Oleh: Rosadi Jamani (Dosen UNU Kalbar)
Di mana-mana orang ngomongkan NU. Gara-gara Muhaimin Iskandar (Cakimin) dipasangkan Nasdem dan PKB ke Anies Baswedan. Wah, gerbong NU bersama Anies, pasti menang. Wah, NU yang dominan di Jatim bakal memilih Anies yang bukan NU. Wah, kiyai-kiyai NU dukung Anies, menang ni. Bahkan, akun yang dulu suka menyerang NU dan tokoh-tokohnya, sekarang berbalik memuji NU. NU seolah-olah jadi kunci kemenangan. Sangat jarang analis bahkan penonton politik di warkop menyebut Cakimin atau PKB. Hampir semua bicara NU nya. Benarkah NU jadi rebutan?
Saya mau mengingat memori lama, Pilpres 2004 lalu. Cukup lama ya. Saat itu ada tiga tokoh NU maju. Tak tanggung ada mantan Ketum PBNU ikut maju. Mereka adalah KH Hasyim Muzadi jadi cawapresnya Megawati Soekarno Poetri. Salahuddin Wahid adiknya Gusdur jadi cawapresnya Wiranto dan Hamzah Haz tokoh NU dari PPP, Wapres ketika itu jadi Capres berpasangan dengan cawapres Agum Gumelar. Siapa pemenangnya? Soesilo Bambang Yoedhoyono (SBY) – Jusuf Kalla, bukan NU. Kok, orang NU kalah. Tenang, SBY dan JK memang bukan NU struktural dan menang, karena ada PKB di dalamnya. Sentuhan PKB bersama partai pendukung lainnya ikut memenangkan SBY – JK. Ada NU-nya juga.
Berikutnya, periode kedua SBY, diikuti tiga pasang, yakni SBY-Boediono, JK-Wiranto, dan Megawati-Prabowo. Tak ada lagi tokoh NU lagi di sini ikut dipasangkan. Tapi, ada PKB yang ikut mendukung SBY-Boediono. Hasilnya, SBY menang di periode keduanya.
Masuk era Jokowi periode pertama dipasangkan dengan JK. Lawannya ketika itu Prabowo-Hatta. Tak ada tokoh NU, hanya ada PKB bersama Demokrat, dkk mendukung Jokowi. Hasilnya, dukungan PKB membuat Jokowi jadi presiden ke-7 RI. Periode kedua, Jokowi dipasangkan dengan KH Ma’ruf Amin, lawannya Prabowo-Sandiaga Uno. Barulah muncul tokoh NU KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres lagi. Itu pun usulan PKB di detik akhir pendaftaran ke KPU. Hasilnya, Jokowi menang lagi. Sentuhan PKB kembali menang. Sehingga menjadikan PKB setiap kali mendukung capres selalu menang. Ini menjadi bahan kampanye, PKB belum pernah kalah setiap usung Capres. PKB seperti selalu membawa hoki atau tuah. Karena, ada NU di belakangnya. Basis NU di Jatim dan Jateng jadi nilai tawar tinggi PKB. Wajar bila saat ini banyak pengamat pasangan Anies-Imin bakal menang. Apalagi gini analisisnya, Anies kuat di DKI, Jabar, dan Banten. Cakimin kuat di Jateng dan Jatim. Selesai, Amin menang. Tak perlu menghitung provinsi di luar Jawa. Cukup menang di Jawa, jadi presiden ni Anies.
Begitu ya, lanjut sambil ngopi. PKB adalah NU, namun NU belum tentu PKB. Karena, nahdliyin ada di semua parpol. PBNU juga menyatakan, tak ada Capres dan Cawapres atas nama NU. Maksudnya, tak ada dukungan resmi NU ke capres atau cawapres mana pun. Warga NU diberikan kemerdekaan memilih calonnya masing-masing. PBNU netral, tak terkait dengan politik praktis. Di balik ucapan normatif itu, publik tahu ada ketidakharmonisan antara PBNU dengan PKB. Masih ingat ndak ucapan Gus Yahya, “PKB sakarepmu.” Ada lagi ucapan petinggi PBNU mengatakan, siapapun yang menjadikan Cakimin cawapres akan kalah. Ucapan virak di medsos. Ucapan ini membuktikan ketidakharmonisan PBNU dengan PKB.
Perlu diketahui, di dalam tubuh NU ada banyak Badan Otonom (Banom). Dari banyaknya banom, ada dua banom yang memiliki basis massa sangat kuat dan solid, yakni Muslimat dan Ansor. Muslimat dipimpin Khofifah Indar Parawangsa yang sekarang Gubernur Jatim. Terpilihnya Khofifah jadi Gubernur karena diusung Demokrat. Ia lebih dekat ke Demokrat ketimbang PKB yang justru jadi rivalnya di Pilgub Jatim. Secara politik, Khofifah berat dukung capres yang diusung PKB.
Berikutnya Ansor lewat Bansernya, dalam beberapa bulan terakhir mengelukan Erick Thohir. Apalagi, Menteri BUMN ini anggota resmi Banser. Di dalam Ketum PSSI mengalir darah Ansor, ya NU juga. Sementara itu, Erick paling dijagokan berpasangan dengan Prabowo atau Ganjar. PAN paling getol menjajakan bos Erick ini. PAN sendiri sekarang di kubu Prabowo setelah ada tanda-tanda PDIP tak mau Erick. Besar kemungkinan bos tajir melintir ini cawapresnya Prabowo. Di luar juga gitu, ramai prediksi Erick dampingi Prabowo. Kalau benar terjadi, ada NU juga di kubu Prabowo.
Berikutnya yang tak kalah santer, Mahfud MD. Santer berpasangan dengan Ganjar. Menko Hukum ini juga nahdliyin. Cuma, bukan NU struktural. Darahnya NU karena dibesarkan di ponpes NU. Dia adalah NU yang HMI. Apalagi PBNU sekarang lebih didominasi HMI ketimbang PMII. Kalau Cakimin, NU yang PMII. Apabila Ganjar memilih Mahfud, satu lagi kader NU jadi cawapres. Jadi, apabila komposisi capres dan cawapres seperti itu, tiga-tiganya ada kader NU. Bakal terjadi persaingan sesama kader NU. Suara NU dipastikan pecah. Mirip Pemilu 2004 lalu.
Satu lagi ya, mumpung ingat. NU itu tak hanya di PKB, justru di PPP dihuni nahdliyin juga. Basis kuatnya juga di Jatim dan Jateng. Partai berlogo Ka’bah ini resmi usung Ganjar bersama PDIP. Ada Sandiaga Uno yang sekarang jadi Ketua Bapilu PPP. Menteri Pariwisata yang paling tajir ini bisa memobilisasi NU untuk mendukung Ganjar.
Siapa yang menang? Ehem, seruput kopi lagi wak. Tenangkan pikiran.
Itu apabila Pilpres kali ini tiga pasang. Akan berbeda apabila dua pasang. Apalagi nanti Pilpred dua putaran. Komposisi bisa berubah sewaktu-waktu. Ada yang berusaha menjegal, ada juga berusaha memecah suara, tarik-menarik kepentingan, dan sebagainya. Saran saya, jangan dulu memberi penilaian pada bacapres maupun bacawapres, takutnya berubah lagi. Cukup tonton dan saksikan drama jelang pendaftaran ke KPU. Sebulan lebih ke depan akan banyak kejutan politik.