Aswaja News – Menyongsong bulan Muharam atau bulan satu Suro, banyak masyarakat di berbagai daerah yang menyambutnya dengan berbagai macam tradisi. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh masyarakat Ponorogo yaitu dengan kegiatan Grebeg Suro.
Khususnya bagi umat Islam, bulan Muharram merupakan awal tahun dalam kalender hijriah, selain itu bulan Muharram adalah salah satu dari empat bulan haram dalam Islam, bersama dengan Rajab, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah, yang artinya dalam bulan Muharram, umat Muslim dianjurkan untuk menjauhi tindakan yang diharamkan, meningkatkan amal kebaikan, dan memperbanyak ibadah.
Menurut wikipedia, sejarah diadakannya Grebeg Suro di Kabupaten Ponorogo adalah adanya kebiasaan masyarakat terutama kalangan warok pada malam 1 Suro yang mengadakan tirakatan semalam suntuk dengan mengelilingi kota dan berhenti di alun-alun Ponorogo. Pada tahun 1987, Bupati Soebarkah Poetro Hadiwirjo melihat fenomena ini dan melahirkan gagasan kreatif untuk mewadahi kegiatan mereka dengan kegiatan yang mengarah pada pelestarian budaya. Sebab ditengarainya minat para pemuda terhadap kesenian khas Ponorogo mulai luntur, untuk itu diadakanlah Grebeg Suro dan memasukkan Reog di dalamnya. Seni dan tradisi yang ditampilkan meliputi Festival Reog Mini, Festival Nasional Reog Ponorogo, Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka, dan Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel.
Grebeg Suro adalah tradisi kebudayaan masyarakat Ponorogo yang berbentuk pesta rakyat. Seni dan tradisi yang ditampilkan meliputi Festival Reog Nasional, Pawai Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka, serta Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel.
Tradisi Grebeg Suro merupakan salah satu perayaan yang paling ditunggu oleh masyarakat Ponorogo dan juga para turis yang ingin belajar mengenai kebudayaan di Ponorogo. Tradisi ini mendapat apresiasi yang tinggi dari seluruh kalangan di kota Ponorogo, karena memiliki banyak nilai kearifan lokal didalamnya.
Tentunya banyak nilai-nilai luhur yang ada didalamnya sehingga dipertahankan sampai saat ini oleh masyarakat Ponorogo. Nilai-nilai luhur tersebut tampak pada gerak-gerik simbol sikap tindak tanduk yang ada ketika seni dan tradisi tersebut dipertunjukkan. Nilai luhur ini tentunya berbeda dengan daerah lain karena seni dan tradisi yang ditampilkan berbeda pula.
Dikutip dari jurnal “Simbolisme Grebeg Surodi Kabupaten Ponorogo” oleh Muhammad Hanif Zulianti, Grebeg Suro mengandung nilai-nilai religius dan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai religius dalam tradisi Grebeg Suro yaitu dengan mengadakan simaan Al-Qur’an dan istigotsah yang diikuti ribuan tokoh dan masyarakat. Nuansa budaya juga mewarnai pembukaan Grebeg Suro, yaitu dengan diadakannya tari Reyog massal yang diadaka di alon-alon Ponorogo, digelar kirab pusaka yaitu pusaka yang merupakan duplikat dari pusaka Kerajaan Majapahit yaitu Payung Songsong Tunggul Naga, Tombak Pusaka Kyai Wuluh Sanggar dan Cinde Puspito yang dikirab dari makam Batoro Katong sampai ke pendopo Pemerintah Kabupaten (dari kota lama ke kota baru), pemilihan duta wisata, kakang senduk, acara Larung Risalah dan do’a. Prosesi tersebut menarik, tidak hanya dalam format fisiknya, tapi juga nilai-nilai yang terkandung didalamnya. (DAF)