Kemajuan teknologi dan akses informasi menyebabkan masyarakat berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengoreksi kesalahan masa lalu dan memastikan bahwa generasi mendatang memiliki gambaran yang lebih jelas dan akurat tentang sejarah mereka.

Dalam upaya memperbaiki kesalahan ini, diperlukan kerja sama antara para ahli sejarah, komunitas lokal, dan media untuk menyebarkan informasi yang benar dan mengedukasi publik.

Sejarah adalah warisan yang harus dijaga keasliannya, dan tanggung jawab itu ada di tangan kita semua.

Kasus penggunaan foto Kyai Ageng Ngali Muntoha sebagai Kyai Muhammad Besari adalah pengingat bagi kita bahwa sejarah hidup dan terus berkembang, dan tugas untuk memastikan bahwa narasi yang dibangun dan diwariskan kepada generasi berikutnya adalah narasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian, masyarakat dapat menghormati mereka yang telah memberikan sumbangsih kepada sejarah dan memastikan bahwa warisan mereka terjaga dengan baik.

Penulis : Sawir Wirastho (Dzurriyah Tegalsari)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *