Penulis: Nur Juwono
AswajaNews – Ponorogo merupakan salah satu kota di eks karesidenan Madiun yang telah dikenal luas dengan kebudayaannya, dari kota ini muncul berbagai atraksi kesenian di antaranya reog Ponorogo, warok, gajah-gajahan, unto-untonan, jaran thek.
Orang Ponorogo selalu bisa melestarikan dan mengembangkan kebudayaannya sehingga hal itu masih terasa dan melekat sampai sekarang.
Selain dikenal dengan kebudayaannya, Ponorogo juga identik dengan masyarakat yang religi. Perhatian besar orang Ponorogo terhadap agama dapat kita lihat dari berbagai hal di antaranya:
Pertama, semaraknya kegiatan keagamaan yang dihadiri ratusan hingga ribuan jama’ah, seperti kegiatan sema’an al Quran Rabu Pahing, Jama’ah Manaqib Barokah, pengajian rutin Ahad Pon di masjid NU Ponorogo, selain itu kegiatan keagamaan skala kecil juga sangat mudah kita jumpai, seperti kegiatan yasinan setiap malam jumát/malam selasa yang diikuti oleh remaja hingga lansia.
Kedua, sikap hormat kepada kyai, hal ini bisa disaksikan dengan adanya kegiatan sowan bersama-sama ke ndalem kyai saat lebaran tiba (baca: sejarah/mbarak).
Ketiga, banyaknya pesantren, madrasah dan lembaga pendidikan agama. Pada data Kementerian Agama Ponorogo tahun 2023 mencatat ada 118 pondok pesantren, 570 madrasah mulai dari tingkat RA-MA. Maka selayaknya Ponorogo dijuluki sebagai kota santri.
Keempat, adat memasukkan anak ke pondok pesantren bisa kita temui di berbagai desa di Ponorogo.
Kiranya itu sudah cukup menggambarkan kehidupan religi masyakarat Ponorogo. Karakter agamis ini tidak dibentuk dalam waktu singkat, namun karakter ini didapat dari perjalanan Islamisasi di Ponorogo itu sendiri. Hal yang paling utama mendasari terbentuknya karakter agamis orang Ponorogo adalah massif dan meratanya penyebaran Islam di Ponorogo dari masa ke masa.
Di sini penulis hanya mencoba menggambarkan periodisasi penyebaran Islam di Ponorogo berdasarkan adanya pusat-pusat pendidikan Islam dan tokoh agama yang berpengaruh. Setidaknya ada 4 periode penyebaran Islam di Ponorogo, meliputi:
1. Era Bathara Katong (1486 – Akhir Abad 16)
Pada tahun 1486 M, Bathara Katong datang ke Wengker atas perintah Raden Patah, raja pertama Demak dengan disertai 40 orang keluarga santri. Kedatangan ke kota ini dengan membawa dua misi, yaitu misi politik dan misi agama. Misi Politik adalah untuk membentuk pemerintahan dan misi agama adalah untuk mensyiarkan agama.
Pada tahun 1496 M, Bathara Katong dibantu Kyai Ageng Mirah berhasil mendirikan Kadipaten Ponorogo setelah mengalahkan Ki Ageng Surya Ngalam atau Ki Ageng Kutu. Setelah menata pemerintahan beliau memaksimalkan penyebaran Islam dengan memerintahkan 40 keluarga penyerta dari Demak untuk menyebar ke berbagai penjuru di antaranya:
Utara: Daerah Tegal Pondok Kadipaten (10 keluarga)
Timur: Dusun Asem Growong Desa Japan (10 keluarga) dikemudian hari 5 keluarga di pindah ke Suru Kubeng
Selatan: Dusun Pondok Desa Mrican (10 keluarga)
Barat: Dusun Durisawo Desa Nologaten (10 keluarga)
Selain santri dari Demak pada masa ini penyebaran Islam juga di bantu oleh tokoh-tokoh yang mumpuni, di antaranya:
1. Ki Ageng Mirah, beliau adalah orang yang pertama kali membantu Bathara Katong setibanya di Wengker. Beliau adalah putra Ki Ageng Gribig dari Malang yang menikah dengan putri Sunan Giri. Beliau bertugas sebagai hakim agama.
2. Pangeran Sumendhe berasal dari Tembayat Klaten, beliau merupakan menantu Bathara Katong yang kemudian mendirikan pusat keagamaan di Setono Tegalsari Jetis Ponorogo,
3. Ki Menak Sopal (murid Bathara Katong) Penyebar Islam di Trenggalek,
4. Ki Ageng Posong, penyebar Islam di daerah Pacitan.
Dengan dakwah yang luwes Bathara Katong mampu menyatukan komunitas masyarakat Ponorogo kala itu yang terdiri dari: penduduk asli, santri Demak, keluarga Tembayat, dan keluarga Madura.
