Oleh: Rosadi Jamani (Dosen UNU Kalbar)
Agak-agak takut nulis soal suap di Basarnas. Publik tahu KPK baru saja menetapkan tersangka Kepala Basarnas Marsekal Madya HA dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letnan Kolonel ABC. Tidak berdua saja melainkan ada pihak lain juga jadi tersangka dalam aksi OTT KPK. Awalnya, biasa saja. Sayapun sempat mencibir, “Ah…KPK mainannya tak asyik.” Maksudnya, yang digarap yang kecil-kecil, bukan nilai korupsi yang triliunan. Saya pun melewatkan OTT itu. Publik pun sama, ah sudah biasa. Belakangan, kasus ini mencuat dan membesar. Ternyata yang ditetapkan KPK itu bukan orang sipil, melainkan personel TNI. Mana jenderal lagi. Yang nangkap personel polisi lagi. KPK pun digeruduk Danpuspom TNI beserta sejumlah tentara lainnya. Mereka berpakaian loreng satroni kantor KPK yang super megah itu.
Hasilnya, KPK minta maaf dan menyatakan khilaf. Personel TNI terlibat korupsi, bukan KPK yang handle, melainkan Mahkamah Militer. Orang sipil, barulah bagian KPK yang garap. Saya mau bahas soal khilaf KPK itu. Tak mau bahas yang lain, takut juga didatangi pasukan. Maklum tak ada backingan.
Seumur-umur baru kali ini ada lembaga penegak hukum menyatakan khilaf. Kata khilaf biasa meluncur dari mulut penjahat. Misal, ayah memperkosa anak. “Maaf, saya khilaf!” Biasanya begitu. Ada Kepsek melarikan uang koperasi sekolah, lalu di depan media ia bilang khilaf. Tandanya, sudah tahu itu salah, malah dilakukan, lalu ketangkap. Khilaf. Tandanya, ia mengakui kesalahannya. KPK khilaf, tandanya lembaga super body itu mengaku salah. Bagus sih ngaku salah, cuma jadi gimana ya, pamor KPK yang memang turun, makin anjlok.
Buntut KPK khilaf itu, Dirdik Brigjen Asep Guntur menyatakan mundur. Saya tak tahu suasana batin internal KPK. Persoalan ini sedikit banyak mengusik ketenangan lembaga pimpinan Firli Bahuri. Apalagi di tengah kasus ini memanas, Firli malah asyik main badminton di Sulawesi. Seolah-olah lepas tangan.
KPK bukan lagi heboh cerita menangkapi koruptor, malah disibukkan dengan persoalan internalnya. Dulu ada istilah cicak vs buaya jilid satu sampai jilid dua. KPK membangunkan harimau di tubuh Polri. Kali ini, KPK mengusik TNI. Untungnya, KPK cepat mengeluarkan kata pamungkas, “Khilaf”
Apakah KPK tak tahu persoalan hukum ini? Atau sengaja mengabaikan bahwa ada hukum tersendiri terkait TNI. Disangkanya personel TNI sama dengan sipil.
KPK seperti tiada henti dihantam badai. Di satu sisi, publik ingin KPK tak pandang bulu. Siapapun dia, mau presiden, menteri, Kejagung, Kapolri, Ketua MA, Ketua DPR, Ketua MPR sekalipun bila sudah cukup dua alat bukti, tangkap. Jangan koruptor nun jauh di sana ditangkapi, yang di depan mata malah blur. Di sisi lain, KPK heboh persoalan internalnya. Apalagi fakta hari ini, korupsi bukannya menurun, malah merajalela di semua sektor. Sampai muncul kegeraman Fahri Hamzah, untuk apa KPK kalau korupsi masih tinggi. Bubarkan saja. Lalu, ada menanggapi, ada KPK saja korupsi tinggi, apalagi tidak ada. Persoalannya memang ada di internal KPK itu sendiri.
Dulu KPK paling disayang publik. Sekarang, gimana ya. Saat KPK nangkap koruptor, ah biasa. Sebagai warga biasa, ayo KPK kembalikan pamormu macam dulu lagi. Berani dan tidak gentar oleh buaya jenis apapun. Buktikan, korupsi bisa diberantas.#camanewak