Oleh Ayik Herjansyah
Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jabar – Lulusan Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia
Keberadaan dan agresi Israel ke wilayah-wilayah Arab memicu gerakan-gerakan perlawanan untuk membentuk milisi militer dan paramiliter. Perlawanan sosial politik saja dirasa sudah tidak memadai.
Sehingga pada umumnya gerakan-gerakan Islam di Arab merupakan organisasi sipil-militer (silter). Hamas mempunyai Brigade Izzuddin al-Qassam. Hizbullah punya tentara. Dan Hizbut Tahrir memiliki Lajnah Thalabun Nushrah.
Ada perbedaan antara sayap militer Hamas dan Hizbullah dengan Hizbut Tahrir. Sayap militer Hamas dan Hizbullah dibentuk untuk perang melawan Israel. Sedangkan sayap militer Hizbut Tahrir diarahkan untuk melakukan kudeta dalam rangka mendirikan Khilafah Tahririyah.
Dalam organisasi sipil-militer pemimpin tertinggi dipegang oleh sipil. Posis sayap militer suborbinat dari sipil. Jadi, secara keseluruhan kontrol terhadap sayap militer ada di tangan sipil.
Dalam konteks Hizbut Tahrir. Lajnah Thalabun Nushrah dibentuk dan diarahkan langsung oleh Amir Hizbut Tahrir. Anggota-anggotanya dipilih dan diangkat oleh Amir Hizbut Tahrir. Amir Hizbut Tahrir adalah seorang sipil.
Jumlah anggota Lajnah Thalabun Nushrah tidak lebih dari 5 orang. Gabungan dari sipil dan militer. Mereka mengelola kelompok-kelompok halqah militer yang terpisah dari sipil.
Model hubungan ini disebut kontrol sipil subjektif. Sebagai respons atas keterlibatan militer di ranah politik, sipil akan memaksimalkan peran dan fungsinya yang berakibat kepada terjadi fragmentasi kekuatan sipil sampai terbentuk satu kekuatan sipil dominan. Kekuatan sipil dominan ini akan memanfaatkan militer bagi kepentingannya. (Ringgi Y Hipolitus n.d.; Samuel P 1959).
Sebaliknya, kontrol sipil objektif menghendaki pembagian wewenang yang jelas dan tegas, antara sipil dan militer yang berdasarkan keahlian, sehingga tidak terjadi konflik di emerintahan. Militer sepenuhnya menjadi militer yang profesional karena tidak terlibat ke dalam politik praktis.
Amor Perlmutter membahas tentang tipologi prajurit militer berdasarkan jenis-jenis orientasinya, yaitu:
1) Prajurit profesional. Ciri-cirinya, mempunyai keahlian dalam manajemen kekerasan; Memiliki pertautan (pertanggungjawaban) kepada klien, masyarakat dan negara; Punya kesadaran kelompok dan birokrasi (korporatisme); Dan memegang teguh ideologi yang menjadi sumber semangat militer.
2) Prajurit pretorian. Adalah prajurit yang turut serta ke dalam kegiatan politik. Semakin tinggi pangkat seorang prajurit, maka, semakin bernilai politis karena memungkinkannya untuk menggerakkan organisasi militer. Mereka prajurit petualang politik yang muncul di negara-negara konflik yang masih dari aspek ideologi dan ekonomi, serta dalam proses transisi.
3) Prajurit revolusioner. Mereka alat revolusi yang digerakkan oleh partai politik ideologis, setelah sebelumnya mereka menjalani indoktrinasi politik yang diselenggarakan oleh partai. Mereka menghantarkan partai kepada kekuasaan tertinggi dan mengamankan kekuasaan partai sampai proses revolusi tuntas dengan sempurna (Cyr 2019; Perlmutter Amos 2000:14-24).
Interaksi antara aktivis Hizbut Tahrir dan prajurit militer mentransformasi prajurit militer secara bertahap dari prajurit professional menjadi prajurit pretorian lalu menjadi prajurit revolusioner yang akan mengambil kekuasaan pemerintah untuk diserahkan kepada Hizbut Tahrir.
Dari perspektif kajian terorisme disebut terorisme insurgensi. Kata Zeyno Baran peran Hizbut Tahrir sebagai conveyor belt of terrorism. (Baran Zeyno 2004; Hasan 2017; Jung, Sinclair, and Denmark 2020).