2. Era Tembayat (Akhir Abad 16 – Awal Abad 18)
Relasi Bathara Katong dengan keluarga Sunan Tembayat mungkin sudah terjalin sebelum beliau datang ke tanah Wengker, sehingga tak heran setelah Kadipaten Ponorogo berdiri banyak Wong Mbayat bergerak ke bumi Reog, di antaranya Pangeran Semendhe yang telah mashur sebagai keturunan Sunan Tembayat.
Sebenarnya periode ini hampir bersamaan dengan era Bathara Katong, namun kemudian lebih lama bertahan disebabkan beberapa keturunan Pangeran Semende yang menjadi juru dakwah, selain itu disusul banyaknya orang Bayat yang berpindah ke Ponorogo di masa berikutnya.
Kejayaan masa ini ditandai dengan berdirinya Pondok Setono Tegalsari Jetis yang diasuh oleh kyai Donopuro. Di antara santri didikan beliau adalah:
- Kyai Mardliyah (Kradenan Jetis) beliau adalah putra kyai donopuro sendiri.
- Kyai Ageng Muhammad Besari (pendiri Tegalsari )
- Kyai Nur Shodiq ( Tegalsari )
- Kyai Imam Asy’ari (pendiri Pondok Josari Jetis) beliau adalah santri yang berasal dari Jepara
- Kyai Ustadz (kyai kedua Pondok Josari Jetis)
- Kyai Qomaruddin ( pendiri Pondok Sampurnan Bungah Gresik)
Da’i dari Bayat yang ikut mensyiarkan Islam di tanah Wengker tidaklah terbatas di area Pesantren Setono, namun juga di daerah lain di wilayah Ponorogo dengan bukti adanya makam tokoh sesepuh yang berasal dari Tembayat, di antaranya Eyang Noro Kusumo (Kalisat Bungkal), Mbah Trontani (Kambeng Slahung), Eyang Sengkrek (Desa Singkil Balong).
Pada masa ini pula terdapat tokoh penyebar Islam di selatan Jetis, yakni Kyai Ageng Nur Salim/Kyai Ageng Mantub, yang merupakan saudara ipar Kyai Donopuro dan di barat Ponorogo terhadap Kyai Ageng Nolojoyo (Sumoroto).
3. Era Tegalsari (Perempat Awal Abad 18 – Akhir Abad 19)
Setelah menimba ilmu kepada Kyai Donopuro di Pesantren Setono, Kyai Ageng Muhammad Besari kemudian menikah dan diberi tanah Tegalsari oleh sang guru. Di tanah ini beliau mula-mula mendirikan masjid dan pesantren kisaran tahun 1730 an.
Sepeninggalan Kyai Donopuro, Pesantren Tegalsari mulai naik daun, pesantren ini semakin moncer pasca Geger Pecinan pada tahun 1742, hal itu dikarenakan Pakubuwono II memberikan status tanah perdikan pada Desa Tegalsari disebabkan jasa sang kyai yang telah membantu sang raja pada masa pelariannya.
Bisa dikatakan bahwa era Tegalsari ini menjadi puncak keemasan penyebaran Islam di Ponorogo, hal ini tak berlebih sebab pada kepemimpinan Kyai Hasan Besari (1779-1862 M) Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari menjadi mercusuar pendidikan Islam hingga mampu menyedot santri-santri dari seantero Jawa.
Tak terhitung banyaknya keturunan Kyai Ageng Muhammad Besari dan santri alumni pesantren ini yang menjadi juru dakwah di berbagai daerah. Para keturunan kyai Tegalsari ini kemudian menjadi pioner-pioner dalam penyebaran Islam di Ponorogo.
Berikut sebagian keturunan Kyai Ageng Muhammad Besari:
1. Kyai Ishaq (Coper Mlarak)
2. Nyai Muhammad Bin Umar (Banjarsari Dagangan Madiun)
3. Kyai Zamzani (Dagangan Madiun)
4. Kyai Aruman (Prambon Dagangan Madiun)
5. Kyai Mursyid (Dagangan Madiun)
6. Kyai Hasan Rifai (Karanggebang Jetis)
7. Kyai Syihabuddin (Gentong Ngawi)
Berikut beberapa Alumni Pesantren Tegalsari dari masa ke masa di antaranya;
- Kyai Bagus Harun/Kyai Ageng Basyariyah (Sewulan Madiun)
- Kyai Bagus Darso/ Kyai Abdul Mannan Dipomenggolo ( Pendiri Pondok Tremas Pacitan)
- Bagus Burhan / Raden Ronggowarsito (sang pujangga agung Kasunanan Surakarta)
- Kyai Abu Yamin (Demangan Siman )
- Kyai Sulaiman Jamaluddin (Pendiri Gontor Lama)
- Kyai Mujahid (Pengasuh Pondok Sidosermo Surabaya)
- Kyai Imam Rahwin (Prayungan Sawoo)
4. Era Laskar Diponegoro (Abad 19)
Perang Diponegoro atau disebut Perang Jawa terjadi pada tahun 1825 – 1830 M. Sejarah mencatat Perang Diponegoro sebagai perang dengan korban yang sangat besar hingga menewaskan ratusan ribu rakyat Jawa dan puluhan ribu dari Belanda.
