Aswaja News – Masjid berbentuk limas di Desa Majan, Tulungagung itu menjadi saksi sejarah bahwa Islam disebarkan dengan damai di Tulungagung. Bentuk bangunan awal masjid ini adalah serambinya, tidak ada dinding yang mengelilingi. Gerbang masjid terbuat dari batu-bata merah yang disusun hingga berbentuk pintu masuk khas Kesultanan Mataram.
Pendiri desa ini adalah Raden KH Khasan Mimbar, yang masih terhitung sebagai keluarga Kesultanan Mataram Islam saat dipimpin oleh Sri Susuhunan Pakubuwono II di Kartasura. Pada tahun 1727 M ia diberi tugas oleh Raja Mataram melalui Bupati Ngrowo I (cikal bakal Tulungagung) Adipati Kiai Ngabehi Mangundirono untuk berdakwah sekaligus melaksanakan urusan pernikahan secara islam.
Perdikan Majan saat itu diberikan kebebasan untuk tidak membayar pajak kepada Hindia Belanda karena masih punya jejak historis dengan Mataram. Pada abad ke 16-17 M, penduduk Kadipaten Ngrowo memang sudah banyak yang memeluk agama Islam. Namun tradisi dan tata cara beribadah mereka masih campur aduk dengan tradisi agama Hindu. Terutama dalam keseharian adat-istiadat seperti tradisi sesajen, penghormatan terhadap arwah, pernikahan adat, dan upacara-upacara adat lainnya.
Karena hal itulah, sangat susah memisahkan asal tradisi antara ajaran Islam dengan ajaran Hindu. Di sini peran Raden KH Khasan Mimbar memasukkan unsur Islam dalam setiap keseharian masyarakat Kadipaten Ngrowo sebagai langkah dakwah untuk memisahkan mana ajaran Islam dan meninggalkan ajaran yang tidak sesuai syariat. Sekaligus syiar agama Islam melalui kajian kitab dan Al-Qur’an.
Jika ditelusuri secara silsilah keturunan, Raden KH Khasan Mimbar adalah putra Kiai Ageng Wiroyudo bin Raden Tumenggung Sontoyudo II bin Raden Tumenggung Sontoyudo I bin Raden Mas Ayu Sigit bin Kanjeng Ratu Mas Sekar bin Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senapati-ing-Ngalaga Mataram (Sultan ke-II Kesultanan Mataram) bin Panembahan Senopati alias Danang Sutwijoyo, alias Raden Ngabehi Loring Pasar (Sultan ke-I Kesultanan Mataram)
Bukti kuat jika Tanah Perdikan Majan punya posisi penting di pemerintahan Kadipaten Ngrowo, yaitu beberapa Bupati Ngrowo dimakamkan di sini. Di antaranya adalah R.M.T. Pringgodiningrat (Bupati keempat), R.M.T. Djajadiningrat (Bupati kelima), R.M.T. Pringgokoesomo (Bupati kesepuluh), dan Kanjeng Pangeran Haryo Kusumo Yudho (Patih ke-III Kesultanan Yogyakarta), dan makam keluarga lainnya yang masih terhitung kerabat kerajaan.
Sebagai pendakwah, ajaran utama Raden KH Khasan Mimbar kepada murid-muridnya adalah tauhid yakni dzikir lailaha illallah. Bagaimana sikap seorang hamba kepada tuhannya bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran tauhid melalui dzikir ini masih sering dilantunkan jamaah di Masjid Al-Mimbar hingga sekarang.
Sebagaimana halnya ulama Nusantara lainnya yang mempunyai Pondok Pesantren untuk mempermudah dakwah ke murid-muridnya, Komplek Masjid Al-Mimbar juga terdapat Pondok Nggrenjol. Di Pondok inilah, para keturunan Raden KH Khasan Mimbar dahulu berdakwah dan tempat para santri untuk menimba ilmu. Namun sayang di pondok ini belum ada lagi santri mukim karena keterbatasan dana untuk pengembangannya.
Tugas menyebarkan agama Islam ini kemudian dilanjutkan oleh keturunan Raden KH Khasan Mimbar setelah wafat hingga Tanah Perdikan Majan diambil alih pemerintah Indonesia pada tahun 1979. Adapun proses dakwah Islam masih tetap berlanjut sampai saat ini di Masjid Al-Mimbar dengan imam utamanya Raden KH Moh. Yasin. (Bagus Rosyid) (Nda)