Malaysia Mencontoh Indonesia?

Oleh: Rosadi Jamani (Dosen UNU Kalbar)

Kali ini mau nge-ghibah-in negeri jiran, Malaysia. Boleh ya…! Semoga tidak berdosa. Prof. Emeritus Datuk Dr. Teo Kok Seong, ahli Etnolinguistik, Antropologi Linguistik, Fenomena Peranakan, Pembinaan Negara Bangsa, Perpaduan dan Integrasi Nasional Malaysia mengeluh soal negaranya sendiri. Di sebuah podcast, Prof Teo mengeluh lihat kondisi negaranya perbedaan antarpuak atau warga semakin melebar. Bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan hanya untuk orang Melayu. Sementara warga keturunan Cina dan India malah tak bisa Bahasa Melayu. Ia justru sering menyebut Indonesia. Di mana seluruh warga negaranya fasih berbahasa Indonesia. Mau warga keturunan apapun, mau suku apapun pasti fasih Bahasa Indonesia. Tidak ada istilah sekolah Cina, apalagi India. Semua bermerk Indonesia. Negara kita ini sering disebut dan mau dijadikan model.

Masih menurut Prof Teo. Kenapa Malaysia begini, dan kenapa Indonesia begitu. Karena beda dalam pendekatan. Indonesia menggunakan pendekatan asimilasi. Sementara Malaysia, integrasi. Dengan asimilasi, lho keturunan manapun wajib fasih berbahasa Indonesia. Dari SD sampai kuliah, mata pelajaran Bahasa Indonesia tetap diajarkan. Bahkan, kata Prof Teo, nama pun wajib bercirikan Indonesia. Contoh, Ahok. Nama Indonesianya Basuki Tjahaya Purnama. Mau berkunjung ke daerah manapun dengan Bahasa Indonesia, pasti ngerti. Inilah contoh asimilasi.

Sementara integrasi, tidak mengubah asal usul, hanya perpaduan saja. Orang Cina tidak dipaksa berbahasa Melayu. Orang India juga demikian. Bahkan, boleh mendirikan sekolah berdasarkan kaumnya. Sekolah Cina, di dalamnya semua berbahasa mandarin dan aksaranya. Jangan heran, banyak orang Malaysia etnis Cina justru tak bisa bahasa kebangsaannya. Begitu juga keturunan India. Paling menyedihkan, malah tak bisa menyanyikan Lagu Kebangsaannya sendiri yang berbahasa Melayu.

Itu sedikit kesedihan Prof Teo pada negerinya sendiri. Indonesia malah dijadikan model agar Malaysia bisa kuat juga. Benarkah demikian?

Makasih ya Prof Teo banyak memuji negara kami. Dalam hal berbahasa memang di negara kami seperti itu. Muke cine, tapi tak bisa Bahasa Cina (Mandarin). Muke cine, tetap fasih Bahasa Merah Putih dan tetap terpelihara dialek kek, hoklo, hokian-nya. Itu sangat banyak. Bahkan, Bahasa Indonesianya medok ke-Jawa-jawa-an pun banyak. Orang Papua fasih Bahasa Indonesia dengan tetap tak meninggalkan bahasa lokalnya. Semua bisa fasih Bahasa Indonesia. Setuju.

Tidak dengan Malaysia. Ketika orang Melayu berkomunikasi dengan etnis Cina dan India, bukan bahasa kebangsaannya yang dipakai, tapi Bahasa Inggris. Wajar bila ada mengatakan, Inggris sukses meng-Inggris-kan Malaysia. Sementara Indonesia, Belanda gagal mem-belanda-kan Indonesia. Cek saja, ada ndak orang kita bisa Belanda. Kalaupun ada hanya segelintir. Sementara di negeri jiran, English sudah jadi bahasa keseharian mereka terutama di kalangan elit atau kaum terpelajarnya.

Sebuah cerita, ada mahasiswa Korea belajar bahasa Melayu di kampusnya. Dua tahun belajar, ingin praktik langsung ke Malaysia. Selama di Malaysia, warganya malah suka ngajak berbahasa Inggris. Kadang banyak tidak ngerti saat ia berbahasa Melayu. Agak aneh katanya.

Justru banyak bocil Malaysia lebih senang berbahasa Indonesia. Penyebabnya, pengaruh youtube dan Tiktok yang didominasi orang Indonesia. Belum lagi pengaruh lagu Indonesia, lebih populer di negeri jiran. Ada artis Malaysia iri dengan artis kita. Tiap ada konser musik di KL menghadirkan band top Indonesia seperti Dewa 19, Noah, pasti dipadati pengunjung.

Dengan kondisi itu, Malaysia malah berambisi ingin menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa reami ASEAN. Tapi, ditolak Indonesia. Alasannya, penutur bahasa Melayu lebih sedikit dibandingkan Indonesia. Bahasa Indonesia justru diajukan sebagai bahasa resmi PBB yang ketujuh setelah Bahasa Inggris, Spanyol, Perancis, Arab, Mandarin, dan Rusia. Indonesia malah menggandeng Malaysia untuk menjadikan Bahasa Indonesia bahasa dunia. Ditarget 2045, Bahasa Indonesia diterima sebagai bahasa resmi ketujuh di PBB. Mudahan diterima.

Bahasa Indonesia tak sekadar dituturkan tetapi sudah menjadi pemersatu. Etnis apapun di negeri ini pasti bisa dan ngerti Bahasa Indonesia. Malah banyak negara menjadikan Bahasa Indonesia sebagai program studi di kampus. Untuk bagian ini, kita patut bangga menjadi bagian dari negeri ini. Malaysia saja mau meneladani negeri kita, masa’ lho terus merendahkan negeri sendiri. Teruslah merasa bangga pada negara sendiri. Memang ada kekurangan dan ketertinggalan, bukan berarti tidak ada kemajuan. Dengan bangga menjadi Indonesia, negara ini semakin kuat, susah diadudomba. NKRI harga mati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *