Oleh: Rosadi Jamani (Pegiat Media Sosial, Dosen UNU Kalbar)
Tanya google saja! Cukup ketik kata kunci, keluar yang mau dicari. Ketika apa yang dicari muncul, Anda bahagia. Sepertinya itu dulu ya. Zaman terus berubah. Sekarang, tak perlu ketik kata kunci, apa yang ada cari, datang sendiri. Apa Anda ingin tonton, ada di depan mata. Anda pun scroll ke bawah tiada henti. Tak terasa puluhan video dengan waktu lama sudah Anda tonton tanpa perlu kata kunci. Anda bahagia. Begitu setiap hari, bahkan malam hari pun begitu. Tanpa disadari, Anda kencanduan. Itulah Tiktok guys. Kehadirannya benar-benar menjadi candu dunia. Amerika takut benar sama Tiktok. Eropa juga begitu. Tapi, Indonesia, anteng-anteng saja, karena sudah nyandu.
Janganlah ngomong Tiktok, Bang! Ana kan pengguna Tiktok. Banyak follower ni.
Saya sih tahu, ente tu dari bangun tidur sampai mau tidur, Tiktokan terus. Sampai pesan WA saya hanya dibaca, tapi tak dibalas. Kadang ngeselin juga, minta Surya jalan terus.
Maaf ya, Bang. Cuma, nonton Tiktok kenapa ya kok macam ketagihan terus ya?
Nah, itu yang mau saya bahas. Di atas sudah saya kasih sedikit pengantar. Tiktok dengan video hanya 15 detik telah menghadirkan apa yang ada senangi. Tak perlu dicari, sudah ada begitu Anda buka. Apa yang ingin diketahui, muncul begitu saja. Misal, mau cari video Timnas vs Argentina, muncul begitu saja di beranda. Mau cari berita soal Anies yang infonya sudah menetapkan Cawapres, tiba-tiba muncul. Mau upadate perang Rusia vs Ukraina, muncul begitu saja. Seolah-olah apa yang Anda ingin tahu, Tiktok hadirkan. Tak perlu dicari, Tiktok sediakan infonya. Tak macam google, harus dicari dulu. Seolah-olah Tiktok sudah membaca pikiran Anda. Tiktok pun menghadirkan kebahagiaan. Asyik nonton Tiktok, kebahagiaan muncul, padahal tidak sesuai realitas. Durasi 15 detik bisa menghanyutkan, terbuai, sehingga lupa realitas sebenarnya.
Apa akibatnya? Kecanduan Tiktok, terutama kaum pelajar, membuatnya susah berpikir. Karena terbiasa 15 detik, ketika disuruh membaca satu buku, dengan waktu lama, ia menjadi malas. Terbiasa 15 detik, disuruh ngerjakan PR, lebih banyak nontonnya ketimbang selesaikan PR nya. Walaupun perlu riset soal ini, faktanya banyak seperti itu.
Berarti Tiktok membuat orang malas mikir. Begitu ya, Bang? Arahnya ke sana. Apa yang dipikirkan, wong sudah disiapkan Tiktok. Dengan Tiktok, Anda merasa nyaman walaupun realitasnya banyak masalah. Wajar apabila, aplikasi asal Cina merajai dunia. Facebook yang dulunya jaya, bahkan sempat meremehkan Tiktok, semakin tergusur. Begitu juga youtube, dulu orang banyak kaya, sekarang rata-rata youtuber besar, pendapatannya turun drastis. Subsciber jutaan, yang nonton hanya puluhan ribu. Tak ngimbang. Terlihat hebat banyak subscibe, tapi nyatanya penghasilan kecil. Justru banyak youtuber beralih ke Tiktok. Contoh, Baim Wong, di rumah besarnya itu, full nge-Tiktok Live di dalamnya.
Dulu, banyak orang baca kitab sucinya. Sekarang, Tiktoklah yang ramai dibaca statusnya. Peran Tiktok benar-benar membuat penggunanya kecanduan. Karl Marx pernah mengatakan agama adalah candu. Era digital sekarang, Tiktoklah yang jadi candu.
Abang ni, suka-suka nakut-nakutin aja? Bukan nakutin, cuma ngingatkan. Jangan waktu dihabiskan asyik nonton Tiktok. Itu pesan utamanya. Dikhawatirkan, akibat kecanduan, Anda menjadi malas, malas berpikir, dan malas bekerja. Disuruh cepat, malah suka lambat. Karena, nonton dulu.
Tapi, abangkan Tiktoker juga? Benar. Cuma, sekadarnya saja. Takkan lah antiTiktok, sama halnya antikemajuan zaman. Tiktok produk kemajuan zaman. Mau ditolak bagaimanapun, ia tetap hadir. Macam AS itu yang ingin nolak Tiktok, tapi faktanya warga AS lah pengguna Tiktok terbanyak di dunia. Nonton seperlunya saja di saat waktu senggang. Utamanya tetap menulis seperti tulisan yang kalian baca ini. Habis nulis atau baca, tak ada ada salahnya nonton Tiktok lagi.