Rosadi Jamani (Ketua Satupena Kalbar)
Terlebih dahulu saya ucapkan Dirgahayu RI ke-78. Hari ini, 17 Agustus seluruh rakyat Indonesia larut dalam peringatan Hari Kemerdekaan. Hari menandakan RI terbebas dari penjajah, kolonialisme. Bebas merdeka. Kata merdeka menjadi keyword paling trending hari ini.
Sambil duduk di warkop, ditemani secangkir kopi, saya nak membahas pidato Jokowi di gedung MPR, kemarin. Bukan soal kenaikan gaji PNS 8 persen dan pensiunan 12 persen ya. Bukan. Ini soal curhatan beliau yang sering dapat hinaan di ruang publik. Saya cuplik ucapannya.
“Ada yang mengatakan saya bodoh, plonga-plongo, tidak tahu apa-apa, Fir’aun, tolol. Ya..ndak apa-apa, secara pribadi saya menerima saja. Tapi, yang membuat saya sedih, budaya santun dan budaya budi pekerti luhur bangsa ini kok kelihatannya menghilang?”
Seorang sekelas presiden diumpat dengan kata hinaan, dibilang tak apa-apa. Kalau di daerah saya, esok udah diciduk polisi. Esok rumahnya sudah digrebek ormas. Ini presiden kok santui.
Ada dua hal menurut saya penting dari ucapan Pakde itu. Ia menegaskan, ya wes monggo disumpahi apapun. Asal jangan ganggu kerjanya. Ucapan itu juga menegaskan, tak masalah dihina, risiko pemimpin. Namanya pemimpin di negara demokrasi, siap dihina, dimaki, difitnah. Jangan hanya mau dipuji saja. Kalau tak siap soal ini, jangan jadi presiden atau kepala daerah. So, bersikap biasa saja, tak perdulikan. Sing penting kerjo, kerjo, kerjo. Cuma, baru presiden seperti ini yang siap dihina siang malam. Yang lain sepertinya belum khatam jadi pemimpin.
Point kedua, tak baik juga membiasakan diri dihina, dimaki, apalagi difitnah, lalu dibiarkan begitu saja. Seolah-olah “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”. Tak baik juga. Kalau kritikan, okelah dimaklumi. Tapi, kalau sudah cacian, makian, umpatan yang merendahkan harkat martabat, tak boleh dibiarkan. “Emak yang melahirkan saya saja tak pernah mengatain banjingan. Ini orang songong bangat, ngatain saya bajingan!” Itu ungkapan marah seseorang bila dihina. Nyawa bisa melayang, masuk rumah sakit, atau masuk penjara. Itu endingnya bila harkat martabat direndahkan.
Jadi, harus ada pembelajaran bagi yang lain. Tak boleh seorang pemimpin dihina-dina di ruang publik. Kewibawaannya bisa hilang. Masa’ presiden, gubernur, bupati, walikota jadi bahan tertawaan setiap hari. Nanti malah dianggap pelawak, kan kasihan. Orang kalau sudah berani menghina, harus siap bertanggung jawab. Menghina macam orang bebas merdeka, giliran diciduk polisi, merengek manggil maknya. Giliran dipersekusi sampai bonyok, lalu nyalahkan ormas pula. Orang tak akan marah bila tidak diusik. Ini hukum alam dari zaman purba dulu hehehe.
Cuma, kalau Jokowi melaporkan semua pembencinya ke polisi, bisa penuh penjara. Dikumpulkan satu pulau dan dinamai, narapidana pembenci Jokowi, hehehe.
Saya rasa itu point pentingnya dari curhatan Presiden. Tak baik juga selalu membiasakan diri dihina. Kasihan pemimpin kok jadi bahan hinaan, dan dianggap lumrah lagi. Atau untuk pembenci, selalu menggunakan argumentasi, wajar dihina, dicaci maki, wong suka menyakiti, menzalimi rakyat kok. Bila semua dianggap wajar, saya pun angkat tangan. Nyerah.
Suami Iriana itu juga menyinggung soal budaya santun dan budi pekerti luhur. Dari SD diajarkan oleh guru bahwa rakyat Indonesia memiliki santun, berbudi pekerti luhur. Apakah masih ada itu sampai Jokowi merasa sedih? Antara ada dan tiada sih. Dikatakan ada, ya memang masih banyak menjunjung tinggi kesantunan dan adab. Ente lihat bagaimana santunya santri dengan kiyainya. Cium tangan, membungkuk kalau lewat, dilarang keras berkata kasar. Bisa kualat bila dilakukan. Anak pada orang tuanya. Kepala dinas dengan bupati. Menteri sama presiden. Antar kepala lembaga pemerintah, dsb. Masih menjaga kesantunan dan tatakrama berbangsa dan bernegara. Yang tidak ada, mereka yang dihatinya hilang sifat sabar, keikhlasan, dan kerelaan. Mereka yang selalu melihat orang dari sisi negatifnya. Tidak ada benarnya orang lain. Hanya dia paling benar dunia dan akhirat. Punya sifat iri dan dengki. Senang lihat orang susah. Orang lain kaya, diirikan, padahal sejatinya pemalas. Orang sukses jadi ketua komisi, dibilang pakai lobi tingkat dewa. Orang terpilih jadi dewan, dibilang money politic. Orang suka ngajak ibadah, dibilang riya’ Orang dapat juara dibilang nyogok wasit. Jagoannya kalah Pilpres, KPU curang. Pokoknya, tidak ada yang benar, semua salah, kecuali dia dan kelompoknya saja paling benar. Orang macam inilah yang tidak lagi menjujung kesantunan, sehingga segala hinaan dan makian di ruang publik dianggap wajar.
Mumpung di Hari Kemerdekaan ini, kita memang sudah bebas merdeka. Bebas bekerja apa saja, bebas menuntut ilmu, bebas berpendapat, bebas mengkritik, bebas beragama, bebas berserikat, semua bebas. Asal jangan bebas menghina, menghujat, mengumpat orang di ruang publik. Merdeka…!