Oleh: Dani Saputra
Aswaja News – Tak bisa dipungkiri bahwa ada di antara umat manusia yang mulai pesimis terhadap Islam, seperti salah persepsi tentang Islam, hingga banyak juga yang diam-diam merasa bahwa agama sebagai sumber masalah, awal persoalan, konflik, dan agama adalah problem itu sendiri.
Dengan mempelajari atau menitik beratkan Islam sebagai ‘kata kerja’, diharapkan bahwa agama justru akan menjadi solusi, petunjuk, penuntun, dan bekal. Dari pada Islam yang hanya diyakini sebagai doktrin tertutup (eksklusif). Lebih dari itu, agama juga dapat digunakan sebagai cara untuk membebasakan dari belenggu dunia; sosial, politik, ekonomi.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba menitik tekankan Islam sebagai studi dalam wilayah teologi yang terbuka atau beragama secara progresif. Tidak dapat disangsikan, bahwa agama yang penuh dengan emosi dan keyakinan di dalamnya, akan membuat orang (penganut) ‘rela mati’ berjuang untuk agamanya. Maka Islam progresif mengajak untuk merumuskan beragama yang mampu membebaskan masyarakat.
Teologi adalah keimanan yang mencoba untuk paham, artinya beriman yang tidak hanya pasif, tetapi ingin memahami tentang keimanannya. Dengan asumsi bahwa dengan berusaha memahami secara ‘benar’ akan membuat keimanan menjadi ‘lebih baik’.
Teologi juga pemahaman tentang iman yang coraknya adalah pembebasan. Berbeda dengan kebebasan yang hanya berbicara mengenai kondisi eksistensial yang sifatnya pasif, sebaliknya, pembebasan itu bersifat dinamis.
Dalam bukunya ‘Quran Liberation dan Pluralism’, Farid Esack mengatakan bahwa Islam adalah pembebasan berdasar agama dari struktur ide sosial, politik, dan religius yang didasarkan pada ketundukan yang tidak kritik dan pembebasan seluruh masyarakat dari semua bentuk ketidakadilan dan eksploitasi ras, gender, kelas dan agama.
Itulah sebenarnya tugas yang ‘dibebankan’ oleh manusia sebagai khalifah, yaitu melahirkan keadilan di muka bumi. Islam Progresif berpandangan bahwa sistem keyakinan yang benar (ortodoksi) bisa muncul melalui tindakan yang benar (ortopraksis). Ortopraksis sebenarnya adalah aktivitas yang mendukung keadilan sebagai praksis liberatif.
Iman tidak akan berguna tanpa amal sholeh, sebaliknya, amal sholeh tidak ada nilainya jika tidak dilandasi Iman. Keduanya saling berkaitan dan agama mendukung tindakan praksis untuk mewujudkan keadilan ini.
Realitas di mana kita hidup dicirikan oleh penindasan, kemiskinan, eksploitasi bumi dan manusia, perjuangan di antara kelas, dan oleh ketiadaan komitmen jenis apapun kepada Allah sebagai Sang Pemelihara.
Lebih dari dua pertiga umat manusia sengsara karena mereka berada di dasar sistem tempat kaum tak berdaya hidup. Maka betapa pentingnya menemukan sebuah pemahaman tentang Islam yang berhubungan dengan realitas ini.
Ada yang meyakini bahwa penindasan berada dalam wilayah takdir. Apabila penindasan adalah takdir, maka pembebasan juga merupakan takdir yang harus diterima. Dalam hal ini, Farid Esack menawarkan untuk merumuskan pemahaman agama yang mendukung pembebasan. Jalan pertama untuk mengubah pemahaman ini adalah cara kita dalam ‘membaca’ Al-Quran.
Tuhan bukanlah sebuah tema pokok ilmu pengetahuan, bukan sebuah obyek pembahasan, bukan sesuatu yang perlu dipahami, dibenarkan atau diungkapkan; melainkan sesuatu yang menggerakkan perbuatan dan membangkitkan aktivitas, tujuan sebuah orientasi dan puncak dari segala pengejawantahan.
Tuhan adalah kekuatan aktual pada diri manusia yang menyebabkan ia hidup, berperilaku, bertindak, mengindra, merasa, berimajinasi dan juga menerima berbagai stimulus. Tuhan adalah daya hidup yang mendorong manusia berbuat. Yakini keberadaan-Nya, hadirkan dalam hidup untuk menggerakkan diri pada perbuatan-perbuatan baik, bukan semata-mata menjadi konsep dalam kepala saja.
Membela Tuhan ‘sejatinya’ adalah membela diri kita sebagai manusia, membela hak-hak kita sebagai manusia, membela keadilan kita sebagai manusia, membela kemerdekaan kita sebagai manusia, membela nilai-nilai kehidupan kita sebagai manusia dan seterusnya. Oleh karena itu, membicarakan Tuhan seharusnya akrab dengan eksistensi manusia dengan segenap problematika kehidupan sosialnya.
Dengan demikian, untuk membenarkan dan menguji validitas aqidah bukanlah lewat pemikiran spekulatif tentang siapa Tuhan, melainkan melalui gerakan empiris, terutama dalam gerakan pembebasan (liberation movement) dari berbagai bentuk penindasan.
Pada dasarnya, dalam menjalani kehidupan, manusia sangat bergantung pada pola atau kerangka pikir yang kemudian disebut sebagai pandangan dunia atau world view. Pengetahuan ini pada akhirnya yang akan membentuk pandangan seseorang.
Totalitas terhadap pengetahuan adalah pandangan hidup sintetik, yaitu pandangan hidup religius (vertikal) dan humanistis (horisontal). Manusia sebagai makhluk yang progresif selalu mencari kesempurnaan dan sekaligus ini adalah sifat manusiawi.
Dasar dari religius humanistik adalah pandangan dunia tauhid. Tuhan adalah tujuan yang kepada-Nyalah seluruh eksistensis dan makhluk bergerak secara simultan, dan Dia jugalah yang menentukan tujuan dari alam semesta ini. Artinya, semua makhluk dan objek di alam semesta yang merupakan refleksi atas kebesaran Tuhan.
Pandangan dunia Tauhid menuntut manusia hanya takut pada satu kekuatan, yaitu kekuatan Tuhan, selain Dia adalah kekuatan yang tidak mutlhak alias palsu. Tauhid menjamin kebebasan manusia dan memuliakan hanya semata kepada-Nya.
Pandangan ini kemudian menggerakkan manusia untuk melawan segala kekuatan dominasi, belenggu, dan kenistaan manusia atas manusia. Tauhid memiliki esensi sebagai gagasan yang bekerja untuk keadilan, solidaritas, dan pembebasan.
Pada akhirnya, dari sekian banyak studi tentang Islam, hakikat epistemologi sebagai pijakan nilai; kebenaran, kebaikan dan keindahan, dengan melihat Islam Porgresif atau Teologi Pembebasan Islam sebagai sebuah mula dari tindakan umat Islam harusnya mendapat perhatian yang serius. Hingga kemudian menyoroti hal lain seperti persoalan ekonomi, politik dan ilmu-ilmu sains lainnya.***
One thought on “Ber-Islam Secara Progresif Ala Farid Esack: Eksistensial Pasif Menuju Pembebasan yang Bersifat Dinamis”