Peperangan ini berakhir dengan ditangkapnya sang pangeran di Magelang pada 28 Maret 1830. Setelah Diponegoro tertangkap, sisa-sisa pasukannya mengubah taktik perjuangan, dari angkat senjata menjadi syiar agama, sebab kebanyakan para laskar perang ini adalah para kyai dan santri.
Para Laskar Diponegoro kemudian berdiaspora keberbagai daerah di tanah Jawa di antaranya Ponorogo.
Kenyataannya, wilayah Ponorogo seolah-olah menjadi markas besar bagi laskar Diponegoro pasca perang Jawa.
Tak diketahui secara pasti penyebab para Laskar Diponegoro lebih memilih Ponorogo sebagi tempat Barunya. Hanya sebatas hipotesa penulis adalah keberadaan pondok Tegalsari yang kala itu di asuh Kyai Hasan Besari (1779-1862 M) menjadikan para Laskar ini merasa aman dan nyaman untuk memilih Ponorogo.
Selain itu, adanya kesamaan tarekat yang dianut antara laskar Diponegoro dengan tarekat yang ada di pesantren Tegalsari, yaitu Tarekat Syathoriyah.
Sangat sulit melacak apakah para musafir ini benar-benar terlibat langsung dalam perang Jawa atau tidak. Namun dapat dipastikan mereka adalah orang-orang yang terdampak secara langsung dari tersebut, sehingga mereka memilih untuk bedol deso demi menyelamatkan nyawa dan keluarga. Umumnya mereka dijuluki dengan wong Bagelen (salah satu kawasan di Purworejo yang menjadi basis Laskar Diponegoro).
Para laskar ini membangun masjid serta mendidik agama masyarakat sekitar. Ciri khas dari Laskar Diponegoro ini adalah menanam sawo kecik jejer di depan kediaman atau masjid, dan merubah nama aslinya demi keamanan.
Pada abad 20 tempat yang di babad para laskar ini kemudian menjelma menjadi pesantren-pesantren dan madrasah, seperti Pondok As Syafi’iyah Durisawo, Pondok Al Bukhori Mangunan Sampung, Madrasah Fadhiliyah Gentan Ngrupit Jenangan.
Berikut sebagian Laskar Diponegoro yg menetap di Ponorogo:
- Kyai Kholifah (Bogem Sampung)
- Kyai Bukhori (Mangunan Sampung)
- Kyai Nur Fadhil (Gentan Ngrupit Jenangan)
- Kyai Abdul Wahab (Duri Sawo)
- Kyai Nasheh (Koripan Bungkal)
- Kyai Ali Muhammad (Jalen Balong)
- Kyai Hasan Besari (Kertosari Babadan )
- Kyai Mustaqim (Sugihan Pulung)
- Kyai Abdus Syukur (Karanglo Jetis)
- Kyai Thohir (Mojoroto Gelanglor Sukorejo )
- Kyai Mukarrom (Kauman Sumoroto)
- Kyai Hasan Munada (Mlancar Sukorejo)
- Kyai Nurman (Mlancar Sukorejo)
- Kyai Hamzali (Jarakan Banyudono)
Sedangkan pada abad 20 adalah masa kiprah para santri alumni pesantren yang juga turut mewarnai Islam di Ponorogo dengan mendirikan pesantren, madrasah atau kegiatan keagamaan, seperti Trimurti Gontor, Kyai Abu Dawud dan tarekat Naqsyabandiyah nya, Kyai Mahfud Hakim, Kyai Hasyim Sholeh, Kyai Muhayyat Shah, Kyai Maghfur Hasbullah dll.
Melihat dari masif dan meratanya penyebaran Islam di Ponorogo maka masyarakat kota ini memiliki kepribadian yang religi dalam semua lini kehidupan.***
Sumber Rujukan
- Soemarto, Melihat Ponorogo Lebih Dekat (Terakota:2018)
- Nur Ali sidi, Sejarah Kabupaten Ponorogo (MGMP Sejarah SMP-SMA Ponorogo:2021)
- KH. Imam Sayuti farid, Genealogi dan Jaringan Pesantren di Wilayah Mataram (Sleman, Nadi Pustaka:2020)
- Christopher Reinhart, antara Lawu dan Wilis (Jakarta, KPG Gramedia:2021)
- https://madrasah.kemenag.go.id/gis/home/index/35/3502