Aswaja News – Di antara tradisi pesantren yang sangat kental adalah mendidik santri agar rajin ngaji dan memiliki akhlaqul karimah. Sebab ketekunan ngaji tanpa diimbangi tingkah laku (haliyah) yang terpuji, hanya akan membuahkan kesombongan hati.
Pentingnya pendidikan akhlaq menjadi prioritas utama dalam pesantren, bahkan tidak jarang para kiai dulu mencarikan pesantren untuk anak-anaknya yang diasuh oleh kiai yang alim, tawaduk, ikhlas dan sabar
Abah Thoyib Krian adalah, sosok ulama yang dikenal ahli riyadhoh, tirakat dan suka mendidik santri-santrinya dengan tirakat, rekoso. Misalkan, para santri Sumengko diajak puasa sunnah daud, shalat dhuha puluhan rakaat, juga tahajud.
Ada satu kisah dimana Abah Thoyib memondokkan putrinya ke daerah Rangkah Surabaya, tepatnya di pesantren yang diasuh KH. Abdul Ghani, ayah dari KH. Miftachul Akhyar. Di pesantren Rangkah, Abah Thoyib disambut hangat oleh KH. Abdul Ghani. Kedua ulama ini adalah kawan akrab yang saling menyayangi dan menghormati meskipun memiliki karakter yang berbeda dalam mendidik santri.
Seperti yang diketahui, KH. Abdul Ghani adalah kiai yang dikenal penyabar, tawaduk, ikhlas dan menghormati tamu sehingga beliau sangat dikagumi dan dihormati oleh ulama lain. Tak heran jika banyak yang tertarik memondokkan putra-putrinya agar mendapatkan tarbiyah langsung dari beliau. Salah satunya adalah Abah Thoyib yang menginginkan anaknya mondok di Rangkah. KH. Abdul Ghani melihat bahwa yang dipondokkan adalah anak sahabatnya, beliau pun berinisiatif menempatkannya di kamar yang memiliki fasilitas lengkap seperti kasur, bantal, guling telah disediakan untuk putri Abah Thoyib agar kerasan di pondok. Tentu hal ini tanpa sepengetahuan Abah Thoyib. Selang beberapa waktu, Abah Thoyib pun mengunjungi (sambang) putrinya ke Rangkah tanpa memberitahu KH. Abdul Ghani terlebih dahulu akan kedatangannya. Beliau menanyakan letak kamar putrinya.
Kemudian Abah Thoyib langsung menuju kamar tersebut dan mendapati fasilitas kamar yang serba lengkap tersebut. Tiba-tiba Abah Thoyib berkata:“Walah, mondok koq onok bantal, kasur, iki jenenge gak mondok, ayo moleh”Putrinya langsung diajak menghadap KH. Abdul Ghani untuk kemudian diajak boyong. Sebab dalam prinsip Abah Thoyib, mondok yang difasilitasi lengkap itu kurang tepat baginya. KH. Abdul Ghani hanya tersenyum menyikapi hal tersebut. Abah Thoyib yang dikenal dengan prinsip sabar, neriman, loman, temen, akas, ngalah itu merasa bahwa mondok itu harus mengenal rekoso (sulit), tirakat, bukan malah tersedianya fasilitas lengkap. Prinsip mondok yang dipegang erat Abah Thoyib ini telah menjadi laku kesehariannya dalam mengajarkan arti tirakat, rekoso di hadapan putra-putri dan santrinya.
Dalam pandangan Abah Thoyib sendiri yang notabene pelaku hukuman tasawuf, mondok itu bukan hanya belajar soal teks, akan tetapi juga belajar menata laku hidup; bukan hanya mengerti dalil kesunnahan puasa senin, akan tetapi juga harus menjalani puasa sunnah pada hari senin; bukan hanya belajar dalil kesunnahan shalat tahajud, namun juga harus belajar bagaimana tekun istiqomah melaksanakan shalat tahajud; bukan hanya belajar definisi sabar, akan tetapi juga harus menjalani proses sabar.(Nda)